LightReader

Chapter 5 - chapter 5

 Tumbal DARAH suci

Malam di Semarang turun seperti tirai hitam yang terlalu tebal.

Langit tanpa bintang, udara seperti menggigil karena takut akan sesuatu yang tak terlihat.

Di dalam ruang kerja toko emasnya, Adipati duduk diam menatap tumpukan perhiasan yang memantulkan wajahnya sendiri—wajah pucat, mata cekung, dan jemari yang kini benar-benar berwarna keemasan.

Suara berat itu datang lagi.

> “Waktunya tiba, cucuku... kau sudah diberi kuasa, tapi belum membayar harga.”

Adipati mengangkat kepalanya perlahan.

Cermin di dinding bergetar pelan. Dari balik kabut tipis di permukaannya, sosok Canggah Raiman muncul—lebih jelas dari sebelumnya.

Matanya menyala seperti bara, suaranya serak namun menembus tulang.

> “Untuk menjaga kekuatanmu, kau harus melakukan Ritual Darah Pertama.”

“Carilah darah murni… darah yang belum ternoda dosa.”

Adipati tertegun.

Ia tahu apa maksudnya, meski sang kakek tidak menyebutnya secara gamblang.

“Darah murni” bukan sekadar istilah. Itu simbol kesucian—dan untuk mendapatkannya, seseorang harus rela kehilangan yang paling berharga.

> “yen aku emoh..?” tanya Adipati lirih.

Bayangan itu tersenyum samar, seperti menikmati ketakutannya.

> “Maka emasmu akan memakan tubuhmu… dari dalam.”

Seketika, nyeri tajam menjalar dari ujung jari Adipati.

Ia menjerit.

Kulitnya retak seperti tanah kering, dan dari celahnya keluar cairan emas panas yang menetes ke lantai.

Bau logam bercampur darah menyebar di ruangan itu.

Canggah Raiman tertawa kecil, suaranya seperti logam bergesekan.

 “Kau punya waktu tujuh hari. Setelah itu, tubuhmu akan membatu.”

Cermin pun kembali tenang, meninggalkan Adipati yang terengah, menggigil, dan berlutut di antara genangan emas cair.

Di luar, angin malam melolong di sela genteng, seolah ikut menertawakan ketakutannya.

 

Keesokan harinya, Adipati datang ke toko dengan wajah letih.

Para pegawai menyambutnya dengan hormat, tak menyadari apa yang sedang terjadi dalam diri majikannya.

Di antara mereka, ada satu perempuan muda bernama Saras—seorang karyawan baru yang datang dari desa. Wajahnya polos, suaranya lembut, dan caranya menatap dunia seperti seseorang yang belum pernah mengenal keburukan.

Adipati menatapnya diam-diam dari balik meja kasir.

Dalam tatapan itu, ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan:

rasa iba… sekaligus rasa takut pada dirinya sendiri.

“Pak, Kulo sampun ngitung stok dinten Niki..,” kata Saras dengan senyum kecil.

Adipati mengangguk, berusaha bersikap biasa. Tapi dalam kepalanya, suara sang kakek bergaung:

           “Darah murni…”

Ia menatap tangan kanannya yang disembunyikan di balik meja.

Jemarinya masih bergetar.

Setiap kali kulitnya bersentuhan dengan logam, ada sensasi terbakar yang menembus tulang.

Malam itu, setelah toko tutup, Adipati tak langsung pulang.

Ia berjalan ke ruang belakang, tempat lemari besar dari kayu jati berdiri menempel dinding.

Di dalamnya, tersimpan benda-benda yang dulu tak pernah ia sentuh:

botol kaca berisi cairan hitam, lilin merah darah, dan segulung kain kafan putih bertuliskan aksara Jawa kuno.

Ia membuka salah satunya.

Tulisannya samar tapi jelas:

“ jupuk Darah murni kanggo kekuasaan.

      yen gagal, awak siro bakal sirno.”

Adipati menutup mata, menahan napas.

