LightReader

Chapter 13 - Bab 13

BAB 13: Senyum di Balik Layar dan Riuh Ruang Tamu

Perjalanan pulang dari SDN 12 siang ini terasa jauh lebih singkat dari biasanya. Entah karena langkah kakiku yang lebih ringan atau karena pikiranku yang masih melayang mengingat bisikan Nayara di kelas tadi. Begitu sampai di depan rumah, aku langsung disambut oleh aroma masakan Ibu yang menyeruak dari dapur. Namun, hal pertama yang kulakukan bukanlah menuju meja makan, melainkan masuk ke kamar dan merebahkan tubuh di kasur yang empuk.

Aku merogoh saku, mengeluarkan HP-ku dengan gerakan cepat. Ada rasa penasaran yang menggelitik. Begitu layar menyala, deretan notifikasi dari grup SQUAD 12 sudah menumpuk, tapi jempolku justru bergerak menuju tab status WhatsApp. Mataku menyisir daftar nama, hingga berhenti di satu nama: Nayara Amora.

Aku menarik napas panjang sebelum mengetuk layar. Deg!

Seketika duniaku seolah berhenti. Di layar HP-ku, terpampang foto Nayara yang sedang bersandar di bawah pohon kersen sekolah. Dia mengenakan kerudung putihnya yang rapi, dengan cahaya matahari sore yang sedikit menerpa wajahnya, memberikan efek glowing yang alami. Dia tersenyum sangat manis—jenis senyum yang membuat siapa pun yang melihatnya akan ikut merasa bahagia. Di bawah foto itu, ada tulisan kecil: "Semangat Seninnya, Kapten! [Emoji Bintang]"

"Arghhh... ya Allah, cantik banget," gumamku pelan. Aku tidak bisa berhenti menatap foto itu. Aku tersenyum-senyum sendiri, berguling ke kanan dan ke kiri di atas kasur seperti orang yang sedang kehilangan akal sehat. Batin di kepalaku benar-benar berisik. Arya! Lo liat nggak? Dia nulis 'Kapten'! Itu pasti buat lo!

Tanpa kusadari, aku sudah menatap layar HP itu selama hampir lima menit dengan senyum yang kian lebar. Aku merasa seperti terbang ke awan, lupa pada Fahmi, lupa pada rasa sakit di masa lalu.

"Cie... Abang Arya lagi liat apa tuh? Kok senyum-senyum sendiri kayak orang gila?"

Suara cempreng itu seketika membuyarkan lamunanku. Aku tersentak kaget dan hampir saja menjatuhkan HP-ku ke lantai. Aku menoleh ke arah pintu kamar yang ternyata sudah terbuka sedikit. Di sana berdiri adik pertamaku, Dika, yang baru kelas 2 SD, bersama si kecil Lulu yang baru berumur 4 tahun.

"Apaan sih, Dika! Masuk kamar orang nggak ngetok dulu!" seruku sambil buru-buru mematikan layar HP.

Dika tertawa nakal sambil berlari masuk dan melompat ke atas kasurku. "Tadi Dika liat! Ada foto cewek ya di HP Abang? Cantik banget! Siapa tuh Bang? Pacar Abang ya?"

"Bukan! Itu temen sekolah Abang! Udah sana keluar!" aku mencoba mengusir Dika, tapi Lulu justru ikut-ikutan memanjat kasur dan menarik kausku.

"Abang... pacal cantik? Lulu mau liat pacal Abang," oceh Lulu dengan suara cadelnya yang menggemaskan.

"Tuh kan, Lulu aja mau liat! Ibuuuu! Bapak! Ini Abang Arya lagi jatuh cinta!" teriak Dika sekencang mungkin dari dalam kamar.

Wajahku memerah padam. "Dika! Diem nggak!"

Tak lama kemudian, langkah kaki Ibu terdengar mendekat. Ibu masuk ke kamar sambil masih memegang sudit masak. Di belakangnya, Bapak menyusul sambil melipat koran yang sedang dibacanya di ruang tengah.

"Ada apa ini ribut-ribut? Suara Dika kedengeran sampai dapur," tanya Ibu sambil menatap kami bertiga.

"Itu Bu! Abang Arya lagi liatin foto cewek cantik di HP! Senyum-senyum sendiri terus guling-guling!" adu Dika dengan semangat 45.

Bapak menaikkan sebelah alisnya, senyum tipis muncul di wajah tegasnya. "Wah, anak Bapak sudah mulai besar ya? Siapa itu, Arya? Anak SDN 12 juga? Pantesan semangat banget sekolahnya sekarang."

