LightReader

Chapter 6 - BAB 6 – Ilmu yang Tak Pernah Dicari, Tapi Tetap Datang

Surya semakin jarang pulang sebelum malam. Tubuhnya makin liat, sorot matanya makin matang untuk ukuran anak seusianya, dan pikirannya makin sibuk oleh pertanyaan yang tidak pernah ia ajukan dengan suara.

Bukan tentang sekolah.

Bukan tentang masa depan.

Tapi tentang cara bertahan hidup.

Karena hidup di rumah itu sama seperti hidup di liang ular: salah langkah sedikit, bisa jadi kau digigit, dan tidak ada yang akan menolongmu.

Suatu sore, setelah bekerja angkut-mengangkut di pasar, Surya berjalan melewati tepian hutan kecil di belakang desa. Tempat itu dikeramatkan orang-orang tua. Banyak yang menghindar, tapi Surya justru sering lewat sana. Entah kenapa, langkahnya terasa ringan tiap kali memasuki jalur itu.

Di tengah jalan, ia berhenti.

Ada sosok lelaki tua berdiri di bawah pohon besar. Tidak tinggi, tapi tubuhnya kokoh seperti akar ketapang. Rambutnya putih, matanya tajam tapi tidak mengancam.

Orang-orang memanggilnya: Mbah Sarpin.

Salah satu sesepuh kejawen yang jarang terlihat kecuali kalau ada yang kematian atau salah satu warga kerasukan.

Mbah Sarpin menatap Surya lama, seakan melihat sesuatu di balik kulit dan tulang remaja itu.

"Kowe ki dudu bocah sembarangan, yo, Le…"

(Kau ini bukan anak sembarangan, ya, Nak…)

Surya menunduk hormat.

"Nggih, Mbah."

(Iya, Mbah.)

"Opo kowe krungu swara-sworo saka njaba awakmu?"

(Apakah kau mendengar suara-suara yang bukan dari dirimu?)

Surya membeku. Tanpa sadar, bulu kuduknya berdiri.

"…kadhang krungu, Mbah."

(…kadang mendengar, Mbah.)

Mbah Sarpin tersenyum pelan.

Senyum yang tidak membuatnya lega—justru membuat Surya merasakan sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti.

"Wis waktune awakmu sinau ngendhaleni. Yen ora, kowe sing bakal dikendaleni."

(Sudah saatnya kau belajar mengendalikan. Kalau tidak, kau yang akan dikendalikan.)

Surya tidak bertanya apa maksudnya.

Karena jauh di lubuk hatinya, ia tahu: lelaki tua itu benar.

Mbah Sarpin menepuk pundak Surya.

"Tekok omahku malam Jemuwah Legi."

(Datang ke rumahku malam Jumat Legi.)

Kemudian sosok itu berjalan pergi begitu saja, seolah menghilang menyatu dengan bayang pohon.

Malam Jumat Legi tiba.

Angin dingin turun lebih cepat, dan bulan terlihat pucat di balik awan tipis. Surya berjalan pelan menuju rumah bambu Mbah Sarpin yang berada di pinggir hutan. Lampu sentir berayun di depan rumah, suara jangkrik dan kodok bersahut-sahutan seperti menyambut.

Begitu Surya mengetuk pintu, Mbah Sarpin berkata dari dalam:

"Mlebu wae, Le. Aku wis nunggu."

(Masuk saja, Nak. Aku sudah menunggu.)

Di dalam rumah, aroma kemenyan bercampur dengan wangi dedaunan. Mbah Sarpin duduk bersila di lantai, di depannya terdapat kendi tanah liat dan beberapa bunga kenanga.

Surya ikut duduk.

"Sing tak wulangke dudu guna-guna, dudu santet, dudu kekejeman."

(Yang akan kuwajarkan bukan guna-guna, bukan santet, bukan kekejaman.)

"Sing tak wulangke… carane ngerti awakmu dhewe."

(Yang kuajarkan adalah cara memahami dirimu sendiri.)

Surya mengangguk. Napasnya pelan.

Mbah Sarpin memejamkan mata, lalu berkata:

"Ojo wedi karo swaramu, Surya."

(Jangan takut pada suaramu, Surya.)

"Sebab swara kui asale saka leluhurmu dhewe."

(Sebab suara itu berasal dari leluhurmu sendiri.)

Surya menarik napas panjang.

Suara yang selama ini ia dengar—suara yang muncul saat ia letih, saat ia ketakutan, atau saat ia ingin menyerah—suara itu kini terasa semakin jelas.

Seperti seseorang berdiri tepat di belakangnya, berbicara lembut:

"Ojo nglokro, Le…"

(Jangan patah semangat, Nak…)

Suara itu bukan menakutkan.

Bukan pula mengajak hal buruk.

Suaranya seperti membawa cahaya kecil di tengah gelap.

Tapi Surya tahu: cahaya kecil itulah yang membuatnya berbeda dari anak-anak lain. Membuatnya waspada. Membuatnya melihat dunia dengan mata yang lebih dalam.

Malam itu, Surya belajar beberapa hal penting:

Bahwa ia bukan gila.

Bahwa ia bukan kerasukan.

Bahwa garis darah keluarganya memang membawa tirakat yang sudah ada sejak generasi terdahulu.

Dan bahwa cepat atau lambat… ia akan memasuki dunia yang lebih keras dari pasar, lebih gelap dari amarah ayahnya, lebih sunyi dari malam-malam penuh lapar.

Ketika pelajaran selesai, Mbah Sarpin berkata:

"Laku uripmu ora bakal gampang, Surya."

(Jalan hidupmu tidak akan mudah, Surya.)

"Nanging kowe bakal slamet yen eling lan waspada."

(Tapi kau akan selamat jika kau ingat dan waspada.)

Surya berdiri, menunduk hormat.

Saat ia keluar dari rumah itu, angin berubah lembut.

Suara-suara sunyi di kepalanya tidak lagi menakutkan.

Untuk pertama kalinya—Surya merasa dirinya dilahirkan bukan untuk jadi korban… tapi untuk bertahan dalam dunia yang bahkan belum ia lihat seluruhnya.

Dan dunia itu… sudah mulai memanggilnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

More Chapters