LightReader

Chapter 7 - Bab 5

Pagi itu, suasana majlis online terasa lebih hangat. Setelah kepergian Arfan, kami menyadari betapa besar ujian yang Allah beri agar kami semakin kuat.

Al membuka sesi dengan senyum hangat, "Teman-teman, setiap perjalanan hijrah memang tidak selalu mulus. Tapi yakinlah, Allah selalu menyiapkan jalan bagi hamba-Nya yang bersungguh-sungguh."

Putri dan Aulia saling bertukar pandang, mata mereka terlihat lebih cerah dari hari-hari sebelumnya.

Aku merasakan energi baru, semangat yang tak mudah goyah meski badai ujian datang menerpa.

"Majlis ini bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat saling menguatkan. Kalau kita jatuh, genggam tangan saudara kita lagi," kata Putri dengan suara penuh harap.

Aulia menambahkan, "Kita tidak sendiri. Allah selalu bersama kita, dan bersama majlis ini, kita berjalan bersama."

Al menutup dengan doa, "Semoga kita semua istiqomah dalam hijrah, dan setiap ujian menjadi pelajaran berharga. Aamiin."

Malam itu, aku menulis lagi di buku harianku:

*"Jika aku jatuh, genggam aku kembali. Karena dalam genggaman itu, ada harapan, ada doa, dan ada keyakinan yang tak pernah padam."*

Setelah doa selesai, kami bertiga masih duduk bersama di ruang chat majlis online.

Putri membuka pembicaraan, "Aku merasa, ujian kemarin bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk mereka yang melihat kita dari jauh."

Aulia mengangguk, "Iya, mungkin Arfan sebenarnya sedang bergulat dengan hatinya sendiri. Tapi kita harus tetap fokus, jangan sampai tergoyahkan."

Al menatap layar dengan serius, "Hijrah itu perjalanan panjang, bukan perlombaan cepat. Kadang kita harus sabar menghadapi orang-orang yang belum memahami."

Aku menambahkan, "Benar. Kadang kita merasa sendiri, tapi sebenarnya Allah selalu ada di samping kita. Kita hanya perlu percaya dan terus berusaha."

Seiring waktu, majlis online kami semakin ramai dan penuh semangat. Banyak yang mulai ikut bergabung dan merasakan manfaatnya.

Putri berkata dengan penuh keyakinan, "Kalau aku jatuh, genggam aku kembali. Karena hijrah bukan hanya tentang aku dan kamu, tapi tentang kita yang saling menguatkan."

Kami tertawa kecil, menghilangkan sedikit kepenatan dan beban hati yang sempat terasa berat.

Malam itu aku menulis lagi di buku harianku:*"Hijrah bukan hanya soal langkah kaki yang maju, tapi juga hati yang saling menjaga. Bersama, kami belajar arti sabar dan ikhlas, walau badai datang mengguncang."*

Tak lama setelah majlis online kami berjalan lancar, sebuah pesan masuk dari akun Instagram yang tak dikenal di ponsel Al. Pesan itu dingin dan penuh sindiran.

"Majlis kalian cuma pura-pura, percuma saja," tulisnya.

Al membagikan pesan itu ke grup chat kami. Kami terdiam sejenak, merasakan hawa negatif yang tiba-tiba muncul. Putri dengan cepat membalas, "Siapa kamu? Kenapa mencoba menghancurkan sesuatu yang kami bangun dengan niat baik?"

Tak ada balasan lagi, tapi pesan-pesan berikutnya datang bertubi-tubi, berisi fitnah dan provokasi agar kami berantem dan bubar.

Aulia menghela napas, "Ini ujian baru, kita harus lebih waspada. Orang macam ini biasanya ingin melihat kita hancur."

Al tegas berkata, "Kita jangan terpancing. Majlis ini bukan tempat untuk mereka yang berniat jahat. Kita harus tunjukkan kekuatan persaudaraan dan keikhlasan."

Putri menambahkan, "Mereka bisa menyerang dari mana saja, tapi Allah selalu menjaga niat baik kita. Mari kita jadikan ini sebagai pengingat untuk lebih kuat."

Aku merasakan bagaimana ujian hijrah itu semakin nyata. Dari dunia nyata sampai dunia maya, segala rintangan datang silih berganti.

Beberapa hari setelah serangan lewat DM Instagram, Putri mulai menerima panggilan telepon dari nomor tak dikenal.

Awalnya hanya panggilan kosong, tapi lama-kelamaan suara di ujung telepon mulai mengucapkan kata-kata yang mengganggu dan bernada ancaman.

"Majlismu hanya sandiwara... jangan kira kami tidak tahu siapa kamu sebenarnya," suara itu bergema melalui telepon Putri.

Putri menahan getar di suaranya saat bercerita kepada kami, "Aku takut, tapi aku tahu ini ujian. Mereka ingin menghancurkan semangat kami."

