Fajar belum benar-benar lahir ketika Istana Timur terasa seperti bangkai raksasa yang baru saja kehilangan jiwanya.
Cahaya pertama menyelinap melalui
jendela-jendela retak, menari-nari di atas lantai batu yang masih basah oleh jejak malam yang kelam.
Setiap sinar yang memantul menciptakan pola cahaya tipis yang justru mengungkap lebih banyak kegelapan di sudut-sudut ruangan.
Aroma besi hangus dan debu reruntuhan bercampur dengan bau tanah basah yang asing, seperti dunia lain sedang mengintip melalui celah-celah tembok,
mengingatkan siapa pun yang berani bernapas bahwa teror malam sebelumnya bukanlah mimpi buruk belaka.
Di aula utama, kerumunan bangsawan dan rakyat berkumpul dalam hening yang tegang bagai tali tambang yang siap putus.
Mata mereka tertuju pada dua sosok yang mendiami singgasana.
Raiman, dengan tatapan mata kuningnya yang dingin bagai es di musim salju,
sementara bayangan gelap di belakangnya bergerak-gerak sendiri layaknya makhluk hidup yang sedang mengintai mangsa.
Di sisinya, Putri Ayuningrum duduk tegak, matanya putih bersih bagai mutiara, memancarkan cahaya lembut namun penuh ketegasan, seakan mampu menembus setiap rahasia yang tersembunyi di balik realitas.
Raja Timur berdiri gemetar di hadapan mereka, wajahnya pucat bagai mayat.
Tangannya yang bergetar diangkat, mencoba menenangkan suara yang nyaris tercekat di kerongkongannya.
acara itu dimulai dengan sabda raja,
Wonten ing wekdal menika..., praja punika, sapanggangeting wewengkon saha kakuwasanipun... kawula aturaken dhateng Kangjeng Raden Gusti Raiman.
Tuwan putri kawula, Ayuningrum... dipun aturaken dados garwanipun. Wonten ing pundi, putusan punika inggih pitakenan ingkang boten saged malih."
(Sekarang..., kerajaan ini, seperempat wilayah dan kekuasaannya... saya serahkan kepada Raden Gusti Raiman. Dan putri saya, Ayuningrum... akan menjadi istrinya. Keputusan ini sudah final dan tidak bisa dibatalkan.")
Seketika, hening yang menyelimuti aula bagai kain kafan.
Bahkan napas pun seolah ikut tertahan.
Raiman hanya menatap tanpa ekspresi, tanpa senyum, tanpa kata.
Semua janji dan kekuasaan telah diberikan kepadanya.
Bayangan di belakangnya bergerak lebih aktif, menyerap setiap energi ketakutan yang terpancar dari para tamu , menegaskan bahwa kekuatan yang ia bawa bukanlah ilusi semata.
Putri Ayuningrum kemudian bangkit dan melangkah maju. Setiap langkahnya nyaris tak bersuara, namun kehadirannya terasa menyelimuti seluruh ruangan. Saat mereka berdiri berhadapan, sebuah kata tanpa suara bergema dalam pikiran semua yang hadir,
" ini adalah takdir terkutuk"
Upacara pernikahan berlangsung dalam kesederhanaan yang menyakitkan.
Tidak ada alunan musik riang,
tidak ada sorak-sorai kegembiraan.
Hanya keheningan berat yang dipenuhi pandangan penuh tanya dan ketakutan.
Dan ketika cincin disatukan,
Raja Timur menundukkan kepala dalam kekalahan.
Sebagian wilayah kerajaannya telah berpindah tangan.
Sejarah baru sedang ditulis,dalam kesunyian yang justru lebih menakutkan daripada teriakan perang.
Raiman merasakan beban itu meresap hingga ke tulang-tulangnya.
Seperempat kekuatan kerajaan kini berada dalam genggamannya, namun itu bukan sekadar kekuasaan.
Ia membawa tanggung jawab gelap, janji yang tertanam dalam darah, dan kutukan Gunung Kembang yang melekat padanya bagai bayangan mimpi buruk tak berujung.
"Saiki..." bisik Ayuningrum, suaranya lirih bagai angin malam yang menyusup lorong-lorong istana
, "kabeh wis mlaku. Nanging iki mung wiwitan. Tujuh negeri bakal ngerti yen kekuatan kita ora mung saka tanah iki, nanging saka bayangan sing teka saka gunung lan kutukan sing ora bisa dipungkiri."
Raiman mengangguk pelan.
Ia tidak tersenyum, tidak juga berbicara.
Satu hal yang jelas, Kerajaan Timur kini berada di tangan seseorang yang lebih dari sekadar manusia..
ia adalah pemilik Aji Tumbal Kencana, pengendara bayangan gelap, dan suami pewaris takhta.
Di luar tembok istana, dunia masih terlelap dalam kebohongan sejarah yang selama ini dipelihara.
Mereka belum menyadari bahwa
langkah-langkah Raiman selanjutnya tidak hanya akan menentukan nasib separuh wilayah Timur,
tetapi juga akan menyalakan api konflik yang mengguncang tujuh negeri, membangkitkan musuh-musuh tua, dan menantang takdir yang selama ini tersegel rapat dalam bayangan Gunung Kembang.