"Bukan gitu, Pak... itu cuma Nayara, temen sekelompok Arya," jawabku dengan suara yang menciut. Aku benar-benar ingin menghilang dari bumi saat ini juga.

Ibu duduk di tepi kasur, mengelus rambutku. "Nayara yang sering kamu ceritain itu? Yang duduk di belakang samping kamu? Ibu jadi penasaran, mana liat fotonya. Katanya Dika cantik banget."

"Ibuuu... malu tau," protesku, tapi Lulu terus menarik-narik tanganku sampai HP-ku terlepas.

Dika dengan sigap menyambar HP itu. "Nih Bu! Liat nih!" Dika membuka kuncinya (yang untungnya tidak kupakai sandi) dan langsung menunjukkan status Nayara yang masih terbuka.

"Masya Allah... ini mah emang cantik sekali, Arya," ucap Ibu sambil memperhatikan foto Nayara. "Wajahnya teduh, keliatannya anaknya baik dan sopan. Pinter kamu milih temen dekat."

"Cieeee Abang Arya! Cieeeee!" sorak Dika sambil lari memutar-mutar di dalam kamar. Lulu yang tidak mengerti apa-apa ikut bertepuk tangan sambil ikut bersorak, "Cieee... Abang... cieee!"

Bapak tertawa kecil melihat tingkah laku adik-adikku. "Sudah-sudah, jangan digodain terus abangnya. Nanti dia nggak mau mabar lagi tuh. Tapi Arya, Bapak seneng liat kamu begini. Daripada murung terus gara-gara kejadian dulu, mending kamu semangat begini karena ada temen yang bikin kamu seneng."

"Iya Pak, bener," sahut Ibu. "Tapi inget ya, Arya. Boleh temenan, boleh kagum, tapi sekolah tetep nomor satu. Jangan sampai karena liatin foto Nayara terus, nilai matematikanya jadi turun."

"Enggak Bu, justru Nayara yang sering ingetin Arya belajar," belaku tanpa sadar.

"Oalah... jadi dia juga perhatian sama kamu?" goda Ibu lagi yang membuatku langsung menutup wajah dengan bantal.

Suasana kamar yang tadinya tenang kini berubah menjadi sangat hangat dan penuh tawa. Meskipun aku sangat malu karena digodai satu keluarga, tapi di dalam hati aku merasa sangat bahagia. Di rumah ini, dukunganku sangat penuh. Orang tuaku tidak melarangku untuk berteman, mereka justru bersyukur karena aku sudah bisa keluar dari trauma masa laluku di SDN 11.

"Udah, ayo keluar semua. Kita makan siang dulu," ajak Ibu sambil menggiring Dika dan Lulu keluar.

Dika sempat menoleh sekali lagi sebelum keluar pintu. "Bang, nanti kalau mabar sama Kak Nayara, Dika ikut nonton ya! Mau liat Kakak cantik main epep!"

"Sana pergi!" aku melempar bantal ke arah Dika yang langsung menghindar sambil tertawa.

Setelah mereka semua keluar, aku kembali mengambil HP-ku. Aku melihat foto Nayara sekali lagi. Entah kenapa, setelah digodai oleh Ibu, Bapak, dan adik-adikku, rasa sukaku pada Nayara justru terasa semakin kuat. Aku merasa tidak perlu lagi bersembunyi.

Aku mengetikkan sesuatu di kolom balasan status Nayara. Jari-jariku gemetar.

Arya Rezky P: "Fotonya bagus, Nay. Semangat juga ya belajarnya [Emoji Senyum]"

Tak sampai satu menit, HP-ku bergetar.

Nayara Amora: "Makasih, Kapten! Kamu juga ya. Jangan lupa jam 8 malam ini, aku tunggu di lobby! [Emoji Hati]"

Melihat emoji hati itu, aku hampir saja berteriak sekencang mungkin. Aku langsung membenamkan wajahku ke kasur, mencoba meredam teriakan kegembiraan yang meluap-luap. Hari ini benar-benar luar biasa. Dari pelajaran rasio di kelas, perlindungan dari Anos, hingga dukungan dari keluarga di rumah.

Aku merasa, luka yang dulu digoreskan oleh Pak Arnos kini perlahan-lahan mulai sembuh sepenuhnya, tertutup oleh tawa Dika, dukungan Bapak Ibu, dan tentu saja... senyum manis Nayara Amora yang kini tersimpan rapi di galeri hatiku.

More Chapters