LightReader

Chapter 19 - chapter 19

Perang tujuh negeri meledak tanpa ampun, memuntahkan darah dan api ke setiap sudut tanah yang dulu damai.

Langit siang diselimuti asap hitam pekat, menelan cahaya matahari yang berusaha menembus.

Dentuman meriam dan teriakan tentara bersatu menjadi simfoni kematian, menggema di lembah, gunung, dan sungai.

Di tengah kekacauan itu, Raiman berdiri tegak di samping Putri Ayuningrum, kedua tangan mereka erat saling menggenggam.

namun kini Mereka bukan sekadar pemimpin, mereka adalah simbol kutukan yang telah diramalkan berabad-abad lalu.

Mata kuning Raiman yang dingin seperti es di musim salju memindai medan perang, sementara bayangan gelap di belakangnya menari dan menyelimuti tanah seperti kabut malam yang hidup.

Putri Ayuningrum, dengan mata putihnya yang bersinar lembut, menatap dunia dengan ketenangan yang menakutkan...

bukan karena ia tidak takut,

tapi karena ia mampu melihat jauh ke dalam hati manusia dan jiwa mereka yang paling gelap.

“Kota-kota kini terbakar oleh amarah rakyat, ladang dijarah, dan kekacauan ekonomi menjalar ke seluruh negeri.

Harga makanan melonjak, panen gagal, dan perdagangan lumpuh.

Setiap keputusan Raiman, meski benar dan adil, selalu dibalas dengan kebencian yang membara. rakyat melihatnya bukan sebagai pemimpin, melainkan sebagai simbol malapetaka yang jatuh dari langit...

kutukan yang hidup, hadir dalam wujud manusia yang kini memegang separuh kekuatan mereka.

Di tengah semua itu, Raiman dan Ayuningrum berdiri tenang.

Bayangan Raiman bergerak di udara, membungkus dirinya dan Putri seperti perisai gelap yang memisahkan mereka dari dunia yang menentang.

Mereka bukan sekadar manusia; mereka adalah janji yang tak bisa dihindari, takdir yang harus dijalani, kutukan yang menunggu untuk memunculkan kengerian sesungguhnya.

Malam itu, kegelapan yang lebih pekat dari sebelumnya menunggu.

sementara itu, di ruang bawah tanah yang lembap dan gelap, para menteri berkumpul. Lilin-lilin tipis bergetar, memantulkan bayangan mereka yang panjang dan bengkok di dinding batu.

Mereka menunduk, bisik-bisik gelap berpadu dengan aroma dupa dan tanah basah.

Di antara rencana dan ambisi,

mereka merancang sesuatu yang lebih kejam...ritual yang bisa mengubah nasib kerajaan, bahkan menantang takdir itu sendiri.

“Seribu kepala kerbau putih… dan satu gagak emas Gunung Kembang,” bisik salah seorang pemimpin ritual,

tangan gemetar menahan simbol perjanjian kuno.

Api lilin menari liar, bayangan di dinding bergerak seperti makhluk hidup, sementara mantra purba memenuhi udara dengan aroma kematian dan bangkai.

Saat ritual mencapai klimaks, sebuah ledakan energi terasa..

bukan kematian, tetapi lenyap dari kerajaan.

Raiman dan Ayuningrum. tiba-tiba menghilang ,

berpindah tempat,

Mereka kini berada di benua lain,

benua yang jauh, damai, subur, dan tanpa perang.

Sungai mengalir jernih, ladang hijau membentang, dan masyarakatnya ramah.

Di tempat itu , Raiman menjadi nelayan biasa, dan Putri Ayuningrum berdagang di pasar dekat rumah mereka.

_-_-&-

Dua puluh tahun berlalu.

Raiman dan Ayuningrum hidup sebagai rakyat biasa,

jauh dari bayangan kutukan Gunung Kembang.

Mereka dikaruniai delapan anak laki-laki dan tiga anak perempuan.

Kekuatan supranatural Raiman seakan lenyap, tertutupi oleh kebahagiaan sederhana,

tawa anak-anak, kesibukan pasar, dan aroma laut yang menenangkan.

Namun takdir memiliki cara lain untuk mengingat mereka.

Tiga puluh tahun kemudian, Ayuningrum meninggal dengan damai, meninggalkan dunia yang dulu pernah ia rasakan.

