LightReader

A Few Precious Days

TwoG
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
878
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1

Namaku Rena Takamine, siswi kelas dua SMA. Aku tinggal sendiri, dan mungkin bisa dibilang hobiku adalah membaca—terutama novel dan karya fiksi seperti manga.

‎ Suatu hari, aku pergi ke perpustakaan sekolah untuk mencari novel yang bisa kubaca sebelum bel masuk berbunyi.

‎Namun, aku sedikit kesulitan, karena ada seorang pria berdiri tepat di depan rak tempat buku yang ingin aku ambil.

‎"Maaf, permisi… bisa aku ambil buku itu?" tanyaku sopan.

‎"Eh, ya tentu. Eh—kamu kan Rena Takamine?"

‎Aku menatap wajahnya beberapa detik, mencoba mengingat.

‎"Ya… kalau tidak salah, namamu…"

‎"Hei, ini aku—Haruto Takahiro," jawabnya sambil tersenyum.

‎ Oh, iya. Dia Haruto Takahiro, teman sekelasku.

‎Dia anak yang periang dan cukup atletis, tapi karena sifatnya yang terlalu baik, sering kali dia dimanfaatkan orang-orang di sekitarnya.

‎"Eh, kamu jadi ambil bukunya nggak?" sahut Haruto membuyarkan lamunanku.

‎"Oh, iya—maaf, Takahiro. Aku jadi ambil, kok," jawabku buru-buru.

‎"Eh, Takamine, kenapa minta maaf?"

‎"Ah, lupakan saja," jawabku singkat.

‎"Emm… baiklah," ujarnya sambil menggaruk kepala, tampak bingung.

‎Aku pun melanjutkan membaca novel di dekat jendela. Tapi tiba-tiba, dari arah belakang—

‎"Ada apa, Takahiro?" tanyaku tanpa menoleh.

‎"Nggak apa-apa, kok. Aku cuma penasaran," jawabnya.

‎"Takamine-san, kamu suka baca manga?" tanyanya lagi.

‎"Ya, mungkin beberapa. Kenapa? Kamu tertarik juga?"

‎"Enggak, cuma penasaran aja," katanya cepat-cepat.

‎Anak ini sebenarnya kenapa sih? batinku sambil menahan tawa kecil.

‎Tak lama kemudian, bel tanda masuk berbunyi. Kami pun kembali ke kelas.

‎Hari-hari berikutnya terasa berbeda semenjak kejadian di perpustakaan itu. Entah kenapa, sejak hari itu, Haruto Takahiro jadi sering muncul di sekitarku. Kadang di kantin, kadang di depan kelas, bahkan di jalan pulang sekolah. Bukan dengan maksud mengganggu, tapi… entah, kehadirannya terasa terlalu sering untuk sekadar kebetulan.

‎Awalnya aku mengira dia hanya kebetulan lewat. Tapi setelah beberapa kali, aku mulai merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan.

‎"Rena! Mau bareng pulang nggak?" serunya suatu sore.

‎Aku mengangkat wajah dari novel yang sedang kubaca. "Kamu nggak ada latihan basket, Takahiro?"

‎Dia tersenyum, tapi… ada sedikit jeda di sana. "Nggak hari ini. Pelatihnya sakit."

‎Aku menutup bukuku perlahan. "Kalau begitu, boleh. Tapi jangan heran kalau aku lebih banyak diam, ya."

‎"Sudah biasa," katanya sambil tertawa kecil. "Kamu memang orang yang suka diam, kan?"

‎Aku menatapnya sekilas. "Dan kamu orang yang terlalu banyak bicara."

‎Dia tertawa lagi. Tapi kali ini tawanya terdengar… dipaksakan.

‎Kami berjalan menyusuri trotoar dengan jarak sekitar setengah meter. Matahari sore menyorot lembut di antara dedaunan, menciptakan bayangan bergerak di sepanjang jalan. Ada sesuatu yang menenangkan dari keheningan sore itu—tapi juga, entah kenapa, terasa menegangkan.

‎"Takamine," ucap Haruto tiba-tiba. "Kamu pernah ngerasa… sendirian banget nggak?"

‎Aku terdiam. Pertanyaan itu datang begitu saja, tanpa konteks. Suaranya pelan, tapi jelas. Seolah kalimat itu keluar bukan dari bibirnya—melainkan dari dalam pikirannya yang paling dalam.

‎"Ya," jawabku akhirnya. "Setiap hari, mungkin."

‎Dia menatapku, seolah terkejut dengan jawabanku.

‎"Aku tinggal sendiri, Takahiro. Rumahku terlalu sepi untuk disebut 'tempat tinggal'. Jadi, ya… aku sering merasa sendirian," lanjutku, kali ini tanpa berusaha menutupinya.

‎Dia menunduk. "Aku kira cuma aku yang ngerasa gitu."

‎Aku menoleh padanya. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak teduh, matanya menatap tanah kosong. Ada sesuatu yang samar di balik ekspresi itu—bukan kesedihan biasa, tapi seperti luka yang sudah lama ia tutupi.

‎"Kamu kelihatan bahagia, Takahiro," kataku pelan.

‎Dia tersenyum kecil, tapi tanpa binar. "Bahagia itu… kadang cuma topeng, Takamine."

‎Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kata-katanya bergema lama di kepalaku. "Bahagia itu cuma topeng."

