LightReader

Chapter 2 - Bab 2

BAB 2: Tamparan yang Membungkam Dunia

Keheningan di dalam kelas 5 SDN 11 siang itu terasa begitu pekat, seolah-olah oksigen telah habis dihisap oleh kemarahan Pak Arnos yang meluap. Aku masih berdiri mematung di samping meja kayu kusamku di barisan paling belakang. Kepalaku tertunduk dalam, mencoba menghindar dari tatapan mata Pak Arnos yang sedari tadi menguliti keberadaanku. Di pojok ini, aku merasa seperti berada di ujung dunia yang terlupakan, namun sialnya, mata Pak Arnos selalu bisa menemukanku dengan akurasi yang mematikan.

"Kamu dengar pertanyaan saya, Arya?!" suaranya kini terdengar rendah, namun penuh dengan getaran amarah yang tertahan.

Aku menelan ludah yang terasa seperti bongkahan kerikil tajam di tenggorokan. "Dengar... Pak," jawabku lirih. Suaraku gemetar hebat, nyaris hilang tertelan oleh detak jantungku sendiri yang berpacu liar di balik dada. Aku merasa seluruh saraf di tubuhku menegang, seolah tahu bahwa badai besar akan segera datang menghantam.

"Kalau dengar, kenapa diam? Mana jawabanmu?! Apa kamu pikir saya sedang melawak di depan kelas?" Pak Arnos melangkah satu inci lebih dekat. Dari jarak ini, aku bisa merasakan hawa panas yang keluar dari napasnya. Aroma rokok yang menempel kuat di baju dinas cokelatnya yang kaku merasuki indra penciumanku, memberikan rasa mual yang mendadak.

Aku benar-benar tidak bisa menjawab. Angka-angka di papan tulis itu sudah menguap dari ingatanku, berganti dengan rasa takut yang melumpuhkan segala logika. Aku mencoba mengingat-ingat penjelasan tadi, tapi kepalaku kosong melompong. Aku menoleh sedikit ke arah teman di sampingku, berharap ada keajaiban berupa bisikan jawaban, tapi semua orang seolah membeku menjadi patung. Mereka hanya menatap lurus ke depan atau menunduk menatap meja masing-masing. Tak ada yang cukup berani untuk mengambil risiko menolong si anak kursi belakang ini.

Tiba-tiba, tanpa aba-aba, sebuah bayangan bergerak sangat cepat di depanku.

PLAK!

Bunyi itu meledak di tengah sunyinya kelas, memantul di dinding-dinding yang kusam. Rasanya seolah-olah seluruh dunia tiba-tiba berhenti berputar. Pipiku terasa panas membara, disusul oleh rasa kebas yang menjalar cepat hingga ke daun telingaku. Kepalaku terlempar ke samping akibat kekuatan tamparan yang begitu keras itu. Untuk beberapa detik, telingaku hanya mendengar suara denging yang sangat nyaring, menulikan segala suara lain di sekitarku.

Satu kelas terkesiap. Aku bisa mendengar suara tarikan napas pendek yang serempak dari teman-temanku. Kesunyian yang tadi sudah terasa pekat, kini berubah menjadi sesuatu yang mengerikan dan mencekam. Aku masih mematung di posisi itu, tanganku perlahan terangkat menyentuh pipi yang kini terasa membengkak dan berdenyut-denyut. Air mata yang sejak tadi kupenjara di kelopak mata akhirnya tumpah begitu saja, mengalir hangat membasahi wajahku yang memerah padam.

"Itu karena kamu tidak menghargai saya!" bentak Pak Arnos lagi. Suaranya kini tajam seperti belati yang diiriskan ke harga diriku. "Duduk! Dan jangan biarkan saya melihat kamu mengkhayal lagi di jam pelajaran saya!"

Aku duduk kembali dengan tubuh yang gemetar tak terkendali. Kursi kayu itu berderit nyaring, seolah ikut menangis meratapi nasibku. Aku tidak berani mendongak sedikit pun. Aku hanya menatap permukaan meja yang penuh coretan nama-nama murid terdahulu, kini meja itu basah oleh tetesan air mataku yang tak kunjung berhenti. Rasanya bukan hanya pipiku yang sakit, tapi ada sesuatu yang hancur berkeping-keping di dalam dadaku. Aku adalah Arya yang selalu tertawa, Arya yang dikenal ceria oleh semua orang, tapi di detik itu, sosok itu seolah mati dan terkubur di pojok kelas ini.

