BAB 12: Strategi di Bawah Pohon Kersen
Setelah Pak Xiao keluar dari kelas dengan wibawanya yang tenang, suasana kelas 5 SDN 12 kembali pecah seperti pasar tumpah. Meskipun gertakan Fahmi masih terngiang di telinga, keberadaan surat kecil dari Nayara di sakuku rasanya seperti jimat pelindung. Aku tidak lagi merasa kecil. Di barisan depan ini, aku merasa dikelilingi oleh benteng pertahanan yang kuat.
"Ry! Buruan buka grup! Si Rara udah cerewet banget tuh di WhatsApp," seru Anos sambil menggoyang-goyangkan HP-nya yang layarnya sudah penuh dengan notifikasi.
Aku merogoh saku, mengeluarkan HP-ku dengan hati-hati. Benar saja, grup SQUAD 12 sudah ramai.
Rara_Cantik: "Woi, Kapten Arya! Strategi buat mabar nanti malam gimana? Gue nggak mau ya mati konyol di awal game kayak kemarin!"
Dela_Sky: "Iya nih, masa gue dapet rank Gold aja susah banget. Gendong dong Kapten!"
Nayara Amora: "Sabar ya teman-teman, Kaptennya lagi fokus belajar Kabilah tadi sama Pak Xiao [Emoji Ketawa]"
Melihat pesan-pesan itu, aku tidak bisa menahan senyum. Anos, Farel, Nayara, Rara, dan Dela kini berkumpul di sekeliling mejaku. Kami membentuk lingkaran kecil di barisan depan, mengabaikan tatapan sinis Fahmi yang masih duduk di belakang sambil berbisik-bisik dengan Arlon dan Elion.
"Oke, dengerin semua," kataku, mencoba mengambil peran sebagai kapten. Suaraku kini tidak lagi gemetar seperti hari pertama pindah. "Nanti malam kita main berenam. Karena satu skuad cuma muat empat orang, kita bagi dua tim. Tim A gue, Nayara, sama Rara. Tim B Anos, Farel, sama Dela. Nanti kita gantian biar adil."
"Yah, kok gue nggak bareng Nayara?" protes Anos sambil memanyunkan bibirnya.
"Halah, lo mah mau modus doang kan?" ledek Farel sambil menyikut perut Anos. "Lagian kalau Arya bareng Nayara itu udah bener. Arya yang nge-carry, Nayara yang dapet Booyah. Kita mah tim hore aja."
Nayara tertawa kecil, wajahnya merona saat Farel menyebut-nyebut namanya bareng namaku. "Udah, nggak apa-apa Nos. Kan kita satu grup ini. Yang penting kita semua naik rank."
Batin di kepalaku langsung bersorak. Yes! Satu tim sama Nayara lagi! Makasih Farel, lo emang sohib paling pengertian sedunia!
"Tapi Ry," Dela tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya mengecil. "Lo liat nggak sih si Fahmi dari tadi ngeliatin kita terus? Kayaknya dia beneran kesel deh gara-gara lo makin deket sama Nayara."
Aku melirik sebentar ke arah belakang. Benar saja, Fahmi sedang menatapku dengan mata yang seolah ingin menembus kepalaku. Dia memegang pulpennya dengan sangat kencang, seolah ingin mematahkannya.
"Biarin aja, Del. Fahmi itu cuma iri," sahut Nayara dengan nada yang sangat tegas. "Dia pikir sekolah ini punya bapaknya apa? Suka-suka kita dong mau temenan sama siapa. Arya itu orang baik, nggak kayak dia yang sukanya bully orang."
Aku menatap Nayara. Keberaniannya selalu membuatku takjub. Bagaimana mungkin ada gadis semanis dia tapi punya mental sekuat baja? Di saat aku masih berjuang melawan trauma tamparan Pak Arnos, Nayara seolah menjadi tameng yang selalu siap berdiri di depanku.
"Ry, lo diem aja. Salting ya dibelain Nayara?" goda Rara sambil menaik-turunkan alisnya.
"Eh... enggak kok. Aku cuma kepikiran tugas Pak Xiao tadi," jawabku asal untuk menutupi rasa malu yang luar biasa.
