LightReader

Chapter 7 - BAB 7 — Diam yang Mulai Berbahaya

Surya pulang dari rumah Mbah Sarpin dengan langkah yang lebih mantap daripada sebelumnya. Udara sore terasa berat, tapi hatinya justru lebih tenang. Dua tahun di padepokan, dilanjut beberapa bulan belajar khusus pada Mbah Sarpin, membuatnya mengenal sesuatu yang selama ini hanya ia takutkan: kekuatan dalam dirinya sendiri.

Bukan tenaga dalam seperti di cerita wayang.

Bukan pula ilmu hitam seperti yang sering disalahpahami orang desa.

Yang ia pelajari adalah cara menahan diri, memahami sesuatu sebelum bereaksi, dan mengetahui kapan harus diam dan kapan harus mengakhiri sesuatu.

Mbah Sarpin selalu bilang:

"Sing tenang kuwi ora ateges ringkih, Nduk. Tenang kuwi tandha yen kowe ngerti carane ngalahké."

("Tenang itu bukan berarti lemah, Nak. Tenang adalah tanda bahwa kau tahu cara mengalahkan.")

Kalimat itu terus terngiang di kepalanya sampai ia melewati batas desa.

Surya sekarang bekerja sebagai penagih hutang untuk kelompok kecil di pasar kabupaten.

Pekerjaan yang tidak muluk: mengetuk pintu, meminta pembayaran, dan memastikan orang tidak berbohong. Ia tidak pernah memukul, tidak pernah membentak—namun justru itu yang membuat namanya cepat menyebar.

Karena orang yang tidak banyak bicara jauh lebih menakutkan daripada orang yang berteriak.

Ia hanya duduk, menunggu, memberi waktu.

Dan orang-orang akhirnya menyerahkan apa yang diminta.

Semua karena tatapan Surya yang datar, tenang, tanpa menawar.

Para pedagang di pasar mulai membisikkan sesuatu:

"Anaké Sumarno kuwi… ojo diganggu."

("Anak Sumarno itu… jangan diganggu.")

Bukan karena mereka mengingat ayahnya, tapi karena Surya sendiri sudah jadi bayangan lain.

Suatu malam, saat ia duduk merokok di depan rumah, dua motor berhenti.

Lampunya sengaja tidak dimatikan.

Empat orang turun, berpakaian rapi tapi berwajah keras.

Surya mengenali salah satunya—anak buah dari seorang bandar besar di kota.

Lelaki berkumis tebal itu langsung bicara:

"Kowe Surya, to?"

("Kau Surya, ya?")

"Nggih."

("Ya.")

"Bos krungu kabarmu. Kerjo sing tenang, rapi, ora ribut. Kaya sing dibutuhake wong-wong gedhé."

("Bos mendengar soalmu. Kerjamu tenang, rapi, tidak bikin keributan. Itu yang dibutuhkan orang-orang besar.")

Surya tidak menjawab.

"Melok aku. Ana sing pengin ketemu."

("Ikut aku. Ada yang ingin bertemu.")

Surya menatap rumahnya sebentar—lampu temaram, suara ibunya batuk pelan di dalam, adiknya sudah tidur.

Lalu ia berdiri.

Ia ikut tanpa bertanya.

Perjalanan menuju kota membuat desa di belakangnya tampak seperti dunia lain. Jalanan semakin terang, bangunan semakin padat, dan aroma kehidupan malam terasa pekat: alkohol, musik, uang, dan kekerasan yang disembunyikan di balik lampu berwarna-warni.

Mereka membawanya ke gedung tua tiga lantai yang dijaga orang-orang berperawakan besar.

Di dalamnya, Surya melihat dunia yang selama ini hanya ia dengar dari cerita ayahnya: meja perjudian, transaksi gelap, dan wajah-wajah yang hanya mengenal satu bahasa—kekuasaan.

Sebelum ia sempat mengamati semuanya, seorang lelaki besar berjas gelap menghampirinya sambil tersenyum.

"Iki bocahé?"

("Ini anaknya?")

Anak buahnya mengangguk.

Lelaki itu menepuk pundak Surya.

"Kowe luwih tenang ketimbang Sumarno. Kuwi sing tak senengi."

("Kau lebih tenang daripada Sumarno. Itu yang kusukai.")

Surya menatapnya tanpa senyum.

Diam.

Mengamati.

Lelaki itu masih tersenyum, tapi matanya menilai Surya dari atas sampai bawah.

"Mulai dina iki, kowe melu kene. Kerjo luwih abot… bayarane luwih gedhé."

("Mulai hari ini, kau ikut di sini. Pekerjaannya lebih berat… bayarannya jauh lebih besar.")

Surya mengangguk.

Tidak ada rasa bangga dalam hatinya—hanya kesadaran bahwa jalan yang ia tapaki semakin gelap.

Malam itu, ia resmi masuk ke dunia gelap yang dulu membesarkan ayahnya.

Dan perlahan-lahan, tanpa ia sadari, Surya mulai membentuk dirinya menjadi bayangan baru:

tenang, dingin, sulit ditebak… namun mematikan bila perlu.

Diam.

Tapi berbahaya.

 

 

 

 

More Chapters