LightReader

Chapter 4 - chapter 4

Harga dari Sebuah Sentuhan

Langit Semarang sore itu tampak seperti logam yang terlalu lama dipoles—berkilau tapi menyimpan panas yang menyakitkan. Udara terasa berat, menekan, dan matahari seolah menatap dari kejauhan dengan senyum licik.

Adipati berdiri di balkon rumah barunya, memandangi kota yang kini ia kuasai dengan tangan yang dulu penuh luka dan debu pasar. Dari ketinggian, suara manusia hanya menjadi dengung samar: deru motor, teriakan pedagang, dan tawa anak-anak yang berlari di antara gang sempit.

Ia menarik napas panjang.

Kota ini kini mengenalnya sebagai “Sultan Dermawan”.

Tapi di dalam dirinya, sesuatu yang aneh.

Di telapak tangan kanannya, sebutir cincin kecil berkilau di bawah cahaya sore. Cincin itu hasil dari sentuhan singkatnya semalam. Namun warnanya berbeda—lebih gelap, nyaris merah, seperti ada noda getih yang menolak hilang meski sudah dicuci berkali-kali.

> “Setiap kekayaan menuntut bayaran...”

Suara itu menggema di dalam pikirannya. .

Adipati menutup matanya sejenak, mencoba mengabaikan gema itu, tapi justru bayangan lelaki tua berjubah putih muncul di pantulan kaca balkon. Canggah Raiman. Mata leluhurnya yang menyala emas menatap tajam, penuh peringatan.

“Berapa lama lagi kau mau menipu dirimu sendiri, cucuku?” suara itu berdesis pelan.

“Berhentilah sebelum semuanya terlambat.”

Adipati tak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke langit yang mulai memerah di ufuk barat.

“yen Iki pancen kutukan,” bisiknya pelan, “biarlah aku memanfaatkannya untuk sesuatu yang berarti.”

Ia ingin percaya bahwa semua kekuatan ini masih bisa membawa kebaikan. Bahwa emas yang muncul dari tangannya bukan hanya kutukan, tapi juga alat untuk menebus hidupnya yang dulu melarat, dan untuk nulung wong-wong melarat.

Bisik nya pelan menahan rasa takut.

 

Sore itu, di tokonya yang sedang ramai pembeli, ada seorang nenek tua datang.

Bade tumbas kalung sing Niki pak

Kagem anak kulo...”

Adipati mengangguk sopan. Ia mengambil kalung itu, merapikannya di atas meja kaca. Namun ketika jari mereka bersentuhan—tubuh nenek itu tiba-tiba menegang. Matanya memejam sesaat, wajahnya pucat, dan napasnya tersendat.

Kalung di tangannya memancarkan cahaya redup sesaat sebelum warna emasnya perlahan pudar, menjadi keabu-abuan seperti logam mati.

“Ibu?” Adipati menatap khawatir.

nenek tua itu tersenyum kikuk, seolah tak terjadi apa-apa.

“Ah, maaf, Nak… mungkin saya masuk angin, jadi agak pusing..”

nenek tua segera membayar, dan kalung itu ia bawa dengan langkah sempoyongan..

Tapi Adipati tahu. Ada yang janggal .

Dan Ia bisa merasakannya.

Energi hangat yang biasa ia rasakan saat menyentuh tanah kini berpindah arah. Bukan keluar dari tubuhnya, tapi masuk. Mengalir pelan melalui sentuhan ibu itu.

Bukan lagi tanah yang berubah jadi emas.

Tapi sesuatu yang jauh lebih berharga ...

Tangannya bergetar. Ia menatap jemarinya lama-lama, menekan rasa mual yang naik dari perut.

Ada sesuatu yang mendidih di bawah kulitnya.

Kilau samar keemasan muncul di urat-uratnya, lalu bergerak pelan seperti cairan hidup.

 

Dan Malam itu, ia tidak bisa tidur.

Cahaya lampu di ruang kerjanya bergoyang lembut, menciptakan bayangan aneh di dinding.

Adipati duduk di kursi kayu, menatap telapak tangan kanannya yang terus bergetar tanpa henti.

Ujung jarinya kini benar-benar berubah warna—keemasan, seolah emas tumbuh langsung dari dagingnya. Ia menekan jari-jarinya ke meja, dan setiap kali ia melakukan itu, bekas keemasan tertinggal di permukaan kayu.

Ia membuka buku catatan lamanya—buku yang dulu berisi mimpi dan rencana sederhana. Kini halaman-halamannya diisi kalimat pendek dan aneh, seperti catatan orang yang berperang dengan dirinya sendiri.

