LightReader

Chapter 8 - BAB 8 — Jalan Kota yang Tidak Pernah Tidur

Kota itu tidak pernah benar-benar gelap. Lampu-lampu toko, warung remang, bar murahan, dan ruko dua lantai menyala seperti nadi yang terus berdetak sepanjang malam. Di antara hiruk-pikuk itu, Surya hanya berjalan diam mengikuti seorang lelaki berjas gelap yang memimpin rombongan.

Tempat yang mereka datangi malam ini lebih tersembunyi dari sebelumnya—sebuah lorong belakang ruko elektronik, masuk lewat pintu besi yang catnya mengelupas. Di balik pintu itu ada ruangan luas seperti gudang, dipenuhi meja-meja kayu tempat orang bermain kartu, barter barang, berbisik-bisik tentang hutang dan nyali.

Aroma rokok kretek bercampur bau keringat dan kopi kental memenuhi ruangan.

"Duduk kéné," kata salah satu orang yang membawanya.

("Duduk sini.")

Surya duduk. Diam. Mengamati.

Semua mata yang melihatnya menangkap sesuatu: pemuda kurus, kulit cokelat terbakar matahari, tatapan datar yang seolah tidak pernah takut pada apapun.

Orang-orang mulai bertanya dalam gumaman:

"Iki cah desa sing diomongké Bos?"

("Ini anak desa yang dibicarakan Bos?")

"Sing ora tau mundur kuwi?"

("Yang katanya nggak pernah mundur itu?")

Tapi Surya tidak peduli.

Ia hanya mempelajari pola: siapa yang memimpin, siapa yang hanya pembantu, siapa yang bicara terlalu banyak, siapa yang terlalu tenang.

Beberapa minggu pertama, Surya diberi tugas ringan.

Mengantar barang. Menemani penagih hutang lain. Menjaga pintu belakang saat ada transaksi.

Ia jarang bicara, tapi pekerjaannya bersih, cepat, tidak pernah memancing kerusuhan.

Ketika ada masalah dengan seorang pedagang elektronik yang pura-pura tidak punya uang, Surya hanya mengambil kursi, duduk di depan toko itu, dan menatap pemiliknya selama lima menit tanpa nada marah, tanpa gertak.

Laki-laki itu akhirnya gemetar sendiri.

Ia mengeluarkan uangnya, lebih dari yang seharusnya.

Teman-teman Surya terkejut.

"Kenapa kowe mung ndelok tok?"

("Kenapa kamu cuma menatap aja?")

Surya hanya menjawab pelan:

"Wong kuwi wedi karo pikirane dhewe."

("Orang itu takut pada pikirannya sendiri.")

Makin hari, kata-kata itu menyebar.

Dan nama Surya mulai masuk daftar "anak baru yang menjanjikan."

Suatu malam, Bos besar memanggilnya.

Surya masuk ke ruangan yang lebih bersih daripada lainnya—meja kayu gelap, rak buku, asbak kristal, dan tembok penuh peta kota.

Lelaki besar itu menyalakan rokok sambil memerhatikan Surya seperti menilai barang mahal.

"Aku wis ngikuti kerjamu. Lerené becik. Ora ngganggu, ora cawik, ora ngubar-ubar tenagamu."

("Aku memperhatikan kerjamu. Langkahmu bagus. Tidak ribut, tidak ceroboh, tidak mengumbar tenaga.")

Surya diam.

Bos itu menghembuskan asap perlahan.

"Ngerti ngapa kowe cepet ditarik marang kéné?"

("Kau tahu kenapa kau cepat direkrut ke sini?")

Surya menggeleng.

"Amargo kowe ora butuh diganti. Wong sing paling angel digarap yaiku wong sing wis kelar karo awake dhewe."

("Karena kau tidak perlu diubah. Orang paling berbahaya adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.")

Kalimat itu seperti membuka pintu baru dalam kepala Surya.

Bos itu berdiri, berjalan mendekat.

"Mulai dina iki, kowe tak pasrahké tugas luwih angel. Tugas sing mbutuhake pikiran adem lan ati sing ora gampang gugah."

("Mulai hari ini, aku beri kau tugas yang lebih berat. Tugas yang butuh pikiran dingin dan hati yang tidak mudah tersentuh.")

Surya menatapnya.

"Tugas apa, Bos?"

Bos itu tersenyum tipis—senyum yang tidak pernah membawa arti baik.

"Tugas sing nggawe wong-wong ngerti, yen kowe ora mung bocah desa."

("Tugas yang akan membuat orang-orang tahu bahwa kau bukan sekadar anak desa.")

Beberapa bulan ke depan menjadi masa Surya berubah.

Ia bukan lagi tengkulak pasar atau penagih hutang pinggir kota.

Ia mulai masuk ke kafe remang-remang, tempat judi gelap, gudang kosong, transaksi besar, dan lini-lini yang tidak boleh dibicarakan di meja makan.

Ia tidak pernah memukul duluan.

Tidak pernah berbicara lebih dari yang perlu.

Namun setiap gerakannya selalu efektif.

Anak-anak baru mulai memanggilnya:

"Mas Surya… sing sepi nanging medeni."

("Mas Surya… yang diam tapi menakutkan.")

Meski begitu, Surya masih pulang ke desa setiap Minggu pagi.

Membeli sayur di pasar, membantu ibunya menjemur pakaian, mengajari adiknya membaca.

Tak ada yang tahu betapa jauh jarak antara Surya yang di rumah dan Surya yang di kota.

Dua dunia yang berbeda.

Dua wajah yang sama.

Dan di antara keduanya, Surya mulai membangun reputasi baru—sejenis bayangan yang tidak terlihat sampai tiba waktunya untuk menghabisi sesuatu.

 

 

 

More Chapters