LightReader

CEO TAMPAN vs CEWEK CULUN

ayu_purwati
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
195
Views
Synopsis
Alya Pramesti, gadis culun yang hidup sederhana, tidak pernah menyangka hidupnya berubah total setelah tanpa sengaja membuat kopi tumpah ke jas Armani milik Ardan Maheswara, CEO muda yang dingin, tampan, dan terkenal perfeksionis. Pertemuan itu menjadi awal dari konflik, ketertarikan, dan rahasia yang perlahan mengungkap sisi gelap Ardan yang tidak pernah diketahui siapa pun. Di balik sikap dinginnya, Ardan menyimpan luka dan ketakutan yang hanya bisa ditembus oleh ketulusan Alya. Perbedaan dunia, status, dan masa lalu membuat hubungan mereka diuji, namun justru memperkuat ikatan yang tak terhindarkan.
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 1 — TUMPAHAN KOPI DAN JAS ARMANI

Alya Pramesti berlari kecil sambil memegang dua gelas kopi panas yang baru ia ambil dari kedai kecil di lobi gedung megah itu. Tangannya gemetar karena gugup—bukan karena membawa kopi, tetapi karena ia terlambat lima belas menit di hari pertamanya magang.

Gedung Arkananta Group menjulang tinggi, kaca-kacanya memantulkan cahaya matahari pagi. Semua orang di dalamnya terlihat profesional: jas rapi, sepatu berkilau, aroma parfum mahal yang tidak pernah Alya mampu beli. Dengan cardigan rajut yang kebesaran, sepatu flat murahan, dan kacamata minus tebal, Alya jelas seperti titik yang tidak sengaja tertinggal di kanvas lukisan glamor itu.

Alya menggigit bibirnya.

Aduh, hari pertama sudah kacau begini…

Ia mempercepat langkah menuju lift—tanpa sadar menabrak seseorang yang baru keluar dari pintu kaca utama.

BRAK.

"Astaga!" seru Alya.

Kedua gelas kopi panas itu terlempar.

Berguling di udara.

Dan mendarat tepat di dada seseorang.

Seseorang itu berdiri tegak. Tidak bergerak.

Namun dari atas kepalanya sampai jasnya yang hitam pekat, kini berubah seperti seni lukis abstrak penuh noda kecokelatan.

Alya membeku.

Dan ketika ia mendongak, jantungnya merosot sampai ke lutut.

Pria itu… bukan pria biasa.

Rahang tegas, hidung tajam, kulit bersih, rambut rapi, tatapan tajam mematikan—seperti pahatan manusia paling sempurna yang pernah ia lihat.

AR.

DAN.

MAHESWARA.

CEO muda paling tampan, kaya raya, dingin, dan perfeksionis yang beredar di berita bisnis dan majalah gaya hidup.

Orang yang tidak tahan melihat satu map berantakan apalagi…

jas Armani terkena dua gelas kopi panas.

Alya ingin mati di tempat.

"S-saya… saya minta maaf! Ya Tuhan, saya benar-benar tidak sengaja!" katanya panik sambil memunguti tutup gelas yang sudah penyok.

Ardan masih diam.

Tatapannya gelap.

Terlalu gelap.

"Nama?" suaranya datar, dingin, dalam.

"Alya… A-Alya Pramesti."

"Departemen?"

"Adm–administrasi kantor pusat… m-magang…"

Ardan menatap jasnya, lalu menatap Alya.

"Ini Armani."

"Iya… saya tahu… saya tahu… saya minta maaf…"

Alya suara gemetar seperti cicak kedinginan.

Beberapa staf yang lewat berhenti menonton, kasak-kusuk panik. Tidak ada yang berani mendekat, semua tahu CEO mereka benci ketidakteraturan sekecil apa pun.

Ardan menghela napas panjang, seolah menahan kemarahan yang sudah berada di ambang pintu.

Alya menelan ludah.

"Kalau Bapak mau, saya… saya ganti. Dengan apa pun. Saya bisa cicil. Saya bisa—"

Ardan mengangkat tangan, menghentikan ocehannya.

"Alya Pramesti."

Suaranya rendah… tapi mengandung tekanan.

"Tahu berapa harga jas ini?"

Alya menggeleng, tidak berani bicara.

"Harga cicilanmu tidak akan cukup."

Dan saat itulah Alya merasa hidupnya sudah resmi tamat.

"Ada tisu?" tanya Ardan tiba-tiba.

Alya buru-buru mengaduk-aduk tasnya, berhasil mengambil tisu sachet yang murahan.

Tangan gemetarnya menyodorkan tisu itu.

Ardan menatap tisu itu lima detik.

Wajahnya tidak berekspresi, tapi pandangannya jelas mengatakan kamu bercanda?

Alya menelan ludah keras-keras.

Akhirnya Ardan mengambil tisu itu… dan mulai mengelap noda kopi di jasnya.