"Halah, bohong banget! Muka lo udah merah kayak tomat gitu!" Anos tertawa terbahak-bahak, diikuti oleh yang lainnya.
Suasana di meja depan itu begitu hangat. Kami mengobrol tentang banyak hal, mulai dari karakter epep yang paling bagus, sampai hobi masing-masing. Aku baru tahu kalau Farel suka memancing di sungai dekat rumahnya, dan Rara ternyata jago menari tradisional. Sementara itu, Nayara diam-diam suka membaca novel—pantas saja kata-katanya selalu tertata rapi.
"Eh, udah mau masuk jam pelajaran selanjutnya nih," kata Farel sambil melihat jam dinding. "Ibu Zahra biasanya tepat waktu."
"Oke, pokoknya nanti malem jam 8 ya. Jangan ada yang telat login!" perintahku sebagai penutup rapat dadakan kami.
Saat mereka kembali ke kursi masing-masing, Nayara sempat berhenti sebentar di samping mejaku. Dia menunduk sedikit, membisikkan sesuatu yang hanya bisa kudengar sendiri.
"Arya, nanti malem beneran ya ajarin aku pakai senjata yang ada teropongnya itu. Aku pengen bisa hebat kayak kamu."
Aku hanya bisa mengangguk kaku dengan jantung yang berdegup dua kali lebih cepat. "I-iya Nay. Pasti aku ajarin."
Nayara tersenyum manis sebelum duduk di kursi belakang sampingku. Aku mengembuskan napas panjang. Rasanya paru-paruku baru saja terisi oksigen yang sangat segar.
Namun, kedamaian itu hanya bertahan beberapa detik. Saat aku hendak merapikan buku matematika, Fahmi tiba-tiba lewat di samping mejaku untuk menuju ke depan—entah mau meraut pensil atau apa. Saat melewati kursiku, dia sengaja menabrak bahuku dengan keras.
"Woi, anak pindahan! Jangan kepedean lo. Nayara itu nggak bakal mau sama anak lemah kayak lo. Inget posisi lo, lo itu cuma numpang di sini!" desis Fahmi tepat di telingaku sebelum dia melenggang pergi.
Aku terdiam. Bahuku terasa sedikit linu, tapi yang lebih sakit adalah kata-katanya. Anak lemah. Kata itu seolah memicu ingatan tentang ruangan gelap di SDN 11 dan rasa sakit di pipiku.
Batin di kepalaku mulai bergejolak. Apa benar aku lemah? Apa aku hanya beruntung karena mereka kasihan padaku? Aku menatap punggung Fahmi yang kini sedang tertawa bersama Arlon. Aku mengepalkan tangan di bawah meja. Tidak. Aku bukan lagi Arya yang dulu. Aku punya Anos, aku punya Farel, dan aku punya Nayara yang percaya padaku.
Saat Ibu Zahra masuk kembali ke kelas, aku mencoba membuang semua pikiran negatif itu. Aku harus fokus. Aku harus membuktikan bahwa aku layak berada di sini, bukan sebagai pecundang, tapi sebagai Arya yang baru.
"Anak-anak, silakan buka kembali bukunya. Kita lanjut ke soal perbandingan bertingkat," suara Ibu Zahra mengalihkan duniaku.
Aku mulai menulis. Sesekali aku melirik ke samping belakang, ke arah Nayara yang sedang fokus menatap papan tulis. Di dalam hati, aku membuat janji. Bukan cuma Booyah di dalam game yang akan aku berikan padanya, tapi aku juga akan membuktikan bahwa aku bisa "Booyah" di kehidupan nyata dengan menjadi orang yang sukses, yang tidak bisa lagi direndahkan oleh siapa pun—termasuk Fahmi.
"Fokus, Arya," bisikku pada diri sendiri sambil mulai menghitung angka-angka di buku.
Sore itu, mendung mulai menggelayut di langit SDN 12, tapi di dalam dadaku, ada api semangat yang mulai menyala terang. Perjalanan ini masih panjang, tapi selama skuad ini bersamaku, aku yakin aku bisa melewati babak mana pun dalam hidupku.
