LightReader

Chapter 6 - Bab 6

BAB 6: Lingkaran Kecil di Meja Depan

Suasana kelas 5 SDN 12 pagi ini terasa lebih sibuk dari biasanya. Cahaya matahari yang masuk lewat jendela kaca yang sedikit berdebu memperlihatkan butiran-butiran kecil yang beterbangan di udara, seolah sedang menari di atas meja-meja kayu yang tertata rapi. Aku duduk di posisiku yang biasa, barisan paling depan, tepat di bawah hidung Ibu Zahra. Di belakang sampingku, aku bisa mendengar suara tawa kecil Nayara Amora yang sedang bercanda dengan teman-temannya.

"Anak-anak, hari ini kita tidak akan belajar dengan cara biasa," suara lembut Ibu Zahra memecah kebisingan kelas. Beliau berdiri dengan anggun di depan papan tulis, tangannya memegang beberapa lembar kertas tugas. "Ibu ingin kalian membuat kelompok belajar. Satu kelompok terdiri dari tiga orang. Tugas ini harus dikerjakan bersama, bukan hanya satu orang yang bekerja."

Jantungku seketika berdegup kencang. Kata 'kelompok' selalu menjadi momok bagiku sejak aku pindah ke sini. Di SDN 11 dulu, aku selalu menjadi orang pertama yang ditarik teman-teman karena keceriaanku. Tapi di sini? Aku hanyalah murid pindahan pendiam yang duduk di depan. Siapa yang mau berkelompok dengan anak yang bahkan tidak berani menoleh ke belakang?

Batin di dalam kepalaku mulai berisik. Pasti aku tidak akan kebagian kelompok. Pasti nanti aku ditaruh di kelompok sisa. Atau jangan-jangan aku disuruh bergabung dengan kelompok Fahmi? Pikiran itu membuat perutku mulas. Aku menatap lurus ke arah papan tulis, mencoba terlihat sibuk dengan pulpenku padahal tanganku gemetar.

"Total murid di kelas ini hanya sepuluh orang," lanjut Ibu Zahra sambil menghitung kami satu per satu. "Jadi akan ada tiga kelompok berisi tiga orang, dan satu orang... ah, tunggu. Karena ada sepuluh orang, satu kelompok akan berisi empat orang. Silakan kalian tentukan sendiri."

Kekacauan kecil mulai terjadi. Kursi-kursi bergeser, suara obrolan meninggi. Aku hanya diam membeku di kursiku. Tiba-tiba, aku merasakan sebuah tepukan di bahuku. Bukan tepukan kasar Fahmi, tapi tepukan yang terasa akrab.

"Ry, gabung sama kita aja yuk?" suara itu berasal dari Anos.

Aku menoleh perlahan. Di samping Anos berdiri seorang anak laki-laki lain yang selama ini juga lumayan ramah padaku, namanya Farel. Farel orangnya santai, tidak banyak bicara tapi selalu tersenyum kalau berpapasan denganku.

"Boleh?" tanyaku sangat pelan, hampir tak terdengar di tengah kebisingan kelas.

"Ya bolehlah! Kita butuh orang yang pinter nyatet kayak lo," sahut Anos sambil menarik kursi kosong untuk duduk di dekat mejaku. Farel menyusul, menyeret kursinya dan duduk di sisi satunya.

Aku merasa sedikit lega. Setidaknya aku tidak terdampar di kelompok Fahmi. Aku melirik ke arah pojok belakang kelas. Di sana, Fahmi sudah berkumpul dengan dua anteknya, Arlon dan Elion. Mereka bertiga terlihat sibuk tertawa, sesekali melempar gumpalan kertas ke arah teman yang lain. Fahmi menatapku dengan tatapan meremehkan, tapi aku segera memalingkan wajah.

Namun, pengumuman Ibu Zahra selanjutnya membuatku hampir melompat dari kursi.

"Karena kelompok Anos hanya bertiga, Ibu akan memasukkan satu orang lagi supaya kelompok kalian menjadi empat orang," Ibu Zahra menatap daftar nama di tangannya. "Nayara, kamu bergabung dengan kelompok Arya, Anos, dan Farel ya."

Duniaku serasa berhenti berputar sejenak. Nayara Amora? Bergabung denganku? Di kelompok yang sama? Batin di kepalaku langsung berteriak heboh. Ini gila. Bagaimana aku bisa fokus kalau dia duduk di dekatku? Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan lagi seperti pas push-up?

"Oke, Bu!" jawab Nayara riang. Dia berdiri dan membawa tasnya menuju barisan depan. Dia menarik kursi tepat di belakang sampingku—posisi duduk aslinya—tapi kali ini dia mencondongkan tubuhnya ke arah meja kami.

Aku bisa mencium aroma parfumnya yang lembut, seperti wangi bunga yang tersiram hujan. Nayara tersenyum ke arahku, lalu beralih ke Anos dan Farel. Sementara itu, kelompok lain pun terbentuk. Sisanya adalah Rara dan Dela, dua teman dekat Nayara yang kini harus bergabung dalam satu kelompok dengan satu orang lagi yang tersisa.

"Nah, sekarang kelompoknya sudah lengkap," Ibu Zahra mengetukkan penggaris plastiknya ke papan tulis. "Kelompok 1: Arya, Anos, Farel, dan Nayara. Kelompok 2: Fahmi, Arlon, dan Elion. Kelompok 3: Rara, Dela, dan satu teman lagi. Silakan buka buku tematik halaman 85."

