LightReader

Chapter 18 - Bab 18

BAB 18: Nyanyian Pengantar Malu dan Guild yang Membara

"Arya main epep... mabar sama Nayara... Kaptennya salting... Bidadari tertawa! La la la la la!"

Nyanyian itu bergema di sepanjang koridor kelas 5, dipimpin oleh Anos yang menggunakan botol minum kosong sebagai mikrofon gadungan. Farel mengikuti di belakangnya sambil memukul-mukul meja seperti pemain perkusi, sementara Rara dan Dela tertawa terpingkal-pingkal sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.

Wajahku sudah tidak karuan lagi warnanya. Mungkin sudah melampaui warna merah tomat, mungkin sudah hampir ungu karena menahan malu yang luar biasa. Aku mencoba menenggelamkan wajahku ke dalam buku paket Bahasa Inggris, tapi lirik "Bidadari tertawa" itu benar-benar menusuk sampai ke relung batin.

"Woi! Berhenti nggak! Malu didenger kelas lain!" seruku dengan suara yang teredam buku.

"Lho, kenapa harus malu, Kapten? Kan itu fakta yang estetik!" goda Anos sambil melompat ke atas kursinya. "Gila, satu sekolah sekarang tau kalau Kapten SQUAD 12 itu punya kelemahan fatal, yaitu tatapan Nayara Amora!"

"Iya, Ry! Tadi pas kamu bilang 'playing game with you' di depan guru, itu bener-bener momen paling legendaris di SDN 12 tahun ini," tambah Dela sambil menyeka air mata karena terlalu banyak tertawa. "Nayara aja sampai nggak berani liat papan tulis tadi, saking saltingnya juga dia!"

Aku melirik ke arah Nayara. Dia sedang sibuk merapikan alat tulisnya, tapi pundaknya berguncang—dia juga sedang tertawa pelan. Begitu dia menyadari aku meliriknya, dia mengangkat wajahnya. Pipinya masih merona merah sisa kejadian tadi.

"Udahlah, Nos. Kasihan Arya, nanti kalau dia beneran ngambek, siapa yang mau gendong kita ke Grandmaster?" ucap Nayara mencoba menengahi, meski nada bicaranya masih penuh dengan sisa tawa.

"Tuh, dengerin! Nanti gue kick kalian dari Guild baru tau rasa!" ancamku, meski aku tahu aku tidak akan pernah sanggup melakukan itu.

"Wih, ancaman Kapten ngeri ya, Guys! Takut bangeeet!" ejek Farel sambil pura-pura gemetar. "Eh, tapi ngomong-ngomong soal Guild, member kita udah tembus 20 orang nih. Barusan dua anak kelas 6, si Andre sama kawan-kawannya, minta masuk juga. Katanya mereka mau liat 'keajaiban' tangan Arya."

Aku mendongak, rasa tertarik mulai mengalahkan rasa maluku. "Anak kelas 6 mau gabung juga? Serius lo, Rel?"

"Serius! SQUAD 12 sekarang jadi topik paling panas di kantin. Bahkan tadi gue denger, anak-anak dari SDN 5—sekolah yang dulu lo pengen itu—tantangin kita buat war Guild akhir minggu ini," lapor Farel dengan wajah yang kini lebih serius.

Mendengar nama SDN 5 disebut, batin di kepalaku langsung siaga. SDN 5 adalah sekolah yang dulu kata Bapak banyak anak nakalnya. Tantangan ini bukan cuma soal game, tapi soal harga diri SDN 12 sebagai tempat baruku bernaung.

"Terima tantangannya," kataku tegas.

"WIDIH! Ini baru Kapten gue!" seru Anos sambil menepuk bahuku keras. "Tuh, Nay, liat. Kalau udah soal harga diri, Arya langsung berubah jadi mode serius. Nggak ada lagi tuh salting-saltingan!"

Nayara menatapku dengan binar mata yang bangga. "Aku ikut ya, Ry. Walau aku belum sejago kalian, aku mau dukung kalian dari belakang."

"Pasti, Nay. Kamu itu jimat keberuntungan kita," sahutku, yang langsung disambut sorakan "Eaaa!" lagi dari Anos dkk.

Saat jam istirahat kedua, kami berkumpul di bawah pohon kersen, tempat favorit baru kami. HP kami semua menyala, grup WhatsApp SQUAD 12 benar-benar meledak dengan pesan-pesan dari anggota baru.

"Oke, kita bagi tugas," aku mulai memimpin diskusi. "Anos, lo urus pendaftaran anggota baru di Guild. Pastikan mereka sopan, nggak boleh ada yang toxic atau suka nge-bully. Kita mau bangun Guild yang asyik, bukan Guild preman."

"Siap, Kapten! Gue bakal seleksi ketat. Yang suka maki-maki bakal gue kick sebelum mereka sempet bilang 'First Blood'!" jawab Anos mantap.