‎Sejak hari itu, aku mulai memperhatikan Haruto dengan cara berbeda. Di kelas, dia masih menjadi pusat perhatian. Masih menolong teman yang kesulitan, masih tertawa paling keras di antara kerumunan. Tapi sekarang aku tahu—di balik semua itu, ada sesuatu yang tidak terlihat.

‎Suatu sore, saat semua siswa sudah pulang, aku kembali ke perpustakaan. Ruangan itu sunyi, hanya ada suara kipas tua yang berputar malas di langit-langit. Aku mencari novel baru, tapi mataku justru menangkap sosok yang duduk di sudut ruangan.

‎Haruto.

‎Dia duduk sendirian, menatap meja kosong di depannya. Kedua tangannya menggenggam sesuatu—foto kecil yang sudah agak kusam.

‎Aku mendekat pelan. "Takahiro?"

‎Dia terkejut, buru-buru menyembunyikan fotonya di balik buku. "Rena! Aku… cuma lagi istirahat."

‎Aku menatapnya lama. "Itu foto siapa?"

‎"Bukan siapa-siapa," jawabnya cepat. Terlalu cepat.

‎Aku menghela napas. "Kamu nggak perlu pura-pura kuat di depanku, tahu."

‎Dia menatapku, matanya bergetar samar. Lalu perlahan, dia mengeluarkan kembali foto itu. Foto seorang wanita muda berambut panjang, tersenyum lembut.

‎"Ibuku," katanya singkat. "Dia meninggal waktu aku kelas satu SMA."

‎Aku terdiam. Hening yang berat menggantung di antara kami.

‎"Sejak itu… ayahku jarang di rumah. Dia sibuk kerja, katanya. Tapi sebenarnya aku tahu—dia cuma nggak tahan ngelihat aku yang mirip ibu."

‎Aku mendengar nada getir dalam suaranya. Kata-kata itu bukan lagi sekadar cerita, tapi seperti luka yang dibuka lagi setelah lama membeku.

‎"Makanya kamu suka pura-pura bahagia?" tanyaku perlahan.

‎Dia tertawa lirih. "Heh, ternyata aku nggak jago berpura-pura, ya?"

‎"Bukan begitu," jawabku pelan. "Cuma… aku tahu rasanya hidup dalam kesepian. Kadang, kita nggak butuh orang yang bikin kita bahagia—cukup seseorang yang mau diam bersama kita."

‎Dia menatapku lama. Tatapan itu terasa hangat sekaligus dalam, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi ditahan.

‎"Takamine…" bisiknya akhirnya. "Kamu nggak tahu, seberapa banyak aku pengin dengar kata-kata kayak gitu."

‎Aku tidak menjawab. Aku hanya duduk di sebelahnya, diam. Kami hanya mendengarkan suara detik jam dinding dan angin yang berhembus pelan melalui jendela perpustakaan. Dalam diam itu, entah kenapa, ada sesuatu yang terasa… benar.

‎Hari demi hari berlalu. Kami semakin sering bersama—bukan dalam arti romantis, tapi lebih seperti dua jiwa yang sama-sama mencari tempat untuk pulang dan bersandar. Namun, perlahan aku mulai menyadari… sesuatu berubah dalam diriku.

‎Setiap kali dia tersenyum, dadaku terasa hangat. Setiap kali dia menatapku, waktu seperti berhenti. Aku tahu ini bukan sekadar rasa kasihan.

‎Ini… mungkin.. cinta.

‎Hal yang seharusnya tidak bisa kudapatkan lagi.

‎Tapi di sisi lain, aku juga tahu—Haruto bukan seseorang yang mudah dicintai. Ada bayangan masa lalu di matanya, yang tak bisa dihapus hanya dengan kata "aku menyukaimu".

‎Suatu malam, aku menerima pesan darinya.

‎> "Takamine, besok aku nggak masuk sekolah. Aku cuma butuh waktu buat sendiri."

‎Aku merasa cemas. Lalu tanpa berpikir panjang, aku menuju taman kecil di dekat sungai tempat kami biasa duduk sepulang sekolah. Dan benar—dia di sana, duduk di bawah pohon, memandangi langit malam yang suram.

‎"Kenapa nggak bilang kalau kamu ke sini?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya.

‎Dia tersenyum samar. "Aku cuma… capek."

‎"Dari apa?"

‎"Dari berpura-pura."

‎Aku menatapnya. Kali ini, tidak ada lagi senyum, tidak ada lagi kepura-puraan. Hanya Haruto—dengan seluruh luka dan ketakutannya.

‎Aku menatap langit, lalu berkata pelan, "Kalau kamu lelah jadi orang lain, jadilah dirimu sendiri. Aku nggak akan pergi."

‎Dia menoleh padaku. "Kamu nggak takut lihat sisi gelapku?"

‎Aku menggeleng. "Kita semua punya sisi gelap, Takahiro. Bedanya, kamu cukup berani untuk mengakuinya."

‎Beberapa detik kemudian, dia tertawa pelan. Lalu, tanpa diduga, dia menggenggam tanganku.

‎Hangat. Tapi juga rapuh.

‎"Terima kasih, Takamine," katanya lirih. "Mungkin… kamu satu-satunya orang yang benar-benar ngelihat aku."

‎Aku tidak menjawab. Karena saat itu, aku tahu—apa pun yang akan terjadi setelah malam itu, aku sudah terikat padanya. Bukan karena rasa suka yang remaja, tapi karena dua hati yang sama-sama mencari arti dari "keberadaan".

‎Dan di bawah langit malam yang gelap itu, untuk pertama kalinya, aku tidak merasa sendirian lagi.

‎---

‎~ To Be Continued