Dalam pikirannya, suara-suara itu bergema: tawa sang kakek, jeritannya sendiri, dan bisikan halus yang entah dari mana datangnya.

 “Saras… dia akan datang lembur malam ini.”

Adipati membuka matanya tiba-tiba.

Suara itu bukan dari luar. Itu dari dalam kepalanya.

Ia menggigil.

Lidahnya kering, tenggorokannya sesak.

 

Saras memang datang malam itu.

Ia ditugasi memeriksa stok kalung yang baru selesai disepuh.

Adipati berpura-pura sibuk di ruang kerjanya, sementara di meja altar kecil di sudut ruangan, lilin merah sudah menyala dengan api yang tidak biasa—tinggi, bergoyang perlahan seperti menari.

Udara di dalam toko terasa berat.

Jam dinding berhenti berdetak.

Lampu di ruang depan berkelap-kelip, dan di luar jendela, bayangan seseorang melintas—meski pintu toko terkunci rapat.

Adipati berusaha fokus, tapi jantungnya berdetak kencang.

Ia menatap lilin merah itu lama-lama, dan entah kenapa… wajah Saras muncul di balik nyala apinya.

> “Kau tidak bisa melawan takdir,” bisik suara Canggah Raiman di telinganya.

Adipati terlonjak.

Ia menoleh, tapi tidak ada siapa pun di belakangnya—hanya aroma logam panas dan hawa aneh yang membuat tengkuknya dingin.

Ia menatap kembali ke arah altar.

Dan di sana, cairan emas perlahan menetes dari ujung lilin merah, mengalir ke lantai, membentuk huruf-huruf tak dikenal.

Huruf itu berpendar pelan… lalu menyusun kalimat:

  “getih murni wis teko. ...”

Adipati mundur selangkah.

Tangan kanannya terasa gatal,

Dan tiba-tiba kulitnya berubah menjadi logam, urat-uratnya menyala, seolah ada sesuatu yang berusaha keluar dari dalam tubuhnya.

Tiba-tiba, pintu ruang depan berderit.

Saras muncul, tersenyum polos sambil membawa buku catatan.

“Pak, Niki laporan dinten niki..”

Adipati tak mampu menjawab.

Matanya memandangi gadis itu seperti melihat cahaya terakhir sebelum gelap.

Lilin merah di belakangnya padam perlahan, meninggalkan asap hitam yang berputar membentuk wajah Canggah Raiman.

 “Waktumu hampir habis, cucuku.”

Adipati menutup matanya, mencoba menolak semua itu.

Tapi dalam kepalanya, suara lain datang—lebih pelan, seperti doa yang dibalikkan:

 “getih murni.

     kanggo Nebus Kamulyan .."

Saras menatapnya bingung.

“Pak? Bapak nggak apa-apa?”

Adipati menarik napas dalam-dalam, memaksa dirinya tersenyum.

“Tidak apa-apa, Saras… tolong bantu saya sebentar di ruang belakang.”

 

Ketika pintu ruang belakang menutup, lilin merah menyala kembali.

Cahaya emas dari tangan Adipati berpendar di dinding, memantulkan bayangan dua orang.

Angin berdesir lewat celah ventilasi, membawa suara samar seperti nyanyian dari dunia lain.

Dan di luar toko, seekor burung gagak hinggap di papan nama bertuliskan Toko Emas , seraya menatap dengan mata merah menyala.

Ia mematuk papan itu tiga kali—

tok, tok, tok—

lalu terbang pergi ke arah laut, membawa sehelai bulu emas di paruhnya.

Di bawah sinar lilin yang menari, suara langkah mendekat.

Cermin di ruang belakang bergetar hebat, dan di dalamnya, wajah Canggah Raiman muncul, kali ini bukan hanya wajah.

Tubuhnya mulai keluar dari balik cermin, setengah manusia, setengah logam.

Ia menatap Adipati dan berbisik dengan senyum mengerikan:

 “Kau sudah memilih, cucuku.

Sekarang, tinggal lihat… siapa yang akan bertahan, kau atau jiwanya.”

 

Bersambung...

More Chapters