LightReader

Chapter 2 - Chapter 2

Sejak malam di taman itu, hubungan kami berubah.

‎Tidak lagi hanya sekadar teman atau dua orang yang kebetulan sering bertemu di perpustakaan.

‎Ada sesuatu yang lebih dari itu—lebih dalam, lebih… berbahaya.

‎Haruto jadi lebih terbuka padaku. Ia sering mengirim pesan larut malam, kadang hanya berupa kata sederhana seperti "Kamu masih bangun?" atau "Aku cuma pengin dengar kamu jawab."

‎Awalnya aku pikir itu lucu, tapi lama-lama ada sesuatu yang membuatku gelisah.

‎Bukan karena aku terganggu—tapi karena aku merasa dia bergantung terlalu banyak padaku.

‎Suatu pagi, dia tidak datang ke sekolah.

‎Tidak ada pesan. Tidak ada kabar.

‎Aku menunggunya di perpustakaan, berharap ia tiba-tiba muncul dengan senyum cerahnya seperti biasa. Tapi yang datang hanya keheningan dan suara halaman buku yang kubalik tanpa fokus.

‎Jam istirahat, aku memutuskan pergi ke rumahnya.

‎Rumah keluarga Takahiro cukup jauh dari sekolah, tapi aku nekat.

‎Ketika sampai, pagar rumah itu terbuka sedikit, dan suasana sepi. Tak ada suara televisi, tak ada tanda kehidupan.

‎Aku mengetuk pintu. "Takahiro? Ini Rena."

‎Tidak ada jawaban.

‎Aku mendorong pintu perlahan, dan—di ruang tamu—kulihat dia duduk di lantai, menatap kosong dinding depan. Di tangannya, ada foto yang sama seperti dulu: ibunya.

‎"Haruto…" panggilku pelan.

‎Dia menoleh, matanya merah. "Kenapa kamu ke sini?"

‎"Aku khawatir."

‎Dia menatapku beberapa detik, lalu tersenyum lemah. "Khawatir? Buat apa?"

‎Aku duduk di depannya, hati-hati. "Karena kamu nggak datang sekolah. Karena kamu bilang kamu cuma butuh waktu sendiri—tapi ternyata kamu malah tenggelam di sini."

‎Dia tertawa pendek, nada getir. "Kamu nggak paham, Rena. Kadang, waktu sendiri itu satu-satunya cara biar aku nggak hancur."

‎Aku terdiam. "Kamu ngerasa hancur?"

‎Dia menatapku lama. "Setiap hari."

‎Hening. Udara di ruangan itu terasa berat, menekan dada.

‎Aku ingin memeluknya, tapi entah kenapa tanganku kaku. Ada ketakutan aneh yang tak bisa kujelaskan.

‎"Rena," katanya akhirnya. "Kamu percaya… kalau seseorang bisa hidup di antara dua dunia?"

‎Aku menatapnya bingung. "Maksudmu?"

‎"Dunia tempat semua orang bisa lihat, dan dunia yang cuma aku rasakan," ujarnya lirih. "Kadang, aku ngerasa ibu masih di sini. Aku denger suaranya waktu malam. Aku tahu itu nggak nyata, tapi rasanya terlalu… nyata buat diabaikan."

‎Suara itu bergetar. Matanya mulai berair.

‎"Haruto…"

‎Aku hanya bisa memanggil namanya, pelan. Karena aku tahu, kalau aku bicara lebih keras, dia bisa pecah kapan saja.

‎Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—antara kehilangan, takut, dan rindu yang menumpuk jadi satu.

‎"Kalau kamu tiba-tiba nggak ada, Rena… aku nggak tahu harus gimana," katanya akhirnya.

‎Dan kalimat itu membuat jantungku berhenti sejenak.

‎Itu bukan sekadar pengakuan. Itu permohonan. Sebuah ketergantungan.

‎Sejak hari itu, aku mulai menyadari: cinta bisa jadi menakutkan kalau berubah jadi kebutuhan untuk bertahan hidup.

‎---

‎Hari-hari berikutnya berjalan aneh.

‎Haruto kembali ke sekolah, tapi semua orang memperhatikan perubahan pada dirinya. Ia lebih pendiam, lebih mudah terkejut, bahkan kadang bicara sendiri di bangku belakang.

‎Guru menegur, tapi dia hanya tersenyum seperti biasa.

‎Hanya aku yang tahu senyum itu kosong.