=®~
Malam itu, Raiman duduk di singgasana,
sementara Putri Ayuningrum berdiri di sisinya. Bayangan gelap membungkus mereka bagai selubung,
bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai tanda bahwa kekuatan mereka telah menyatu.
Raja Timur berdiri di sudut aula, tubuhnya masih gemetar, sadar bahwa kerajaan yang selama ini ia kendalikan telah berpindah tangan kepada dua makhluk yang kekuatannya melampaui nalar manusia.
Hari-hari berikutnya di istana diwarnai oleh ketidaktenangan yang terus menggeliat.
Kabar tersebar cepat, namun tidak seorang pun berani menyebut Raiman sebagai penguasa baru secara terang-terangan.
Sebagian rakyat menunduk ketakutan, sebagian lagi bersikap waspada, mencoba meraba-raba takdir yang baru saja menginjakkan kaki di kerajaan mereka.
Di ruang bawah tanah yang lembap,
para penasihat kerajaan berkumpul dalam bisik-bisik gelap.
".Lalu apa yang dapat kita perbuat?"desis seorang menteri, dengan suaranya lirih bagai angin malam.
"Anak muda itu... bersama putri raja kita... mempunyai kekuatan yang tidak wajar..
Ini... adalah kutukan yang akan mendatangkan bencana,"
sahut menteri lain, dengan suara bergetar menahan takut.
Namun di atas singgasana, Raiman dan Ayuningrum hanya diam,
karena ketenangan mereka bukan tanda kelemahan, melainkan bukti kekuasaan penuh.
Setiap gerakan, dan setiap hela napas mereka, seperti menghitung langkah musuh yang belum muncul.
Hari-hari berganti, dan Raiman mulai menunjukkan taringnya.
Ia bergerak cepat, menempatkan prajurit-prajurit loyalis, menutup celah-celah yang bisa menjadi titik lemah kekuasaannya.
Putri Ayuningrum duduk di sampingnya, menatap peta kerajaan dengan mata tajam.
"Sampeyan kudu ngerti..." ujarnya dengan nada dingin namun penuh ketepatan, "ora kabeh bakal manut. Ana sing bakal nglawan, ora amarga pengin ngrebut kekuwatan, nanging amarga wedi karo apa sing sampeyan lan ingsun Gowo.."
Raiman menoleh, matanya yang kuning berkilat dalam cahaya redup: "Wedi? Aku ora peduli karo wedi. Sing kudu dak peduli, yaiku siap nyegah supaya awake dhewe ora kalah karo apa sing bakal teka saka Gunung Kembang."
Petang itu, langit di luar istana berubah menjadi merah gelap, seolah menyambut kekuatan baru yang sedang bangkit.
Bayangan Raiman menyatu dengan cahaya senja, bergerak seperti ombak hitam yang perlahan menutupi tanah.
Dan di kaki Gunung Kembang, sesuatu bergeliat dalam kegelapan.
Iblis-iblis yang menjadi bagian dari perjanjian Raiman mulai bangun dari tidur panjang, merasakan energi baru yang dilepaskan dari pernikahan itu.
Bisik-bisik gelap menyebar di udara bagai asap, perang tujuh negeri sudah tidak terelakkan lagi.
Malam pertama mereka tidak diisi dengan cinta atau kata-kata manis.
Hanya keheningan berat, dan rencana-rencana yang digelar dalam pikiran.
Raiman menatap Putri Ayuningrum, dan dalam diam, keduanya memahami,
bahwa mereka bukan sekadar pasangan kerajaan.
Mereka adalah pengunci dan pemicu ramalan, penguasa masa depan yang akan mengukir sejarah dengan darah dan bayangan.
Dunia, yang masih terlelap dalam kebohongan sejarah, belum tahu: malam ini, fajar tidak membawa harapan, melainkan awal dari perang tujuh negeri yang belum pernah tercatat dalam sejarah mana pun.
Raiman menghela napas panjang, matanya menatap jauh ke luar jendela,
Bayangan di belakangnya bergerak, berbisik pelan,
"Wektumu wis teka."
Putri Ayuningrum menepuk lengan Raiman, dan untuk pertama kalinya, kata-kata itu terdengar jelas di telinganya:
"Wis wayahe. Ora mung kerajaan iki... nanging kabeh tanah lan langit bakal ngerti sapa sing duwe kuasa."
Raiman mengangguk, dan malam itu, bayangan serta cahaya bersatu dalam dirinya.
Ini bukan sekadar pernikahan politik.
Ini adalah awal dari babak baru...perang yang akan membakar tujuh negeri, membangkitkan kutukan Gunung Kembang, dan mengguncang fondasi dunia yang selama ini dianggap stabil.
Di aula yang sunyi, hanya bayangan yang tersisa, menunggu langkah pertama tuan baru Kerajaan Timur..
pemimpin yang membawa kutukan dan harapan, kegelapan dan cahaya, dalam genggaman yang sama kuatnya.
Namun dari sudut gelap kembali terdengar bisikan aneh,
“Wektumu… wis teka. Nanging… ora kabeh bakal mlaku kaya sing dikarepake.”
Bayangan di belakang Raiman menyebar, merayap ke setiap sudut. Dunia di luar tembok istana menunggu, tanpa sadar bahwa langkah berikutnya akan mengubah segalanya.
