LightReader

Chapter 7 - Gelombang Pasang yang Datang

Sari terbangun dari mimpi indahnya dengan jantung berdegup kencang. Di sampingnya, Andi tidur nyenyak, lengannya melingkar di pinggang Sari seperti pelindung. Malam sebelumnya, mereka telah merencanakan lamaran sederhana—hanya di taman kecil dekat rumah Sari, dengan cincin sederhana yang Andi beli dari tabungannya. Tapi ancaman terakhir itu masih menggantung seperti awan gelap: "Tinggalkan Sari, atau bisnis ayahmu hancur."

Andi membuka mata, tersenyum lelah. "Mbak, mimpi apa tadi? Kau kelihatan tegang."

Sari menggeleng, tak ingin membuatnya khawatir lebih dalam. "Cuma mimpi biasa. Tapi Andi, aku masih takut. Pak Budi... ia seperti badai yang tak pernah reda. Apa kita benar-benar siap?"

Andi duduk, menarik Sari ke pelukannya. "Kita sudah lewati banyak, Mbak. Ayah saya dibebaskan dari polisi berkat bantuanmu dan Reza. Sekarang, giliran kita buat hidup kita sendiri. Aku bukan lagi gelandangan seperti dulu—aku punya pekerjaan, punya impian. Kau yang bikin aku bangkit."

Sari tersenyum, mengingat masa lalu Andi. Sebelum skandal ayahnya, Andi hidup mewah sebagai putra konglomerat. Tapi setelah ayahnya dituduh korupsi, keluarga mereka jatuh miskin. Andi hidup di jalanan selama berbulan-bulan, bekerja serabutan, tidur di emperan toko, sampai Sari menemukannya dan memberinya pekerjaan di kafe kecil miliknya. Orang-orang memanggilnya "gelandangan naik kelas", tapi Sari melihat potensinya. Kini, Andi bekerja sebagai manajer kafe itu, dan mereka berencana membangun masa depan bersama.

Tapi pagi itu, ancaman itu menjadi kenyataan. Saat Andi pergi ke kafe untuk mempersiapkan lamaran, ia menemukan pintu kafe dikunci paksa. Di dalam, semuanya berantakan—meja-meja terbalik, mesin kopi rusak, dan tulisan di dinding: "Pergi dari Sari, atau ini baru permulaan." Andi menelepon Sari dengan panik. "Mbak, kafe dirusak. Ini ulah Pak Budi, aku yakin."

Sari langsung datang, hatinya hancur melihat tempat yang ia bangun bersama Andi hancur. "Andi, ini tak boleh terjadi. Kita harus lapor polisi."

Andi mengangguk, tapi matanya penuh amarah. "Aku tak mau lari lagi, Mbak. Dulu aku gelandangan karena ayahku, sekarang aku tak mau kehilangan kau juga."

Mereka melapor ke polisi, dan petugas menjanjikan investigasi. Tapi Sari tahu, Pak Budi punya koneksi kuat—ia mantan mitra bisnis ayah Andi, dan dendamnya mendalam. Reza, yang tadinya mundur, muncul lagi di kafe yang rusak. "Sari, aku dengar apa yang terjadi. Aku bisa bantu. Aku punya teman di media, bisa kita ungkap skandal Pak Budi."

Sari ragu. "Reza, kau serius? Setelah semuanya?"

Reza mengangguk. "Aku salah dulu. Sekarang, aku ingin bantu kalian. Andi pantas bahagia."

Andi datang, mendengar percakapan itu. Ia menatap Reza dengan curiga, tapi akhirnya mengulurkan tangan. "Terima kasih, Reza. Kita butuh semua bantuan."

Malam itu, mereka berkumpul di rumah Sari. Reza membawa dokumen rahasia tentang Pak Budi—bukti bahwa ia terlibat dalam korupsi serupa dengan ayah Andi. "Ini bisa bikin ia diam," kata Reza.

Andi dan Sari memutuskan untuk konfrontasi terakhir. Keesokan harinya, mereka pergi ke kantor Pak Budi lagi, kali ini dengan Reza dan dokumen. Pak Budi terkejut melihat mereka. "Apa ini? Kalian pikir bisa ancam saya?"

Sari maju, suaranya tegas. "Pak, ini bukti kejahatan Anda. Kalau Anda tak berhenti, kami ungkap semuanya. Kami tak takut lagi."

Pak Budi tertawa sinis, tapi matanya gelisah. "Kalian pikir cinta bisa menang? Dunia ini kejam."

Andi memeluk Sari. "Cinta kami lebih kuat dari badai apa pun."

Pak Budi akhirnya mundur, mengancam akan pergi ke luar negeri. "Ini belum selesai," katanya, tapi mereka tahu ia kalah.

Lamaran itu akhirnya terjadi di taman, di bawah hujan ringan yang membersihkan segalanya. Andi berlutut, cincin di tangannya. "Sari, kau angkat aku dari gelandangan jadi pria sejati. Mau kah kau jadi istriku?"

Sari menangis bahagia. "Ya, Andi. Selamanya."

Tapi di kejauhan, Pak Budi mengawasi dari mobilnya, mata penuh dendam. Apakah badai benar-benar berakhir, atau ini baru awal gelombang pasang yang lebih besar?

More Chapters