Ia menulis pelan, dengan tinta hitam yang gemetar:

"melarat bingung,

Sugih, juga bingung.."

tiba-tiba Tinta itu menetes sedikit, menyebar seperti urat darah di atas kertas.

Dan saat huruf terakhir mengering, kaca cermin di dinding bergetar pelan.

Adipati menatapnya.

Bayangan Canggah Raiman muncul lagi, kali ini lebih jelas daripada sebelumnya.

Wajahnya tua, matanya tajam, tapi ada sesuatu yang berbeda: kulitnya tampak retak, seperti marmer yang disusupi sinar.

“Selamat datang di takdir keluarga kita, Adipati,” katanya perlahan.

“Sekarang, kau bukan hanya penerusku… kau adalah sumbernya.”

Seketika, udara di ruangan itu berubah dingin.

Lampu gantung bergoyang hebat, bayangan di dinding menari sendiri, dan dari arah cermin terdengar suara retakan halus.

Ck...ck...ck...

Kaca itu pecah.

Serpihan demi serpihan jatuh ke lantai, tapi bukan kaca yang biasa—melainkan potongan logam cair yang berwarna emas. Dari setiap pecahan, menetes cairan kental, mengalir seperti darah yang baru keluar dari luka.

Adipati mundur, napasnya memburu.

Cairan itu menyatu di lantai, membentuk pola melingkar seperti segel kuno.

Suara berat itu kembali berbisik di telinganya.

“Kau fikir emas itu milikmu, cucuku? Tidak... Sekarang kau yang menjadi milik emas.”

Seketika, suhu ruangan turun drastis. Napasnya berubah menjadi kabut putih. Dan Lampu yang padam, meninggalkan kilau lembut dari genangan emas di lantai.

tiba-tiba ada sesuatu keluar dari dalam cermin yang retak itu—bukan bayangan, bukan refleksi—tapi tangan.

Tangan berwarna emas, mengilat seperti patung hidup. Jari-jarinya panjang dan kaku, dengan kuku setajam pisau.

Tangan itu perlahan mendekat ke arahnya ,

Ia berusaha mundur, tapi langkahnya terasa berat, seolah lantai menahan kakinya.

“T-tidak... ini tidak nyata…” teriaknya , dengan suara ketakutan..

Namun tangan itu benar-benar menggenggam pergelangannya.

Kulit Adipati terasa terbakar dingin. Denyut nadinya berpacu liar, dan dalam sesaat, pandangannya berkunang.

Cairan emas dari lantai mengalir naik ke lengannya, melilit seperti ular, merayap sampai ke bahunya. Setiap sentimeter kulitnya yang tersentuh langsung berubah warna, menjadi padat berkilau.

Ia mencoba menjerit, tapi suaranya tertelan udara.

Di cermin, sosok Canggah Raiman menatap puas, seolah menyaksikan ritual yang telah lama ditunggu.

“Jangan melawan,” bisik suara itu.

“Tubuhmu hanyalah wadah... dan jiwamu, adalah harga yang harus segera kau bayar...”

Emas terus menyebar ke seluruh tubuhnya, menutupi dada, leher, bahkan wajahnya yang kini mulai kehilangan warna manusia.

Dan saat seluruh tubuhnya hampir tertelan cahaya emas itu, sesuatu dalam dirinya berontak. Adipati menatap cermin, menatap sosok leluhurnya dengan mata yang kini juga memantulkan cahaya emas.

“Kalau aku milik emas,” suaranya bergetar, “maka emas pun akan tunduk padaku.”

Emas di tangannya bergetar keras.

Tangan emas yang menggenggamnya mulai retak, mengeluarkan percikan cahaya. Suara gemuruh bergema dari dinding, dan ruangan itu kini terasa bergetar seperti hendak runtuh.

Namun sebelum itu terjadi..

Cermin itu meledak.

Cahaya emas menyala kuat, menyilaukan segalanya.

Pada Saat cahaya itu padam, ruang kerja Adipati kosong.

Hanya tersisa genangan emas pekat di lantai, berkilau seperti kolam darah yang berpendar.

Di tengah genangan itu, mengambang sebuah topeng emas, menyerupai wajah Adipati sendiri—tersenyum samar, matanya terbuka, dan di dalamnya, ada sesuatu masih berdenyut.

 

sedangkan di luar rumah , angin malam Semarang membawa bisikan halus.

Suara yang hampir tidak terdengar tapi cukup untuk membuat siapa pun yang mendengarnya merinding:

“aku butuh darah.."

More Chapters