Aroma kapur barus bercampur tanah basah selalu memenuhi halaman rumah besar itu. Di masa pendudukan Belanda, rumah-rumah pejabat kolonial dibangun tinggi menjulang, tetapi rumah yang ditempati Letnan Van Goor di pinggir perkebunan tebu ini lebih mencekam dibandingkan megah. Dindingnya putih pudar, bercak hitam di sudut-sudut jendela seperti bekas api yang tak pernah dijelaskan. Orang-orang desa menunduk setiap kali melewatinya—bukan karena hormat, tetapi takut.
Rumah itu menyimpan sesuatu.
Dan tepat di halaman depannya, seorang gadis pribumi berdiri sambil merapikan rambut panjang kecokelatannya. Namanya Silvana—anak penjaga gudang perkebunan gula, gadis yang dikenal paling ramah dan paling banyak membuat orang lupa akan kerasnya zaman dengan senyumnya. Tidak ada seorang pun mengira dia menghabiskan sore hari seperti ini: berdiri di depan rumah kolonial, menunggu seseorang yang sama-sama dicintai dan dibenci warga desa.
Van Goor.
Silvana tampak gelisah, tapi matanya penuh harap. Ketika pintu besar itu terbuka, keluarlah lelaki tinggi berkulit pucat dengan seragam putih yang selalu licin dan tegap. Rambut pirangnya tersisir rapi ke belakang. Sorot matanya tajam, dingin, tetapi melembut hanya untuk satu orang: Silvana.
"Aku sudah bilang, kau tak boleh datang di jam-jam seperti ini," bisik Van Goor, menarik Silvana ke sisi dinding agar tidak terlihat serdadu lain.
"Tapi aku kangen," jawab Silvana lirih, menunduk. "Aku tidak tahan kalau tidak bertemu."
Van Goor mencium dahinya lembut, sebuah tindakan yang akan dianggap kejahatan besar jika terlihat pejabat kolonial lain. "Kau akan membawa kita ke masalah, Silvana."
"Jadi biarkan aku menjadi masalahmu," ia balas, tersenyum kecil—senyum yang dulu membuat Van Goor tertarik padanya ketika pertama kali melihat gadis itu menolong anak buruh yang terluka.
Suasana sore meredup. Angin dari ladang tebu berdesir seperti desahan rahasia. Di bawah cahaya yang mulai padam, tidak ada yang romantis. Ada ketakutan. Ada keheningan. Ada sesuatu seperti prediksi buruk yang hanya alam bisa rasakan.
Beberapa minggu berselang, hubungan keduanya semakin intens. Silvana sering menyelinap ke rumah besar itu pada malam hari. Para pelayan menutup mata, tahu hubungan itu terlarang bagi kedua belah pihak. Namun gosip mulai menyebar ke kampung—dan berita itu sampai ke telinga ayah Silvana.
Suatu malam, sang ayah menunggu di depan gubuk mereka. Tubuhnya kotor setelah bekerja seharian, tetapi matanya jauh lebih lelah daripada tubuhnya.
"Apa benar kau datang ke rumah Letnan Belanda itu?" suaranya bergetar.
Silvana terdiam, lalu mengangguk.
Laki-laki tua itu menampar putrinya—bukan karena malu, tetapi karena takut. "Kau tidak tahu mereka hanya mempermainkan! Kau pikir dia mencintaimu? Gadis pribumi? Kita ini budak, Van! Budak!"
Tangis Silvana pecah. "Tidak, Ayah… dia bukan seperti itu… dia berbeda…"
"Apa kau sudah lupa apa yang mereka lakukan pada keluargaku? Pada ibumu?!" suara ayahnya pecah seperti kaca dilemparkan ke batu. "Berapa banyak gadis desa yang dipakai, lalu dibuang tanpa nama?"
Namun Silvana tetap membela kekasihnya. Ia percaya pada tatapan Van Goor, pada sentuhan lembutnya, pada kata-kata malam hari sebelum tidur.
Dia percaya.
Dan kepercayaan itu akan menghancurkannya.
