LightReader

Chapter 3 - Malam Ketiga - Mereka Mulai Hilang

Suara dentang lonceng gereja tua mengoyak keheningan malam, berdentang sembilan kali seakan membacakan doa untuk arwah. Namun tidak ada doa yang mampu menenangkan ketakutan penduduk desa setelah kematian Kolonel Pieter ditemukan dua hari lalu dengan tulang tengkorak remuk dan bola mata hilang.

Para mandor dan tentara melarang penduduk berbicara, tetapi ketakutan tidak bisa dibungkam.

Para ibu mengunci anak mereka lebih awal. Para lelaki tidur sambil menggenggam parang. Anjing-anjing desa tidak menggonggong malam ini; hanya menggeram sambil menatap gelap ladang tebu.

Semua orang takut menyebut namanya.

Silvana.

Di salah satu barak pekerja, lima pria duduk mengelilingi api kecil: Tarya, Samin, Jauhari, Karsa, dan Lebun. Mereka adalah saksi terdekat yang dulu melihat Silvana dihukum di sungai. Mereka menyembunyikan rahasia itu, karena menyebutnya berarti turut bersalah.

Dan malam ini, rahasia itu mengetuk pintu kesadaran mereka.

"Jangan sebut nama itu," Tarya berbisik ketika Jauhari hendak berbicara. "Kalau memang benar dia kembali… kita semua sudah mati."

Karsa berkeringat dingin. "Aku melihat sesuatu semalam di jendela. Rambutnya basah, wajahnya pucat, dan—"

Tarya menepuk pundaknya cepat, menahan. "Sudah! Jangan ucapkan cirinya, jangan sebut namanya, jangan ingat dia."

Api unggun berkedip seperti sedang tertiup angin, padahal pintu barak dan jendela tertutup.

Kemudian terdengar ketukan.

Pelan. Teratur. Tiga kali.

TOK—TOK—TOK.

Para lelaki mendongak bersamaan. Tidak ada yang berani bergerak.

Ketukan itu datang dari pintu belakang barak, pintu yang sudah bertahun-tahun tidak dipakai. Kuncinya berkarat.

Tarya menggeleng, berbisik, "Jangan buka. Jangan lihat."

Tapi rasa penasaran membunuh rasa takut. Lebun mengambil obor kecil dan berjalan ke arah pintu.

"Kalau ini maling, kita harus—"

Belum sempat menyelesaikan kalimat, pintu terbuka sendiri. Tidak dihancurkan. Tidak didobrak.

Kuncinya jatuh ke lantai seperti mencair.

Angin basah menerobos masuk. Bau sungai busuk memenuhi ruangan.

Tidak ada siapa pun berdiri di luar.

Sebagai gantinya, ada jejak kaki penuh lumpur memanjang dari ambang pintu menuju dalam barak. Jejak itu berhenti di tengah ruangan, lalu bercabang menjadi dua arah, lalu empat… lalu menyebar ke seluruh sudut, seolah ada banyak makhluk tak terlihat merayap masuk.

Jauhari tersengal. "Dia… dia… dia masuk tanpa tubuh…"

Belum sempat mereka bereaksi, suara napas terdengar sangat dekat, di belakang telinga.

sssshhhhhhhh—

Seperti seseorang bernapas melalui rongga dada tanpa paru-paru.

Tarya meraih parang dan mengayun ke belakang secara refleks.

Parang hanya memotong udara.

Namun ada suara lain… suara sesuatu jatuh ke tanah. Sesuatu yang berat.

Mereka menoleh.

Kepala Lebun tergeletak di lantai, matanya terbelalak, dan mulutnya masih seperti hendak memanggil seseorang. Tubuhnya masih berdiri tegak selama dua detik sebelum darah menyembur dari lehernya, menyemprot dinding.

Karsa menjerit pertama, lalu semuanya panik.

Samin dan Jauhari berlari ke pintu depan. Tapi pintu tak bisa dibuka. Pintu itu seperti disegel oleh udara, seperti dinding batu.

Lebun—atau tubuhnya tanpa kepala—terhuyung lalu bergerak sendiri, seakan digerakkan oleh tangan tak terlihat, melangkah ke arah Jauhari dengan gerakan kaku dan tidak manusiawi.

Tidak ada kepala, tapi tubuh itu mengejar.

Tubuh itu memeluk Jauhari dari belakang dengan kekuatan mengerikan hingga tulang rusuknya patah satu per satu. Suara retak terdengar jelas.

Craakk… craaakk… craaakk…

Jauhari meronta dan memuntahkan darah.

