BAB 19: Senam, Ujian, dan Jaga Mata Kapten!
Jumat pagi di SDN 12 selalu dimulai dengan dentuman musik yang enerjik dari pelantang suara sekolah. Hari ini adalah jadwal senam pagi rutin. Semua murid, dari kelas 1 sampai kelas 6, sudah berbaris rapi di lapangan semen yang luas. Udara pagi masih terasa sejuk, tapi suasana di barisan kelas 5 sudah mulai memanas karena ejekan Anos yang tidak ada habisnya.
"Ry, liat tuh di depan! Barisan instruktur senam hari ini 'spesial' banget!" bisik Anos sambil menyenggol lenganku berkali-kali.
Aku mendongak dan seketika jantungku serasa berhenti berdetak. Di atas panggung kecil, Nayara berdiri sebagai pemimpin senam bersama Rara, Dela, dan beberapa siswi kelas 6 yang paling populer. Nayara terlihat sangat lincah dengan seragam olahraga yang pas di tubuhnya. Rambutnya yang diikat rapi bergerak mengikuti irama musik Senam Anak Indonesia.
Musik mulai menghentak. "Anak Indonesia... sehat dan kuat!"
Gerakan senam yang mengharuskan mereka membungkuk, berputar, dan sesekali melakukan gerakan yang cukup atletis membuat pandanganku sulit untuk beralih. Sebagai laki-laki normal yang sedang puber, aku tidak bisa berbohong kalau pemandangan di depanku—terutama saat Nayara dan kakak kelas 6 itu melakukan gerakan membelakangi barisan—terlihat sangat... menggoda. Gerakan pinggul dan lekuk tubuh mereka saat melakukan senam inti benar-benar membuat tenggorokanku kering.
Tanpa sadar, mulutku sedikit terbuka dan aku menelan ludah berkali-kali. Aku benar-benar terpaku, sampai-sampai aku lupa melakukan gerakan senam tanganku sendiri.
"Woi, Kapten! Jaga mata, jaga mata! Air liur lo mau netes tuh!" celetuk Anos tepat di telingaku, disusul tawa cekikikan dari Farel di sebelah kiri.
"Eh... apa sih, Nos! Gue cuma... cuma merhatiin gerakannya biar nggak salah!" belaku dengan wajah yang langsung memanas.
"Halah, alasan! Gerakan senam apa gerakan yang lain, Ry? Inget, Pak Xiao baru kemarin jelasin soal menahan pandangan lho!" goda Farel sambil mempraktekkan gerakan senam dengan asal-asalan karena terlalu asyik meledekku.
"Diem lo berdua! Gue laporin Nayara tau rasa!" ancamku, tapi batin di kepalaku tertawa nakal. Duh Arya, emang beneran cantik banget sih dia hari ini.
Setelah senam selesai dengan sisa-sisa rasa salting yang masih membekas, suasana ceria itu langsung sirna begitu kami masuk ke kelas. Ibu Zahra sudah berdiri di depan kelas dengan tumpukan kertas fotokopi di tangannya.
"Anak-anak, karena sebentar lagi kita akan memasuki Penilaian Akhir Semester (PAS) 1, hari ini kita akan mengadakan Ujian Harian mendadak untuk melihat sejauh mana persiapan kalian," ucap Ibu Zahra dengan suara lembut namun tegas.
Satu kelas langsung mengeluh. "Yah, Buuu! Baru juga senam udah ujian!" protes Anos yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Ibu Zahra.
"Tidak ada alasan. Ini untuk kebaikan kalian. Silakan simpan buku kalian ke dalam tas."
Aku menarik napas panjang. Aku melirik Nayara yang baru saja kembali dari panggung senam. Dia terlihat sedikit berkeringat, tapi tetap tampak sangat siap menghadapi ujian. Sebagai "Miss Perfect", dia langsung mengeluarkan alat tulisnya dengan tenang.
Ujian berlangsung selama 90 menit. Ruangan kelas 5 mendadak sunyi, hanya terdengar suara gesekan pulpen dan helaan napas berat dari arah belakang—pasti Fahmi dkk sedang pusing tujuh keliling. Aku sendiri mencoba fokus, mengingat semua penjelasan Ibu Zahra tentang rasio dan bahasa Indonesia.
Begitu bel berbunyi dan kertas dikumpulkan, semua orang seolah baru saja lepas dari penjara.
