LightReader

Chapter 8 - Bab 8

BAB 8: Antara Riuh Sorakan dan Pelindung di Jalan Pulang

Suasana kelas 5 SDN 12 mendadak menjadi sangat panas saat jam pelajaran terakhir dimulai. Ibu Zahra sudah duduk rapi di mejanya, memegang bolpoin siap memberikan nilai untuk presentasi proyek kelompok. Kami, kelompok satu, diminta untuk maju pertama kali. Aku berjalan dengan langkah kaku menuju depan kelas, membawa lembar karton yang sudah kami hias sedemikian rupa.

Karena aku duduk di barisan depan, jarak ke area presentasi hanya beberapa langkah, tapi rasanya seperti berjalan ribuan kilometer. Aku berdiri tepat di tengah, diapit oleh Anos dan Farel. Sementara itu, Nayara berdiri tepat di sampingku. Karena tubuh Nayara sedikit lebih pendek dariku, kepalanya hanya sebatas bahuku. Aku bisa merasakan kehadirannya yang begitu dekat, aromanya yang lembut kembali menyapa indra penciumanku, membuat konsentrasiku buyar seketika.

Duh, jantung... tolong kerjasama dikit, jangan meledak di sini, batinku berteriak dalam diam.

"Silakan dimulai, Kelompok Satu," ucap Ibu Zahra dengan senyum menyemangati.

Anos yang memang punya kepercayaan diri tinggi langsung membuka presentasi. Suaranya lantang dan jelas, sangat kontras dengan aku yang sedari tadi hanya menunduk menatap lantai semen. Setelah Anos menjelaskan bagian awal, giliran Nayara yang membacakan bagian isi materi.

"Materi selanjutnya tentang ekosistem akan saya jelaskan," ucap Nayara. Suaranya yang lembut tapi tegas terdengar sangat merdu di telingaku.

Saat Nayara sedang asyik menjelaskan, tiba-tiba Rara dan Dela yang duduk di barisan tengah mulai saling berbisik sambil menutup mulut dengan tangan. Mereka berdua adalah sahabat dekat Nayara, dan entah kenapa, mereka terus-menerus menatap ke arahku dan Nayara yang berdiri berdampingan.

"Cie... liat tuh, serasi banget ya yang di depan," bisik Rara, tapi suaranya sengaja dikencangkan supaya terdengar sekelas.

"Iya nih, yang tinggi sama yang mungil. Kayak di sampul novel yang lagi viral!" timpal Dela sambil tertawa kecil.

Seketika, kelas yang tadinya fokus pada materi mendadak riuh dengan sorakan "Cieeee!" yang panjang. Aku merasa seluruh darah di tubuhku naik ke wajah. Panas sekali. Aku benar-benar tidak tahu harus melihat ke mana. Aku melirik ke samping, dan kulihat pipi Nayara juga sudah memerah padam, meski dia berusaha tetap profesional melanjutkan bacaannya.

"Ehem! Fokus ke materi, Anak-anak," tegur Ibu Zahra, meski di sudut bibirnya aku melihat beliau juga sedang menahan senyum.

Fahmi yang duduk di belakang tampak tidak senang sama sekali. Dia memukul mejanya dengan keras. "Woi! Apaan sih, nggak jelas banget! Cepetan selesaiin prestasinya, bosen gue!" teriaknya dengan nada penuh kebencian.

Untungnya, Anos langsung mengambil alih penutupan presentasi dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Begitu Ibu Zahra mempersilakan kami duduk, aku hampir saja lari kembali ke kursiku karena terlalu malu.

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Aku segera membereskan buku-bukuku. Seperti biasa, rencanaku adalah langsung pulang lewat jalur pintas agar tidak berpapasan dengan Fahmi dkk. Aku lebih sering menghabiskan waktu di desa sebelah untuk bermain, jadi aku kurang begitu tahu tentang detail tetangga-tetangga di desaku sendiri.

Saat aku baru keluar dari gerbang sekolah, langkahku dihentikan oleh suara teriakan dari belakang.

"Arya! Tunggu!"

Aku menoleh. Ternyata Anos dan Nayara. Mereka berlari kecil mengejarku. "Lo mau pulang lewat mana, Ry?" tanya Anos sambil merangkul bahuku dengan akrab.

"Lewat jalan setapak di belakang pasar, biasanya sepi," jawabku pelan.