Tarya memotong tubuh itu dengan parang, tetapi tubuh Lebun bukan manusia lagi. Dagingnya tidak membusuk, namun berdenyut seperti sedang dipaksa bergerak oleh sesuatu dari luar.

Dari sudut ruangan, terdengar suara kaki menyeret.

Bukan langkah manusia.

Seperti seseorang berjalan di tanah… tapi berbaring.

Tarya menoleh perlahan.

Di sana… di lantai… merayap seorang perempuan. Rambut hitam panjang basah menutupi separuh wajahnya. Kulitnya pucat keabu-abuan seperti kapas tenggelam. Lehernya miring ke arah yang mustahil, seakan patah tetapi tetap menyangga kepala.

Matanya tanpa putih, hitam pekat seperti jurang.

Silvana.

Tapi wajahnya bukan lagi wajah manusia yang pernah tersenyum pada kehidupan. Itu adalah wajah kesunyian yang mati tanpa diterima waktu.

Dia merayap lebih dekat, namun setiap gerakannya disertai suara tulang berbenturan seperti rantai.

Jauhari yang sekarat hanya sempat berbisik, "Maaf… maaf… kami diam… kami biarkan mereka membunuhmu…"

Silvana meletakkan telapak tangannya di dada Jauhari.

Tidak ada teriakan.

Tidak ada darah.

Di tempat telapak itu menyentuh, dadanya terbelah seperti tanah kering pecah, perlahan tapi pasti. Tulang rusuk membuka dirinya sendiri seperti pintu pagar, memperlihatkan jantung masih berdenyut… sebelum berhenti.

Samin ingin kabur lewat jendela, tetapi jendela dipenuhi tangan pucat tak bertubuh yang menekan kaca dari luar seperti ingin masuk. Bahkan tanpa wajah, tangan-tangan itu tampak haus.

Suara bisikan memenuhi ruangan.

Silvana… Silvana… Silvana…

Bukan dari roh. Bukan dari makhluk lain.

Dari kepala Lebun yang berada di lantai, bibirnya bergerak sendiri.

Tarya berteriak sambil memukul kepala itu hingga hancur, tetapi kepala itu tetap terus membisik meski pecah menjadi potongan kecil.

Samin kehilangan kendali dan berlutut, menangis. "Apa yang kau mau!? Kami dulu tak punya pilihan! Kami takut! Kami tidak sanggup menolongmu!"

Silvana berhenti merayap.

Dia mengangkat wajahnya… dan meski tanpa pupil, pandangannya terasa menembus hingga ke roh terdalam.

Suara Silvana tak terdengar keluar dari mulutnya.

Melainkan langsung di dalam kepala mereka.

"Aku tidak menuntut kalian menolongku…

Aku menuntut kalian merasakan apa yang ku rasa."

Tangan-tangan tak bertubuh menembus dinding seperti melayang, lalu menancap ke tubuh Samin, menariknya perlahan… ke dalam lantai. Tidak ada lubang. Tidak ada celah. Tubuh Samin ditarik masuk seakan lantai berubah cair.

Samin tenggelam ke tanah sambil menjerit memohon ampun.

Tarya dan Karsa adalah dua yang tersisa.

Keduanya berlari—menuju pintu belakang yang terbuka. Itu satu-satunya harapan.

Silvana tidak mengejar.

Dia hanya berjalan dengan langkah yang sangat pelan, tanpa tergesa, tanpa terganggu… karena dia tahu, tidak ada tempat bersembunyi di dunia ini dari dendam.

Di luar barak, angin malam terasa membeku. Tarya menoleh dan berkata dengan suara bergetar:

"Kars… kita harus ceritakan ini ke orang-orang. Kalau tidak, tidak ada yang bertahan."

Karsa menggeleng keras, ketakutan sampai tubuh gemetar. "Kalau kita bicara… dia akan datang lagi. Dia tidak mau kita berbicara…"

Tarya mengguncang bahunya. "Kalau kita diam, dia akan bunuh semua orang satu per satu!"

Karsa menangis dan berlari ke arah rumah mandor untuk meminta perlindungan tentara.

Tarya berlari ke arah hutan tebu, menuju tempat yang dulu menjadi kuburan Silvana.

Dua arah berbeda.

Dua nasib berbeda.

Dua babak dendam selanjutnya.

Dan dari dalam barak, suara Silvana menggema… bukan melalui mulut, tetapi melalui napas angin.

"Aku tidak selesai."

Langit menjadi merah gelap.

Dan ladang tebu bergoyang seperti menyambut sesuatu yang baru bangkit.

Malam pembantaian baru saja dimulai.

More Chapters