Kami mulai bekerja. Anos dan Farel sibuk berdiskusi tentang soal-soal matematika yang diberikan. Sementara aku, aku hanya menunduk, mencoba fokus pada tulisan di buku.

"Arya, menurut lo jawaban nomor tiga ini bener nggak?" Nayara bertanya sambil menyodorkan bukunya ke arahku.

Aku terdiam sebentar, menatap tulisan tangan Nayara yang sangat rapi. "Eh... iya, sudah bener. Tapi mungkin rumusnya bisa lebih simpel kalau pakai cara yang dijelasin Pak Hiro atau Pak Kazumi dulu," jawabku tanpa sadar membawa-bawa kenangan masa laluku.

"Siapa Pak Hiro? Siapa Pak Kazumi?" Anos bertanya dengan dahi berkerut.

Aku tersentak. Aku lupa kalau mereka tidak tahu nama teman-teman/guruku di novel yang kubayangkan di kepala. "Maksudku... temenku dulu. Mereka suka kasih cara cepat," aku berbohong sedikit untuk menutupi kegugupanku.

"Wih, keren dong. Ajari kita juga ya, Ry," timpal Farel dengan ramah.

Di sela-sela kerja kelompok itu, aku merasa ada kedamaian kecil yang mulai tumbuh. Duduk di antara Anos yang supel, Farel yang santai, dan Nayara yang selalu memberikan dukungan, membuat kursi depan ini tidak lagi terasa seperti tempat eksekusi. Aku mulai berani sedikit demi sedikit mengeluarkan suara, memberikan pendapat, dan sesekali tersenyum—meski tipis—saat Anos melontarkan lelucon konyolnya.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Dari belakang, sebuah penggaris besi dipukul keras ke meja.

"Woi! Kelompok satu berisik banget sih! Sok pinter lo semua!" Fahmi berteriak dari mejanya. Arlon dan Elion menyeringai di belakangnya.

"Kita lagi ngerjain tugas, Fah. Kelompok lo aja yang dari tadi cuma main kertas," balas Nayara dengan nada yang tidak kalah tajam.

"Halah, palingan lo cuma mau deket-deket sama si boti itu kan, Nay?" ejek Fahmi. Dia kemudian menatapku dengan tatapan sinis. "Eh, Arya! Jangan kira gara-gara lo duduk bareng Nayara, lo jadi hebat. Lo tetep aja pecundang pindahan yang nggak bisa push-up!"

Kata-kata Fahmi itu seperti jarum yang menusuk balon harapanku. Seketika, aku kembali menunduk. Bayangan lapangan debu dan tawa sekelas kembali menghantui. Aku ingin membalas, aku ingin berteriak bahwa aku bukan pecundang, tapi suaraku seolah terkunci di dalam tenggorokan.

"Udah, Fah, balik ke tugas lo sana," Anos membela. Dia menoleh padaku. "Jangan didengerin, Ry. Dia cuma iri karena kita dapet kelompok yang bener."

Nayara tidak bicara apa-apa kali ini, tapi aku bisa melihat tangannya mengepal di atas meja. Dia menatap Fahmi dengan kemarahan yang tertahan, lalu kembali menatapku. Tatapannya kali ini bukan lagi sekadar kasihan, tapi ada sesuatu yang lebih dalam—seperti sebuah janji bahwa dia tidak akan membiarkan Fahmi bertindak lebih jauh.

Batin di kepalaku berbisik lagi. Arya, lihat mereka. Ada orang-orang yang berdiri di sampingmu sekarang. Kamu bukan lagi anak sendirian di kursi belakang SDN 11. Kamu punya Anos, Farel, dan... Nayara.

Meskipun kelas ini hanya berisi sepuluh orang, dinamikanya terasa sangat besar bagiku. Di satu sisi ada geng Fahmi yang terus berusaha menarikku kembali ke dalam kegelapan trauma, dan di sisi lain ada lingkaran kecil di meja depan ini yang mencoba menarikku keluar ke arah cahaya.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungku. Aku melihat Nayara yang sedang serius menulis, lalu Anos dan Farel yang kembali berdebat tentang jawaban. Di sekolah baru ini, di SDN 12 ini, aku mulai menyadari bahwa kursi depan tidak selamanya menakutkan, asalkan ada orang-orang yang tepat yang duduk bersamamu di barisan yang sama.

Aku menoleh sedikit ke arah jendela. Februari hampir berakhir. Masa-masa kelam di SDN 11 bersama Pak Arnos perlahan mulai terasa jauh, meski bayangannya sesekali masih muncul. Tapi di sini, bersama Nayara Amora yang duduk tepat di belakang sampingku, aku merasa punya alasan untuk tidak menyerah.

"Arya, nomor lima lo yang ngerjain ya? Tulisan lo bagus," Nayara berkata sambil tersenyum ke arahku.

Aku mengangguk pelan. "Oke, Nay."

Tugas kelompok itu akhirnya selesai tepat saat bel istirahat berbunyi. Saat aku membereskan buku, aku merasa sedikit lebih kuat dari pagi tadi. Aku bukan lagi sekadar bayangan. Aku adalah Arya Rezky Pratama, dan meski aku masih pendiam, aku tahu bahwa di lingkaran kecil ini, suaraku mulai didengarkan.

More Chapters