Setiap gerakannya terlihat sangat ditahan agar tidak kehilangan kesabaran.

Alya ingin kabur

membungkus diri

lalu lemparkan ke laut.

"Sa–saya bersihin juga, Pak…"

Tangan Alya terulur tanpa pikir.

Ardan tiba-tiba menangkap pergelangan tangan Alya.

Tidak keras—tetap sopan—tapi cukup tegas untuk membuat Alya membeku.

"Tidak perlu sentuh."

Alya kaget.

Ardan kemudian melepaskannya perlahan seolah takut menyakitinya.

Perilakunya dingin namun… bukan kasar. Ada batas yang ia jaga.

Kemudian Ardan menatapnya.

Tatapan yang begitu tajam sampai Alya merasa seluruh kulitnya terbakar malu.

"Alya Pramesti."

"I.. iya?"

"Kau membuatku terlambat rapat."

Alya tambah pucat.

"Tapi…" Ardan membenarkan letak dasinya yang terkena sedikit bercak.

"Kau tidak kabur atau menangis seperti yang lainnya. Kau justru mencoba bertanggung jawab."

Alya mengerjap.

Tidak menyangka.

Ardan menyodorkan kartu namanya.

"Datang ke ruanganku jam 7 malam ini."

Alya hampir jatuh.

"J–jam 7 malam? M–maksudnya… meeting?"

"Meeting, ya."

Ardan menatapnya, sudut bibirnya terangkat sedikit—senyum tipis yang sangat jarang muncul.

"Kita bicarakan soal kompensasi kerusakan jas ini."

Alya menutup mulutnya agar tidak menjerit panik.

Ia akan dikerok sampai bangkrut!

Namun sebelum Ardan pergi, ia menambahkan:

"Dan kau… cuci kacamatamu. Ada noda kopi."

Alya memegang kacamata.

Benar, ada noda kopi di sudutnya.

Ardan berjalan pergi, tubuh tinggi dan langkahnya mantap, meninggalkan aroma parfum bergaya maskulin yang lembut namun mahal.

Staf-staf langsung menghampiri Alya.

"Kamu gila?! Kamu tumpahin kopi ke CEO?!"

"Kacamatamu masih hidup?"

"Kamu nggak akan dikeluarkan… kan?"

Alya kehilangan suara.

Namun saat ia melihat kartu nama di tangannya, ia merasakan sesuatu yang aneh.

Takut, iya.

Khawatir, jelas.

Tapi ada hal lain:

Detakan jantung yang terlalu cepat untuk sesuatu yang hanya disebut panik biasa.

17:59 — Lantai 56, Kantor CEO

Alya berdiri di depan pintu dengan tulisan:

ARDAN MAHESWARA — CHIEF EXECUTIVE OFFICER

Tangannya dingin, lututnya bergetar.

Ia mengetuk perlahan.

"Masuk."

Alya membuka pintu.

Dan jantungnya berhenti satu detik.

Ardan berdiri membelakangi jendela besar yang menunjukkan pemandangan kota. Lampu-lampu gedung berkilauan di belakangnya.

Silhouette-nya terlihat kuat, misterius, dingin, terlalu tampan untuk manusia normal.

"Alya Pramesti," katanya tanpa menoleh.

"Saya sudah menunggu."

Alya memejamkan mata sejenak.

Ia tahu ini akan panjang.

Ia tahu ia akan ditekan, diomeli, mungkin dipecat.

Namun saat Ardan berbalik dan menatapnya…

Tatapan itu bukan tatapan marah.

Tatapan itu…

berbahaya dengan cara lain.

"Duduk."

Alya duduk.

Ardan mengambil jas Armani yang sudah ia lap bersih.

"Kau sadar tidak," katanya pelan, "kau adalah orang pertama yang membuatku seperti ini."

"S–seperti ini?"

Ardan menatapnya tanpa kedip.

"Kehilangan kendali."

Alya terpaku.

Hatinya berdetak kacau.

Ardan mencondongkan tubuh.

Jarak mereka hanya sejengkal.

"Dan saya tidak tahu apakah saya harus marah…"

Alya menahan napas.

"…atau tertarik."

Alya membeku.

Hanya itu satu kata—"tertarik"—namun tubuhnya langsung panas dari ujung kaki sampai telinga.

Ardan menyandarkan diri kembali ke kursinya.

"Kita akan bahas konsekuensinya besok pagi," katanya santai.

"Hari ini saya izinkan kamu pulang."

Alya langsung berdiri, ingin kabur dari aura intens itu.

Tapi sebelum ia keluar, Ardan memanggil.

"Alya."

Alya menoleh.

Ardan tersenyum tipis—senyum yang tidak pernah muncul dalam rapat, media, atau hadapan karyawannya.

"Mulai hari ini… aku ingin melihat apa lagi yang bisa kamu berantakkan."

Jantung Alya hampir berhenti.

Pintu menutup.

Dan hidup Alya Pramesti resmi berubah selamanya.