BAB 9: Rasio dan Booyah di Kursi Depan
Hari Senin tiba dengan suasana yang sedikit berbeda bagi keduaku. Jika biasanya hari Senin adalah momok yang menakutkan karena upacara bendera dan bayang-bayang Pak Arnos di sekolah lama, kini aku melangkah ke SDN 12 dengan perasaan yang jauh lebih ringan. Meskipun aku masih sosok pendiam yang senang bersembunyi di balik buku, keberadaan Anos, Farel, dan tentu saja Nayara, menjadi alasan bagiku untuk tidak lagi menunduk terlalu dalam.
Bel masuk berbunyi nyaring. Ibu Zahra masuk ke kelas dengan senyum yang selalu sama—teduh dan menenangkan. Di papan tulis hitam yang masih bersih, beliau menuliskan satu kata besar dengan kapur putih: RASIO.
"Anak-anak, hari ini kita akan belajar tentang perbandingan atau rasio. Ini sangat penting untuk kehidupan sehari-hari," jelas Ibu Zahra dengan suara lembutnya. Beliau mulai menuliskan deretan angka 2:3, 4:5, dan memberikan permisalan tentang berat benda serta jumlah kelereng.
Aku memperhatikan dengan seksama. Di barisan depan ini, aku tidak punya pilihan selain fokus. Sesekali aku mendengar geseran kursi di belakangku. Aku tahu itu Nayara. Batin di kepalaku mulai bergejolak lagi. Fokus Arya, jangan mikirin Nayara terus. Ingat rasio, bukan rasio cintamu padanya! Aku menggelengkan kepala pelan, mencoba mengusir pikiran konyol itu.
Setelah menjelaskan sekitar tiga puluh menit, Ibu Zahra memberikan beberapa soal latihan di buku cetak. "Silakan dikerjakan halaman 92. Ibu harus ke ruang guru sebentar untuk mengambil berkas rapat. Jangan ribut ya, Anos, jangan jahilin temannya," pesan Ibu Zahra sambil melirik Anos yang memang paling susah diam.
"Siap, Bu Guru!" jawab Anos sambil hormat dengan gaya kocak.
Begitu pintu kelas tertutup dan langkah kaki Ibu Zahra menjauh, suasana kelas yang tadinya sunyi mendadak berubah menjadi riuh. Fahmi di barisan belakang langsung berteriak-teriak tidak jelas, sementara di barisan depan, Anos langsung memutar kursinya menghadap ke arahku dan Farel.
"Woi, Ry! Farel! Sini kumpul," ajak Anos. Nayara juga ikut mencondongkan tubuhnya ke depan, membuat lingkaran kecil kami kembali terbentuk.
Anos tidak langsung membahas soal rasio. Dia menatapku dengan mata yang berbinar-binar penuh selidik. "Ry, gue mau nanya serius. Lo main Free Fire nggak? Anak-anak kampung sebelah pada heboh katanya ada anak baru pindahan yang jago banget main epep di sana."
Aku tersentak. Aku tidak menyangka topik ini akan muncul. Memang benar, selama aku mogok sekolah dan sering main ke desa sebelah, aku sering nongkrong di warung kopi sambil main Free Fire. Di sana, aku dikenal sebagai player yang punya reflek cepat dan strategi yang gila. Namaku lumayan disegani di tongkrongan sana karena aku sering menggendong tim menuju Booyah.
"Eh... iya, main kok," jawabku rendah.
"Serius?! Rank lo apa sekarang? Pasti udah Master ya? Atau Grandmaster?" cecar Anos antusias. Farel juga ikut mendekat, terlihat sangat tertarik.
"Masih Master kok, Nos. Belum sempat naik lagi," kataku malu-malu.
"Gila! Master katanya 'masih'!" Anos menepuk dahinya. "Gue aja stuck di Diamond nggak naik-naik, sering kena minus mulu gara-gara dapet tim random yang beban. Farel apalagi, dia mah cuma jadi tukang loot doang terus mati duluan."
"Halah, enak aja lo! Gue kan support yang baik," bela Farel sambil tertawa.
Tiba-tiba, Nayara yang sedari tadi mendengarkan ikut bersuara. "Epep itu yang tembak-tembakan itu ya? Yang ada karakter Alok-Alok itu?" tanya Nayara polos.
"Iya Nay! Masa lo nggak tahu? Hits banget nih!" seru Anos.