Selama sisa jam pelajaran, aku tidak mendengar sepatah kata pun penjelasan dari Pak Arnos. Yang ada hanya suara denging yang tak kunjung hilang dan rasa malu yang luar biasa besar. Aku merasa semua mata sedang menatap punggungku, mungkin mereka mengasihani aku, atau mungkin mereka menganggapku anak nakal yang pantas diperlakukan kasar. Dunia sekolah yang selama empat tahun ini kupikir penuh warna dan kegembiraan, mendadak berubah menjadi tempat yang sangat abu-abu, dingin, dan menakutkan.

Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, namun tidak ada rasa lega yang biasanya menyertai. Aku membereskan buku-bukuku dengan gerakan mekanis, tanpa tenaga sama sekali. Aku ingin segera lari, menghilang, dan menjauh dari gedung SDN 11 ini secepat mungkin. Namun, kenyataan pahit menungguku di luar kelas. Aku harus pulang bersama Ibu.

Ibu Kanaya, guru kelas 4 di sekolah ini.

Aku berjalan menyusuri koridor dengan kepala yang tetap tertunduk, mencoba menutupi pipi kiriku dengan telapak tangan atau pura-pura menggaruk wajah. Aku tidak ingin Ibu melihat bekas merah ini. Aku tidak ingin melihat raut kecewa atau sedih di wajahnya. Saat aku sampai di depan ruang guru, Ibu sudah menungguku dengan senyumnya yang biasa.

"Ayo, Arya. Sudah siap pulang?" tanya Ibu dengan nada lembut.

Aku hanya mengangguk tanpa suara. Kami berjalan menuju parkiran motor. Sepanjang jalan menuju rumah, aku hanya diam di boncengan. Angin siang yang biasanya terasa segar, kini terasa perih saat mengenai pipiku. Aku mengeratkan peganganku pada jaket Ibu, mencoba mencari perlindungan yang selama ini selalu ada, tapi kali ini aku merasa tidak layak mendapatkannya.

"Arya, kenapa diam saja? Capek ya di kelas 5?" Ibu bertanya sambil sesekali melirikku dari spion.

"Iya, Bu. Ngantuk," jawabku singkat dengan suara serak yang kupaksakan agar tidak terdengar seperti habis menangis.

Ibu tidak bertanya lebih lanjut, mungkin beliau berpikir aku memang kelelahan karena beban pelajaran kelas 5 yang lebih berat. Namun di dalam hati, aku sedang berperang dengan diriku sendiri. Haruskah aku cerita kalau Pak Arnos baru saja menamparku? Haruskah aku bilang kalau aku dipermalukan di depan teman-temanku? Tapi aku takut. Aku takut jika aku bercerita, hal itu malah akan menyulitkan posisi Ibu di sekolah. Aku tidak ingin Ibu punya masalah dengan rekan kerjanya gara-gara aku.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar tanpa menyapa siapa pun lagi. Aku melempar tas biruku ke lantai dan merebahkan diri di kasur. Di dalam kamar yang sunyi itu, seluruh pertahananku akhirnya runtuh total. Aku membenamkan wajahku ke bantal dan menangis sesenggukan sekuat tenaga agar suaraku tidak terdengar sampai ke ruang tengah.

Setiap kali aku memejamkan mata, bayangan tangan Pak Arnos yang melayang ke wajahku kembali muncul. Suara Plak itu terus terngiang-ngiang di kepalaku seperti kaset rusak. Rasa benci mulai tumbuh di hatiku—bukan hanya kepada Pak Arnos, tapi juga kepada kursi belakang itu, dan kepada diriku sendiri yang tidak berdaya.

Malam itu, aku melewatkan makan malam. Aku beralasan sakit kepala, dan itu memang benar. Kepalaku terasa sangat berat, dan pipiku masih berdenyut kencang. Di kegelapan kamar, aku menatap langit-langit yang sunyi. Aku tahu, sejak hari ini, keceriaan Arya Rezky Pratama telah hilang. Aku tidak ingin lagi menjadi anak yang ceria. Aku lebih memilih untuk diam, menjadi tak terlihat, agar tidak ada lagi tangan yang bisa menjangkau wajahku.

Februari. Aku hanya perlu bertahan sedikit lagi sampai bulan Februari. Aku harus pindah. Aku harus pergi dari SDN 11 ini sebelum Pak Arnos benar-benar menghabisi sisa-sisa jiwaku. Aku merindukan laut, aku merindukan malam yang tenang tanpa ada bentakan guru. Dan dalam diamku malam itu, aku berjanji: di sekolah baru nanti, aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun melihat tawa tulusku lagi.

More Chapters