"Farel, lo pantau jadwal mabar. Rara sama Dela, kalian bantu promosiin Guild kita di status WA biar makin banyak yang tau. Dan Nayara..." aku menatapnya sebentar, lalu buru-buru membuang muka. "...kamu bantu aku urus administrasi atau kalau ada yang nanya-nanya di grup, soalnya ketikan kamu paling rapi dan sopan."

"Siap, Arya. Serahkan padaku," jawab Nayara dengan senyum tipis yang membuat jantungku kembali berdisko.

Tiba-tiba, dari kejauhan, Fahmi berjalan mendekat bersama Arlon dan Elion. Wajahnya terlihat sangat masam melihat kerumunan kami yang begitu solid. Dia berdiri sekitar dua meter dari kami, melipat tangan di dada.

"Bangga bener ya jadi artis epep dadakan," cibir Fahmi. "Ry, lo jangan sok jago. Anak SDN 5 itu ngeri-ngeri mainnya. Sekali lo kalah, jatuh tuh reputasi lo yang baru lo bangun."

Anos langsung berdiri, menatap Fahmi dengan berani. "Daripada lo, Fah. Cuma bisa komentar dari pinggir lapangan. Kalau lo berani, kenapa lo nggak gabung aja? Oh iya, gue lupa, lo kan nggak lolos seleksi tadi pagi gara-gara ratio mati lo lebih banyak daripada kill-nya!"

Teman-teman yang lain tertawa. Fahmi mendengus kesal. "Gue nggak butuh Guild bocah kayak kalian! Liat aja nanti, siapa yang bakal nangis pas kalah!"

Fahmi pergi dengan langkah dihentak-hentakkan. Aku hanya menatap punggungnya dengan tenang. Batin di kepalaku berbisik: Dulu, gertakan Fahmi bisa bikin aku gemetar seharian. Sekarang? Dia cuma gangguan kecil di tengah perjalanan besarku bersama teman-teman ini.

"Jangan dipikirin, Ry," ucap Nayara sambil menyentuh lengan seragam olahragaku pelan. "Kami semua ada di belakang kamu."

Aku mengangguk. "Aku nggak takut, Nay. Selama ada kalian, aku ngerasa bisa ngelakuin apa aja."

Sore harinya di rumah, suasana kembali ramai. Dika dan Lulu sudah menunggu di depan pintu dengan mata berbinar-binar.

"Abang! Abang! Tadi Dika dapet kabar dari temen kelas 2, katanya Abang mau perang ya di game?" tanya Dika antusias.

"Bukan perang, Dik. Cuma tanding antar sekolah," jawabku sambil mengelus kepalanya.

"Lulu mau nonton! Lulu mau liat Abang kalahin olang jahat!" seru Lulu sambil membawa boneka beruangnya.

Ibu yang sedang menyetrika pakaian di ruang tengah ikut menimpali. "Arya, Bapak tadi bilang, katanya denger dari tetangga kalau kamu sekarang jadi pemimpin kelompok di sekolah ya? Bapak bangga lho, ternyata anak Bapak yang tadinya pendiam sekarang bisa jadi pemimpin."

"Hanya di game kok, Bu," jawabku rendah hati.

"Tapi dari game itu kamu belajar tanggung jawab, Nak," sahut Bapak yang tiba-tiba muncul dari balik koridor. "Asal ingat, jangan sombong. Pemimpin yang baik itu yang bisa dengerin anggotanya."

Aku mengangguk mantap. Malam itu, aku kembali membuka HP. Di grup SQUAD 12, nyanyian Anos tadi siang ternyata ada yang merekam diam-diam dan dijadikan backsound video kompilasi foto-fotoku yang sedang fokus belajar.

Liriknya masih sama: "Arya main epep, mabar sama Nayara, Kaptennya salting, Bidadari tertawa..."

Aku tertawa sendiri di kamar. Jika dulu ejekan adalah luka bagiku, sekarang ejekan dari teman-teman ini adalah tanda bahwa aku disayangi. Aku mengetik sebuah pesan di grup.

Arya Rezky P: "Besok kita latihan jam 4 sore. Semua member wajib hadir. SQUAD 12, tunjukkan kalau kita bukan cuma sekadar nama!"

Seketika, 15 orang lainnya membalas dengan stiker api dan jempol. Di pojok layar, aku melihat sebuah notifikasi pesan pribadi dari Nayara.

Nayara Amora: "Selamat istirahat, Kapten Bidadari. Jangan lupa mimpiin strategi buat besok ya [Emoji Hati Biru]"

Aku mematikan lampu kamar dengan perasaan yang sangat penuh. Luka tamparan Pak Arnos di SDN 11 mungkin meninggalkan bekas, tapi bekas itu kini tertutup oleh tinta emas persahabatan dan cinta monyet yang manis di SDN 12.

More Chapters