LightReader

Chapter 11 - Bab 11

BAB 11: Ujian Kesabaran di Jam Pak Xiao

Suasana kelas 5 SDN 12 yang tadinya bising oleh obrolan tentang game mendadak senyap saat langkah kaki yang teratur terdengar dari koridor. Sosok pria dengan wajah tenang dan pembawaan yang sangat berwibawa masuk ke dalam kelas. Beliau adalah Pak Xiao, guru agama kami. Berbeda dengan Pak Arnos yang auranya mencekam, Pak Xiao memiliki tatapan yang menyejukkan, seolah setiap masalah yang kita punya akan hilang hanya dengan melihat senyumnya yang tipis.

"Assalamu’alaikum, anak-anak sekalian," sapa Pak Xiao sambil meletakkan kitab dan buku catatannya di meja kayu.

"Wa’alaikumussalam, Pak Xiao!" jawab kami serentak.

Pak Xiao membuka pelajaran dengan doa yang khusyuk. Setelah itu, beliau mengambil kapur dan menuliskan sebuah judul besar di papan tulis: Kabilah dan Puasa Sunnah.

"Hari ini kita akan belajar tentang bagaimana sejarah kabilah-kabilah di zaman Rasulullah dan bagaimana mereka dipersatukan oleh iman. Kita juga akan membahas tentang pentingnya menahan diri melalui puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis," jelas Pak Xiao dengan suara yang berat namun lembut.

Aku duduk tegak di barisan depan. Batin di kepalaku mulai berbisik lagi. Menahan diri, ya? Sepertinya aku sudah ahli dalam hal itu sejak kejadian di SDN 11. Aku menatap punggung tangan Pak Xiao yang bergerak lincah menuliskan nama-nama kabilah Arab. Aku merasa sangat tenang di jam pelajaran ini, sampai sebuah gangguan datang dari arah belakang.

Tuk!

Sebuah gumpalan kertas kecil mengenai tengkukku. Aku tersentak, tapi aku mencoba tetap diam. Aku tahu itu pasti ulah Fahmi.

"Dalam berpuasa sunnah, kita tidak hanya menahan lapar, tapi juga menahan amarah dan lisan dari hal-hal yang menyakiti orang lain," lanjut Pak Xiao, seolah beliau tahu apa yang sedang terjadi di barisan belakang.

Tuk!

Sekali lagi, kertas mengenai kepalaku. Kali ini lebih keras. Aku mendengar tawa tertahan dari arah meja Fahmi, Arlon, dan Elion. Batin di kepalaku mulai panas. Sabar, Arya. Pak Xiao sedang menjelaskan tentang puasa dan menahan diri. Jangan terpancing.

"Arya, coba kamu bacakan paragraf pertama di buku paketmu tentang Kabilah Quraisy," pinta Pak Xiao tiba-tiba.

Aku berdiri dengan sedikit canggung. Saat aku baru saja hendak membuka mulut untuk membaca, Fahmi sengaja berbisik cukup keras dari belakang. "Suaranya mana, boti? Kebanyakan main epep jadi bisu ya?"

Arlon dan Elion tertawa cekikikan. Wajahku memanas. Aku melirik ke arah Nayara yang duduk di belakang sampingku. Kulihat Nayara sedang menatap tajam ke arah Fahmi, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang amat sangat.

"Fahmi, ada apa di belakang?" tanya Pak Xiao dengan nada yang tenang tapi sangat mengintimidasi.

"Enggak ada apa-apa, Pak. Itu si Arya kelamaan mikir, mungkin dia lupa cara baca," jawab Fahmi dengan nada meremehkan.

"Arya, silakan lanjut," kata Pak Xiao padaku, mengabaikan ocehan Fahmi.

Aku menarik napas panjang dan membacakan teks itu dengan suara yang sejelas mungkin. Aku ingin membuktikan pada Fahmi bahwa aku bukan pecundang yang dia kira. Setelah selesai, aku kembali duduk. Namun, baru saja pantatku menyentuh kursi, Fahmi menendang bagian bawah kursiku hingga berbunyi brak! yang cukup nyaring.

Satu kelas terdiam. Pak Xiao meletakkan kapurnya dan berjalan perlahan menuju barisan belakang. Beliau berhenti tepat di depan meja Fahmi.

"Fahmi, kamu tahu apa yang paling sulit dari puasa sunnah?" tanya Pak Xiao pelan.