Suatu hari, seluruh pekerja perkebunan dikumpulkan di halaman besar. Di tengah kerumunan, Silvana didorong maju tanpa peringatan oleh dua serdadu.
"Apa yang terjadi?!" teriaknya.
Van Goor keluar dengan ekspresi berbeda. Bukan lembut, bukan kekasih. Tetapi dingin, otoriter—seperti saat ia menjadi Letnan Belanda sepenuhnya.
"Kau pikir aku tidak tahu reputasi gadis kampung sepertimu?" suaranya keras, menusuk seperti pisau. "Kau menyusup ke rumahku. Kau membahayakan karierku. Kau pikir aku akan menikahimu? Denganmu?"
Silvana membeku, jiwanya seakan berhenti.
"Van… jangan lakukan ini… aku mencintaimu…"
Ia mendekat dan sarkastik berbisik di telinganya, "Dan aku menikmatimu. Itu saja."
Kerumunan tertawa, beberapa menutup wajah karena tidak tahan melihat penghinaan itu. Ayah Silvana yang terikat di tiang hanya bisa menangis, tidak mampu melindungi putrinya.
"Kepada semua pekerja kolonial!" teriak Van Goor. "Biarkan ini menjadi pelajaran. Tidak ada gadis desa yang boleh mendekati pejabat Belanda. Hukuman: pelanggaran moral, pencurian waktu kerja, dan penghinaan pejabat."
Hukuman untuk tuduhan palsu itu sudah jelas.
Silvana diseret ke pinggir sungai gelap yang mengalir di samping pabrik gula. Teriaknya memecah udara. Ayahnya menjerit, memohon, menyeret tubuh sendiri di tanah agar bisa mendekati anaknya.
"VAN! Jangan! Aku memohon!" Silvana meronta. "Aku percaya padamu! Tolong!"
Tapi lelaki yang dulu mencium dahinya kini menatapnya tanpa jiwa.
Dengan satu aba-aba, dua serdadu menenggelamkannya ke sungai.
Silvana menjerit, lalu air menelan suaranya. Tubuhnya memberontak. Tangannya meraih udara. Sinar terakhir yang dilihatnya adalah mata Van Goor—dingin, polos, tanpa rasa bersalah.
Sampai semua menjadi gelap.
Malam itu, sungai terasa berbeda. Suara katak dan jangkrik hilang seketika. Awan menutup bulan seperti berkabung diam-diam. Angin berhenti, tetapi ada sesuatu yang bergerak di dalam air—bukan ikan, bukan arus.
Sesuatu kembali.
Saat tengah malam, permukaan sungai bergolak pelan. Rambut panjang hitam keluar duluan, seperti tirai kegelapan. Lalu tangan pucat, kuku retak. Tubuh Silvana terangkat perlahan ke permukaan, namun tidak tenggelam kembali.
Mata gadis itu terbuka—bening dulu, kini sepenuhnya hitam pekat.
Tidak ada lagi sedih. Tidak ada lagi cinta.
Hanya satu hal tersisa di dasar jiwanya…
Dendam.
Tanpa suara, tanpa langkah, tubuhnya melayang perlahan dari sungai menuju arah rumah besar kolonial yang mengkhianatinya. Setiap daun yang disentuhnya berubah cokelat dan mati. Hewan-hewan di ladang tebu berlari menjauh, menunduk ketakutan.
Pintu rumah Van Goor tertutup rapat malam itu… sampai tiba-tiba bergetar dengan dentuman keras seperti dipukul dari dalam. Lampu minyak goyah. Pelayan berteriak ketika melihat pintu terbuka sendiri dan bayangan perempuan berbalut kain basah menunduk di ambang pintu.
Silvana menatap ke dalam.
Di lantai dua, Van Goor sedang termenung di meja kerjanya.
Tinta di pena mulai bergetar sendiri…
Salah satu foto di dinding jatuh pecah…
Rambutnya berdiri seperti udara di sekelilingnya berubah dingin…
Lalu ia mendengar suara yang tidak seharusnya mungkin…
Bisikan dari kekasih yang ia bunuh sendiri.
"Aku masih di sini, Van…"
Dan keheningan pun pecah.