Dua hari kemudian, Raiman mengembuskan napas terakhir di perahu kecilnya,

di tepi laut yang tenang ,

Kedamaian yang mereka rasakan hanyalah sementara,

bayangan kutukan aji tumbal kencana tidak pernah tidur.

Generasi keturunan mereka mulai merasakan hal-hal aneh,

Bayangan itu muncul di malam hari,

makhluk tak tampak namun terasa,

Bayangan itu merayap di setiap sudut rumah mereka, masuk ke dalam mimpi dan napas sehari-hari,

meninggalkan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang.

Itu semua adalah warisan dari perjanjian lama Raiman dengan Iblis Gunung Kembang.

Dan Setiap generasi umurnya selalu singkat.

tak pernah lebih dari 35 tahun,

meninggalkan jejak kehilangan, ketakutan, dan luka yang terus mengalir turun temurun.

Hingga hari ini, di era modern, kisah itu tetap hidup..

meski dunia menutup mata pada legenda lama. Kekuatan gelap yang pernah dimiliki Raiman tetap berdetak di garis darah keturunannya.

Bayangan itu masih menunggu, memanjang di lorong-lorong kota, menanti pemicu yang akan membangkitkan kutukan sepenuhnya.

Di gedung pencakar langit dan kota besar, beberapa keturunan Raiman mulai merasakan bisikan yang sama seperti yang pernah didengar leluhur..

mereka kini merasakan tarikan tak terlihat,

dan kadang, bayangan hitam melintas di sudut mata.

Rasanya seperti ada sesuatu yang mengawasi, menunggu kesempatan untuk bangkit kembali.

Di tengah malam yang sunyi, bayangan itu mengelilingi satu keluarga muda di apartemen di kota metropolitan.

Mereka tertidur, tapi tubuh dan pikiran mereka terikat dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Bisikan-bisikan halus terdengar, suara yang seolah memanggil, memperingatkan, dan mengancam secara bersamaan.

Dan satu hal pasti, ketika bayangan itu muncul sepenuhnya, dunia tidak akan pernah sama lagi.

Kutukan yang dimulai oleh Raiman dan Ayuningrum, yang sempat tertahan oleh benua damai, kini menunggu untuk menuntut kembali kekuasaan dan balas dendamnya. Orang-orang modern mungkin berpikir mereka aman, namun setiap langkah keturunan Raiman adalah langkah di garis batas takdir yang gelap.

Dan di ujung kota, di sebuah gedung tua yang terlupakan, bayangan itu bergerak perlahan...

Mata-mata tak kasat mata menatap ke setiap sudut jalan,

merasakan energi yang familiar..

energi yang pernah menaklukkan seperempat kerajaan ,

Angin malam berdesir membawa bisikan lama:

“Wektumu… wis teka. Nanging… ora kabeh bakal mlaku kaya sing dikarepake.”

Bayangan itu menyebar, merayap ke setiap sudut.

Dunia menunggu, tak menyadari bahwa langkah berikutnya akan mengubah segalanya, memicu ketakutan baru, dan mungkin membangkitkan perang yang tak kalah dahsyat dari tujuh negeri dahulu.

Dan di satu tempat, jauh dari kota, seorang keturunan muda menatap langit malam, tanpa sadar merasakan denyut gelap di dalam darahnya.

Takdir yang diwariskan sejak Raiman dan Ayuningrum kini berada di tangannya..

kuasa dan kutukan yang akan menentukan hidup, mati, dan sejarah dunia yang belum pernah tercatat.

Bayangan itu menunggu, tak bergerak namun terasa hidup, seperti napas panjang dari zaman yang terlupakan.

ketika Dunia masih terlelap dalam mimpi yang fana, tanpa tahu bahwa lembaran sejarah sedang bergeser diam-diam.

Fajar yang akan datang tidak akan membawa cahaya.

Ia hanyalah tirai tipis yang menitipkan bayangan gelap, memantulkan rahasia dan kutukan yang tak pernah padam.

Di cakrawala, langit seolah menahan nafas, sementara bisikan takdir mulai menari di antara kabut, lembut namun menembus sampai ke tulang.

Segala yang hidup akan menyadari..

tidak ada lagi pagi yang aman, tidak ada lagi harapan yang murni.

Hanya gelap,..

hanya bisikan,..

dan janji yang akan membakar dunia ketika waktunya tiba.

More Chapters