Nayara menatapku dengan mata bulatnya yang jernih. Aduh, jantung... stop maraton dulu bisa nggak? batinku meronta. "Arya, emang seru ya? Kok kalian kayaknya heboh banget. Gue pengen coba deh, tapi kayaknya susah ya cara mainnya?" tanya Nayara padaku.
"Nggak terlalu susah kok, Nay. Nanti kalau mau, aku bisa ajarin dasarnya," jawabku berusaha setenang mungkin, padahal di dalam hati aku sedang salto kegirangan. Gue bakal ngajarin crush main epep?! Mimpi apa gue semalem!
"Wah, mau dong! Nanti sore kita main bareng gimana? Kita bikin squad berempat. Arya jadi kaptennya, kita jadi anak buahnya," usul Anos yang langsung disetujui oleh Farel.
"Boleh, nanti mabar (main bareng) jam empat sore ya," kataku.
Obrolan kami tentang game itu terus berlanjut. Aku bercerita tentang trik headshot, cara pasang glowall yang cepat, sampai posisi sniping yang paling enak. Anos dan Farel mendengarkan seolah-olah aku sedang memberikan kuliah umum. Untuk pertama kalinya di kelas ini, aku merasa benar-benar percaya diri. Aku tidak lagi merasa sebagai "Arya si pecundang pindahan", tapi "Arya sang pro player".
"Eh, tapi gue belum punya nomor lo, Ry!" seru Anos tiba-tiba. "Gimana mau mabar kalau nggak ada kontak WhatsApp-nya?"
"Oh iya, sini aku catet nomor kalian," kataku sambil mengambil selembar kertas.
Anos dan Farel memberikan nomor mereka. Saat aku baru saja hendak menyimpan kertas itu, Nayara menyentuh lenganku pelan. Sentuhan itu hanya sekilas, tapi rasanya seperti ada aliran listrik yang menyengat seluruh tubuhku.
"Arya... gue juga boleh minta nomor lo? Buat mabar nanti," pinta Nayara dengan nada bicara yang sedikit malu-malu. Pipinya merona merah tipis, dan dia menunduk sedikit sambil memilin ujung hijabnya (atau rambutnya).
Batin di kepalaku langsung meledak. ARGHHH! INI BENERAN?! NAYARA MINTA NOMOR GUE?! Aku mencoba menarik napas panjang agar tanganku tidak gemetar saat memberikan pulpen padanya.
"B-boleh, Nay. Ini nomor aku," kataku sambil menuliskan deretan angka di bukunya.
Nayara mencatatnya dengan cepat. "Oke, makasih ya Arya. Nanti gue chat ya."
"Cieeeee! Chat-chatan nih ye!" goda Anos dengan suara yang cukup kencang. Farel ikut tertawa sambil menyenggol bahu Anos.
"Berisik lo, Nos!" balas Nayara sambil melempar penghapus ke arah Anos, tapi dia tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya.
Di tengah kebahagiaan kecil itu, aku melirik ke belakang. Fahmi sedang menatap kami dengan wajah yang merah padam karena emosi. Dia terlihat sangat benci melihat kedekatanku dengan Nayara. Tapi anehnya, kali ini aku tidak merasa setakut biasanya. Selama ada Anos, Farel, dan Nayara di sampingku, gertakan Fahmi terasa seperti angin lalu.
Bel istirahat berbunyi, dan Ibu Zahra kembali ke kelas. "Sudah selesai tugasnya? Silakan dikumpulkan di meja Ibu."
Kami mengumpulkan tugas dengan perasaan riang. Saat berjalan kembali ke bangku, Nayara membisikkan sesuatu saat melewati sampingku. "Nanti jam empat ya, jangan telat."
Aku hanya mengangguk kecil dengan senyum yang sulit disembunyikan. Sore itu, rasio yang kupikirkan bukan lagi tentang angka-angka matematika, tapi rasio kemenangan kami di game dan rasio kedekatanku dengan Nayara. Aku merasa, di SDN 12 ini, perlahan-lahan kebahagiaanku yang dulu sempat hilang karena Pak Arnos, mulai kembali bersemi lewat hal-hal sederhana seperti ini.
Sore harinya, tepat jam empat, HP-ku berbunyi. Sebuah notifikasi WhatsApp masuk dari nomor yang belum kukenal dengan foto profil pemandangan bunga yang cantik.
“Arya, ini Nayara. Jadi mabar sekarang?”
Aku tersenyum lebar. Hari ini bukan lagi tentang luka yang diam, tapi tentang cerita baru yang mulai ditulis dengan tawa.