Al segera menguatkan, "Kita harus laporkan ini. Tapi yang terpenting, jangan biarkan rasa takut menguasai hatimu."

Aulia menambahkan, "Ini saatnya kita lebih erat, saling menjaga dan menguatkan. Karena kalau bukan kita yang melindungi hijrah kita, siapa lagi?"

Aku melihat keberanian Putri yang tak goyah, meski di dalam hatinya ada luka yang tersembunyi.

Malam itu aku menulis di buku harianku:

*"Di balik suara yang mencoba meruntuhkan, aku temukan kekuatan yang tak terlihat. Karena hijrah ini bukan hanya milik satu jiwa, tapi milik kita yang berani bertahan."*

Teror yang datang tak hanya lewat pesan dan telepon. Kami bertiga mulai merasakan bayang-bayang yang mengikuti setiap langkah.

Suatu hari saat Aulia sedang mengisi kajian online, tiba-tiba ada yang mengirimkan foto dirinya tanpa sepengetahuan dia ke grup chat anonim. Foto itu jelas—menunjukkan Aulia tengah serius berdakwah di depan layar.

Putri terpaku melihat foto itu, "Siapa yang berani mengambil gambar tanpa izin? Ini sudah keterlaluan."

Al segera mencari tahu, "Ini bukan hanya gangguan biasa. Mereka ingin mengintimidasi kita dengan cara yang halus tapi mengerikan."

Rasa cemas mulai menyelimuti, tapi kami sadar kalau mundur bukan pilihan. Kami berjanji untuk tetap bersatu dan menjaga hijrah ini bersama.

Aku menulis dalam hati,

*"Ketika bayang-bayang berusaha merusak cahaya, kita hanya perlu lebih kuat bersinar. Karena hijrah ini lebih dari sekadar niat—ini adalah janji kepada diri dan Allah."*

Malam itu kami bertiga berdoa lebih khusyuk, memohon perlindungan dari segala gangguan yang mencoba memecah belah.

Teror itu tak kunjung usai. Setiap hari, baik lewat pesan, telepon, maupun kejadian aneh di sekitar kami, rasa was-was terus menghantui.

Putri menerima pesan-pesan yang semakin merendahkan dan mengancam keluarganya. Al mulai dicurigai dan diberi tekanan dari lingkungan tugasnya. Sedangkan Aulia, selain foto yang tersebar, kini ada seseorang yang mengikutinya saat hendak keluar rumah.

Suatu malam, kami bertiga berkumpul di rumah Al, berusaha saling menguatkan.

"Aku merasa seperti dikepung," ucap Putri dengan suara bergetar.

"Aku pun, setiap langkah terasa diawasi," tambah Aulia.

Al menenangkan, "Kita jangan biarkan mereka menang. Kita harus buktikan hijrah ini bukan hanya sebuah pilihan, tapi sebuah kekuatan yang akan membawa perubahan."

Kami sepakat untuk lebih waspada, tapi tidak membiarkan rasa takut menghalangi niat baik kami.

Aku menulis dalam hati,

*"Dalam kegelapan yang menekan, kami memilih cahaya iman. Karena di balik ujian, selalu ada kekuatan yang Allah berikan bagi yang sabar."*

Hari-hari berikutnya, teror itu makin menjadi-jadi. Setiap malam, telepon Putri berdering tanpa henti dengan suara yang hanya membuat hatinya semakin gundah. Al pun merasakan tekanan di tempat tugasnya, rasa was-was yang tak pernah hilang. Sedangkan Aulia, selain foto dirinya yang tersebar tanpa izin, kini mulai merasa ada yang mengikutinya.

Suatu sore, saat Aulia sedang mengisi kajian online, tiba-tiba ada yang mengirimkan video pendek di grup majlis, memperlihatkan sosok samar mengikuti Aulia pulang. Suasana menjadi tegang.

"Aku merasa seperti selalu diawasi," bisik Aulia dengan suara gemetar.

Putri menggenggam tangan sahabatnya, "Kita harus tetap kuat. Jangan biarkan mereka pecah belah kita."

Al menegaskan, "Kita hadapi ini bersama. Ini ujian hijrah kita. Kita harus buktikan kalau niat baik tidak bisa dihancurkan dengan ancaman."

Mereka bertiga berjanji saling menjaga dan terus berdoa agar Allah melindungi perjalanan hijrah mereka.

Aku menuliskan dalam hati.

*"Dalam gelap yang terus membayangi, cahaya keyakinan kami tetap membara. Karena hijrah bukan sekadar langkah, tapi perjalanan jiwa yang harus dijaga dengan penuh keberanian."*

Teror yang kami alami bukan hanya berhenti pada ancaman pribadi dan penguntitan. Kini, sesuatu yang lebih licik mulai muncul.

Beberapa majlis online lain tiba-tiba mendapat gangguan. Pesan-pesan tak senonoh dan kata-kata kasar muncul di chat, seolah-olah keluar dari mulut Aulia dan Putri. Orang-orang mulai meragukan kami, bahkan ada yang menyingkirkan link kajian kami karena takut tercemar.