‎"Takamine-san," panggil seorang guru bimbingan konseling suatu sore.

‎"Bagaimana hubunganmu dengan Haruto akhir-akhir ini? Dia tampak… tidak stabil."

‎Aku tertegun. "Dia baik-baik saja, Sensei. Mungkin cuma kelelahan."

‎Guru itu menatapku, seolah tahu aku berbohong.

‎"Kadang, orang yang terlihat baik-baik saja justru yang paling butuh bantuan."

‎Kalimat itu terngiang sepanjang perjalanan pulang.

‎Aku mulai berpikir: apa yang sebenarnya bisa kulakukan untuknya?

‎Aku bukan terapis. Aku bukan penyelamat. Aku cuma seseorang yang… menghawatirkannya.

‎Malam itu, aku mendapat pesan darinya lagi.

‎> Haruto: "Rena, kamu pernah berpikir… dunia ini mungkin cuma mimpi seseorang?"

‎Aku: "Aku nggak tahu. Tapi kalau iya, aku harap aku tetap bisa ketemu kamu di mimpi itu."

‎Haruto: "Kamu yakin? Kalau aku bukan bagian dari dunia nyata?"

‎Aku: "Kalau kamu cuma bayangan… biarlah aku tenggelam di bayangan itu."

‎Pesan terakhirnya membuatku menggigil.

‎Bukan karena romantis—tapi karena terasa seperti pesan perpisahan.

‎Aku langsung menelponnya, tapi tidak diangkat.

‎Sekali. Dua kali. Lima kali.

‎Lalu akhirnya, nada sambungan berhenti, dan suara pelan menjawab.

‎"Rena…"

‎Suaranya serak, pelan.

‎"Jangan datang ke taman malam ini," katanya.

‎Jantungku langsung berdebar. "Haruto! Kamu di mana?!"

‎Tapi panggilan terputus.

‎Dan aku tahu, aku harus ke sana.

‎---

‎Taman itu gelap, hanya diterangi lampu jalan yang bergetar lemah.

‎Aku berlari, napasku memburu. Dan di bawah pohon besar tempat kami sering duduk dulu—aku melihatnya.

‎Haruto, berdiri di tepi sungai, menatap air hitam di bawah.

‎"Haruto!" teriakku.

‎Dia menoleh perlahan.

‎"Kenapa kamu datang?"

‎"Karena kamu bilang jangan datang," jawabku, hampir menangis. "Kamu tahu itu alasan kenapa aku datang!"

‎Dia menatapku lama, lalu tertawa pelan. "Kamu aneh, Rena."

‎"Aku tahu," sahutku cepat. "Dan kamu juga aneh. Tapi itu bukan alasan buat menyerah."

‎Dia menunduk. "Aku capek berpura-pura hidup."

‎Aku melangkah maju, perlahan tapi pasti. "Kamu nggak perlu berpura-pura. Cukup… hidup."

‎Dia menggeleng. "Tapi semuanya sakit."

‎Aku berhenti tepat di depan dia, menatap matanya yang penuh air.

‎Lalu tanpa berpikir panjang, aku menggenggam. Kuat tangannya.

‎"Kalau sakit, bagi separuhnya ke aku," bisikku. "Aku nggak akan biarin kamu tenggelam sendiri."

‎"Aku berjanji akan menghapus semua kesedihan mu"

‎Jawabku dengan lembut

‎Dia terdiam lama. Lalu akhirnya, pelan-pelan, tangannya membalas genggamanku.

‎Untuk pertama kalinya, dia terlihat menangis di depanku.

‎Tangis yang lama tertahan, tangis yang bukan hanya karena kehilangan—tapi karena akhirnya, ada seseorang yang tetap tinggal.

‎Malam itu, kami hanya berdiri di sana.

‎Hanya dua manusia yang mencoba bertahan di antara realita masakini dan bayangan masalalu.

‎---

‎Di perjalanan pulang, Haruto memegang tanganku erat.

‎"Aku takut kehilangan diriku sendiri, Rena," katanya pelan.

‎Aku menatapnya. "Kalau kamu hilang, aku akan menemukannya lagi. Bersama kamu."

‎Dia tersenyum kecil. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya, senyum itu terlihat nyata.

‎Dan malam itu aku sadar—kadang, cinta bukan tentang menyembuhkan orang lain.

‎Tapi tentang berani tetap di sisi seseorang, bahkan ketika dunia di dalam pikirannya mulai runtuh.

‎- TO BE CONTINUED

More Chapters