"Gila! Nomor 15 susah banget! Rasio kelereng siapa sih itu, ribet bener!" keluh Farel sambil menjatuhkan kepalanya ke meja.
"Makanya belajar, jangan cuma mikirin looting di Clock Tower!" sahut Rara yang menghampiri meja kami bersama Nayara dan Dela.
Nayara menatapku, "Arya, kamu bisa kan tadi? Aku liat kamu ngerjainnya lancar banget."
"Bisa, Nay. Berkat kamu juga yang kemarin sempat kasih tips pas kita belajar bareng," jawabku, mencoba tetap terlihat keren meski jantungku masih berdebar sisa "pemandangan" senam tadi pagi.
"Cie... yang saling memuji. Udah, yuk! Jangan bahas ujian mulu, mending kita bahas latihan sore ini!" potong Anos penuh semangat.
Sore harinya, tepat jam 4, grup WhatsApp SQUAD 12 yang beranggotakan 20 orang itu benar-benar "on fire". Aku sebagai Kapten langsung membuat Custom Room.
"Oke, dengerin semua! Sore ini kita latihan internal. Tim A dipimpin gue, isinya Nayara, Anos, sama Farel. Tim B dipimpin oleh Bang Andre kelas 6, isinya Rara, Dela, dan satu anak kelas 4," instruksiku lewat Voice Chat.
"Siap Kapten! Jangan kasih kendor!" balas Bang Andre dengan suara beratnya.
Pertandingan Custom Room dimulai. Ini adalah pertama kalinya skuad inti kami bermain serius melawan anggota Guild lainnya. Aku sengaja mengambil posisi di Hangar.
"Nay, kamu jaga belakang ya. Pakai Marksman Rifle aja, cicil darah mereka dari jauh," perintahku.
"Oke, Arya. Aku udah dapet AC80 nih," jawab Nayara fokus.
Pertempuran pecah. Bang Andre dan timnya ternyata punya strategi yang cukup solid. Mereka menjepit kami dari dua arah. Farel sempat ter-knockout karena terlalu maju.
"Anos! Pasang wall depan Farel! Gue bakal flanking dari kiri!" teriakku.
Aku bergerak secepat kilat. Dengan keahlianku yang sudah dikenal di kampung sebelah, aku melakukan rush tanpa ragu. Duar! Duar! Dua orang dari tim Bang Andre tumbang. Saat musuh terakhir mencoba menembakku, tiba-tiba...
Tuk! Nayara berhasil melakukan last hit dari kejauhan.
"BOOYAH!"
"WUIHHH! Kerjasama yang epik antara Kapten dan Bidadari!" teriak Anos girang.
"Gila, Arya! Gerakan lo emang nggak kebaca," puji Bang Andre setelah match selesai. "Pantesan anak-anak kelas bawah pada ngefans sama lo."
"Makasih Bang, tapi ini kerja tim kok. Nayara tadi hebat banget support-nya," kataku tulus.
"Ehem... mulai deh mujinya," goda Rara di grup chat.
Malam itu, setelah latihan selesai, aku duduk di teras rumah. Aku teringat kembali momen senam pagi tadi, momen ujian yang menegangkan, dan kemenangan di Custom Room. Hidupku benar-benar berubah 180 derajat. Dulu di SDN 11, aku hanyalah korban tamparan yang kehilangan harga diri. Sekarang, aku adalah pemimpin sebuah komunitas yang solid.
Tiba-tiba, Lulu dan Dika lari keluar rumah. "Abang! Abang menang lagi ya? Dika liat tadi di HP Abang tulisannya kuning-kuning!" seru Dika.
"Iya, Dik. Abang menang bareng Kak Nayara," jawabku sambil tersenyum.
Lulu duduk di pangkuanku. "Abang... besok bawak Kakak Cantik ke lumah ya? Lulu mau kasih pelmen."
Aku tertawa, memeluk adik kecilku itu. "Nanti ya, Lu. Kalau Abang udah bener-bener jadi juara."
Aku menatap langit malam. Besok hari Sabtu, tantangan dari SDN 5 sudah menanti. Tapi aku tidak takut. Karena aku tahu, di belakangku ada 20 anggota Guild yang setia, dan di sampingku ada seorang gadis yang gerakannya di panggung senam tadi pagi... ah, sudahlah, aku harus istighfar lagi.