"Aku nggak pernah ngomong begitu, tapi kenapa mereka pakai namaku?" tanya Aulia dengan air mata yang mulai menggenang.

Putri juga merasa terpukul, "Ini bukan cuma soal kita. Ini soal nama baik majlis, soal hijrah yang kami perjuangkan."

Al yang mendengar cerita kami langsung sigap, "Kita harus buka terang semua ini. Identitas digital kita disalahgunakan, dan ini serangan yang sangat serius."

Kami sepakat untuk menguatkan solidaritas antar majlis, menghubungi admin dan pihak terkait untuk menghapus konten palsu itu. Meski sulit, kami tidak menyerah.

Dalam kesunyian hati aku berbisik,

*"Saat kebenaran diserang oleh bayangan palsu, keikhlasan dan kesabaran adalah benteng terkuat yang harus kami pegang."*

Di tengah upaya kami menghadapi teror yang semakin menjadi, muncul masalah baru yang tak terduga.

Seseorang mulai mengaku-ngaku sebagai Al, sahabat kami yang selama ini menjadi pilar kekuatan. Ia muncul di beberapa grup kajian online, menyebarkan pesan-pesan yang membingungkan dan kadang bahkan menebar keraguan.

Putri mengetik dengan gugup di grup, "Teman-teman, tolong hati-hati ya, ada yang ngaku-ngaku Al tapi bukan dia. Jangan percaya sembarangan."

Aulia menambahkan, "Ini sangat merusak nama baik dan juga kepercayaan kita di majlis ini. Kami mohon doanya agar bisa segera terungkap."

Al sendiri merasa terpukul dan bingung, "Aku tidak pernah keluar dari grup itu dan tidak pernah kirim pesan seperti yang mereka tuduhkan. Aku harus cari tahu siapa pelakunya."

Kami bertiga semakin erat bersatu, menyadari bahwa musuh kami bukan hanya dari luar, tapi juga mereka yang mencoba menghancurkan dari dalam.

Aku merenung,

*"Dalam badai fitnah dan kebohongan, hanya kejujuran dan kesababaran yang mampu menuntun kami kembali ke cahaya

Setelah sosok yang mengaku-ngaku Al muncul dan membuat kekacauan, kami merasa semakin terpojok. Teror itu tak hanya lewat kata-kata, tapi mulai merambah ke dunia nyata.

Suatu malam, Putri menerima telepon dari nomor tak dikenal. Suara di ujung sana dingin dan penuh ancaman. "Kami tahu apa yang kalian lakukan. Hentikan majlis itu, atau kau yang akan menanggung akibatnya."

Putri terguncang, tangannya gemetar menutup telepon. "Ini sudah terlalu jauh," bisiknya.

Sementara itu, di salah satu kajian online, tiba-tiba muncul foto Aulia yang sedang mengisi kajian. Tapi yang aneh, ada tulisan-tulisan provokatif di bawah foto itu. Orang-orang mulai bertanya-tanya dan menebar fitnah.

Al langsung sigap, "Kita harus cari tahu siapa yang menyebarkan ini. Jangan sampai majlis ini rusak karena ulah orang jahat."

Kami mencoba tenang, tapi hati kami tak henti-hentinya bergetar. Rasa takut dan lelah mencoba kami buang dengan saling menguatkan.

Aku berpikir,

*"Di tengah badai fitnah dan teror, keimanan harus jadi jangkar. Kita tak boleh menyerah pada gelapnya dunia yang mencoba memadamkan cahaya."*

Setelah sosok yang mengaku-ngaku Al muncul dan membuat kekacauan, kami merasa semakin terpojok. Teror itu tak hanya lewat kata-kata, tapi mulai merambah ke dunia nyata.

Suatu malam, Putri menerima telepon dari nomor tak dikenal. Suara di ujung sana dingin dan penuh ancaman. "Kami tahu apa yang kalian lakukan. Hentikan majlis itu, atau kau yang akan menanggung akibatnya."

Putri terguncang, tangannya gemetar menutup telepon. "Ini sudah terlalu jauh," bisiknya.

Sementara itu, di salah satu kajian online, tiba-tiba muncul foto Aulia yang sedang mengisi kajian. Tapi yang aneh, ada tulisan-tulisan provokatif di bawah foto itu. Orang-orang mulai bertanya-tanya dan menebar fitnah.

Al langsung sigap, "Kita harus cari tahu siapa yang menyebarkan ini. Jangan sampai majlis ini rusak karena ulah orang jahat."

Kami mencoba tenang, tapi hati kami tak henti-hentinya bergetar. Rasa takut dan lelah mencoba kami buang dengan saling menguatkan.

Aku berpikir,

*"Di tengah badai fitnah dan teror, keimanan harus jadi jangkar. Kita tak boleh menyerah pada gelapnya dunia yang mencoba memadamkan cahaya."*

More Chapters