Pada awalnya, dunia ini berjalan dengan sempurna.
Setiap peristiwa memiliki sebab.
Setiap sebab memiliki akibat.
Dan setiap akibat telah ditentukan jauh sebelum manusia menyadarinya.
Narator mengetahui semua itu.
Ia tahu siapa yang akan gagal, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan mati pada waktu yang "tepat". Dunia ini bukan kacau—justru terlalu rapi. Seperti cerita yang telah ditulis, direvisi, lalu dijalankan tanpa penonton yang boleh ikut campur.
Namun pada hari itu, sebuah baris cerita tertulis ganda.
Dan dunia… tidak menyadarinya.
---
Di kelas yang dipenuhi suara kursi bergeser dan bisikan ringan, Raviel Arkan duduk di bangku dekat jendela. Ia tidak melakukan apa pun yang istimewa. Tidak berbicara. Tidak tertawa. Tidak memperhatikan pelajaran.
Ia hanya menatap keluar.
Langit siang itu cerah—terlalu cerah. Awan bergerak perlahan, seolah mengikuti ritme yang telah dilatih berulang kali. Raviel tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang mengganggunya sejak pagi.
Bukan firasat.
Bukan ketakutan.
Melainkan rasa pengulangan.
> Seperti… aku pernah melihat ini.
Bukan mimpi. Bukan ingatan. Hanya potongan rasa yang tidak bisa dijelaskan.
Narator tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Karena tepat pada detik itu, alur cerita dunia terlambat satu langkah.
---
Bel berbunyi.
Semua siswa berdiri hampir bersamaan—sinkron, rapi, seolah dunia menekan tombol yang sama untuk mereka. Raviel ikut berdiri, tapi gerakannya sedikit lebih lambat.
Satu detik.
Satu detik itu cukup.
Ia merasakan sesuatu yang aneh, seperti halaman buku yang berhenti sebelum dibalik. Seolah dunia menunggu… lalu memutuskan untuk lanjut.
Raviel mengerutkan kening.
> "Kenapa rasanya… aneh?"
Tidak ada jawaban.
Karena seharusnya tidak ada pertanyaan.
---
Di tempat yang tidak memiliki ruang, waktu, atau bentuk, sesuatu bergerak.
Observer tidak memiliki wajah.
Observer tidak memiliki suara.
Namun mereka menyadari perubahan.
> Variabel terdeteksi.
Bukan manusia pertama yang menyimpang.
Namun yang satu ini berbeda.
Raviel Arkan bukan mengubah alur.
Ia menyadari keberadaan alur itu sendiri.
Dan itu… tidak seharusnya mungkin.
---
Hujan turun sore itu.
Tentu saja hujan turun—cerita selalu menyukai hujan. Raviel berjalan pulang sendirian, langkahnya stabil, pikirannya penuh oleh sensasi yang belum bisa ia beri nama.
Setiap tetes air jatuh dengan pola yang indah. Terlalu indah.
Ia berhenti di tengah jalan.
Bukan karena hujan.
Bukan karena lelah.
Melainkan karena sebuah pikiran yang tiba-tiba muncul tanpa asal:
> "Setelah ini… sesuatu seharusnya terjadi."
Jantungnya berdegup pelan.
Tidak ada suara. Tidak ada tanda. Tapi ia tahu.
Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia ini,
seorang karakter menunggu peristiwa yang belum terjadi dengan sadar.
Narator mengamati dengan tenang.
Karena mulai saat ini, cerita tidak lagi berjalan sendirian.
> Dunia telah membuat satu kesalahan.
Dan kesalahan itu…
menyadari bahwa ia adalah kesalahan.