Fahmi tampak kikuk, nyalinya yang tadi besar mendadak menciut. "E-enggak tahu, Pak."

"Yang paling sulit adalah menahan tangan dan kaki untuk tidak mengganggu orang lain. Ilmu itu tidak akan masuk ke hati yang penuh dengan rasa benci," ucap Pak Xiao sambil menatap mata Fahmi dalam-dalam. "Minta maaf pada Arya."

Fahmi melongo. Dia menoleh padaku dengan tatapan yang sangat tidak ikhlas. "Maaf, Ry," ucapnya ketus.

"Minta maaf yang benar, Fahmi. Sebagai sesama kabilah di kelas ini, kita harus saling menjaga," tambah Pak Xiao.

Fahmi mengembuskan napas kasar. "Iya, Arya. Maaf ya."

Setelah kejadian itu, Pak Xiao kembali ke depan kelas. Beliau mulai bercerita tentang keindahan berbagi saat berbuka puasa dan bagaimana Rasulullah sangat mencintai kedamaian. Di tengah penjelasan yang menyejukkan itu, aku merasakan sebuah tangan menyentuh punggungku pelan dari belakang.

Aku menoleh sedikit. Ternyata Nayara. Dia menyodorkan sebuah lipatan kertas kecil padaku. Aku menerimanya dengan jantung yang mulai berdebar kencang. Aduh, apaan nih? batinku salting.

Aku membuka kertas itu di bawah meja. Isinya tulisan tangan Nayara yang cantik:

"Sabar ya, Arya. Si Fahmi emang iri sama kamu. Nanti istirahat kita mabar lagi di grup biar stresnya hilang! [Emoji Semangat]"

Membaca tulisan itu, rasa kesalku pada Fahmi mendadak hilang tak berbekas. Rasanya seperti baru saja meminum air es di tengah padang pasir yang panas. Aku menoleh lagi ke arah Nayara dan memberikan jempol kecil. Nayara tersenyum manis, membuat duniaku terasa jauh lebih indah daripada kabilah-kabilah Arab yang sedang dijelaskan Pak Xiao.

Anos yang duduk di sampingku ternyata ikut melirik. "Cie, dapet surat cinta ya?" bisiknya sambil menyenggol lenganku.

"Apaan sih, Nos! Tugas ini, tugas!" jawabku sambil berusaha menyembunyikan kertas itu ke dalam saku celana. Farel yang duduk di samping Anos cuma bisa geleng-geleng kepala sambil menahan tawa.

"Anak-anak, untuk tugas minggu depan, Ibu ingin kalian mempraktikkan salah satu puasa sunnah dan menuliskan apa yang kalian rasakan," tutup Pak Xiao saat bel pergantian jam berbunyi.

Begitu Pak Xiao keluar, Fahmi langsung berdiri dan menggebrak meja. "Woi, Arya! Lo berani ya ngadu-ngadu ke Pak Xiao?!"

"Siapa yang ngadu, Fah? Pak Xiao kan punya mata, dia liat sendiri kelakuan lo," sahut Anos membela.

"Diem lo, Nos! Pokoknya urusan kita belum selesai, boti!" Fahmi menunjuk wajahku sebelum akhirnya dia ditarik keluar oleh Arlon dan Elion untuk jajan ke kantin.

"Udah, Ry, biarin aja si Fahmi. Dia itu kayak karakter epep yang cuma bisa emote doang tapi nggak jago main," canda Farel yang membuat kami semua tertawa.

Rara dan Dela mendekati meja kami bersama Nayara. "Eh, Kapten Arya! Jadi kan mabar nanti? Aku udah login nih!" seru Rara antusias.

"Bentar, Ra. Kita kan masih ada jam pelajaran lagi. Nanti pas istirahat aja kita bahas strateginya di grup," kataku dengan nada yang kini jauh lebih percaya diri.

Batin di kepalaku berbisik penuh kemenangan. Lihat, Pak Arnos. Lihat, Fahmi. Kalian mungkin bisa menampar atau mengejekku, tapi kalian tidak bisa menghapus orang-orang baik yang sekarang ada di sekelilingku.

Di jam pelajaran Pak Xiao ini, aku belajar satu hal penting. Bahwa menahan diri itu memang sulit, tapi hasilnya sangat manis. Semanis senyum Nayara yang terus membayangi pikiranku, dan sekuat solidaritas skuad SQUAD 12 yang kini menjadi pelindung baruku di SDN 12.

More Chapters