"Lah, ngapain lewat sana? Kejauhan! Yuk bareng kita aja, kita kan searah," ajak Anos.

Aku terdiam. "Searah? Emang rumah kamu di mana, Nos?"

Anos tertawa terbahak-bahak sampai memegang perutnya. "Ya ampun, Ry! Lo udah tinggal di sini berapa lama sih? Rumah gue itu di sebelah rumah si Fahmi! Dan rumah Fahmi itu tepat di depan rumah lo, cuma beda gang dikit!"

Mataku membelalak. "Hah? Masa sih?"

"Iya, Arya. Gue juga searah kok, rumah gue cuma lewat dua blok dari rumah Anos," tambah Nayara sambil tersenyum manis.

Aku benar-benar merasa bodoh. Selama ini aku terlalu menutup diri dan lebih suka 'ngungsi' ke desa sebelah sampai tidak tahu kalau teman-teman baruku—dan musuhku—ternyata adalah tetanggaku sendiri. Akhirnya kami berjalan bertiga menyusuri jalan desa yang rindang.

Namun, ketenangan itu terusik saat kami sampai di belokan gang dekat rumahku. Fahmi, Arlon, dan Elion sudah berdiri di sana, seolah-olah memang sedang menunggu kepulanganku. Fahmi berdiri di tengah jalan dengan tangan bersedekap di dada.

"Berhenti!" bentak Fahmi. Matanya menatap tajam ke arahku, lalu beralih ke Anos yang masih merangkul bahuku. "Anos, ngapain lo bareng si pecundang ini? Sini lo, gabung sama kita."

Anos tidak melepaskan rangkulannya, malah dia mempereratnya. "Enggak, Fah. Gue mau nganter Arya pulang. Lo ada masalah apa sih sama dia?"

"Dia itu anak pindahan nggak jelas, Nos! Dia cuma bawa sial di sekolah lama, makanya ditampar gurunya. Lo mau ketularan sialnya?" ejek Fahmi sambil meludah ke tanah.

Mendengar kata 'ditampar', tubuhku mendadak gemetar hebat. Trauma itu kembali memukul mentalku. Aku menunduk, tidak sanggup membalas. Tapi tiba-tiba, Nayara melangkah maju ke depan, berdiri tepat di hadapan Fahmi.

"Jaga mulut kamu, Fahmi!" suara Nayara menggelegar, sangat berani untuk ukuran gadis sekecil dia. "Apa hak kamu ngehina Arya terus? Dia nggak pernah ganggu kamu! Kamu itu cuma iri karena Arya lebih pinter nyatet dan disukai guru, kan?"

"Wah, Nayara belain pangerannya nih," celetuk Arlon yang langsung dibungkam oleh tatapan tajam Anos.

"Fah, denger ya," Anos bicara dengan nada serius, tidak ada lagi candaan di wajahnya. "Kita ini tetanggaan. Rumah gue di samping rumah lo. Kalau lo macem-macem sama Arya, lo berurusan sama gue juga. Arya itu temen gue, dan mulai sekarang, siapa yang ganggu dia, berurusan sama gue dan Nayara."

Fahmi tampak sedikit terkejut. Dia mungkin tidak menyangka Anos yang biasanya netral akan membela aku secara total. Fahmi menatapku dengan penuh amarah, lalu menunjuk wajahku. "Urusan kita belum selesai, Arya! Inget ya, rumah gue di depan rumah lo. Gue bisa awasin lo kapan aja!"

Setelah Fahmi dan gengnya pergi dengan gerutuan, suasana kembali tenang. Aku masih terpaku, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Aku dibela oleh dua orang yang baru saja kukenal beberapa minggu.

"Makasih ya, Nos... Nay..." ucapku dengan suara yang hampir habis karena emosi.

"Santai aja, Ry. Kita kan temen," Anos menepuk dadaku. "Lain kali kalau dia ganggu lagi, langsung teriak aja. Gue pasti denger dari sebelah."

Nayara menatapku dengan lembut. "Jangan takut lagi ya, Arya. Kamu nggak sendirian di sini."

Mereka mengantarku sampai depan pagar rumah. Aku melihat ke arah depan, benar saja, rumah besar bercat hijau itu adalah rumah Fahmi. Bagaimana bisa aku tidak tahu selama ini? Tapi sore itu, meskipun ada rumah musuh di depanku, hatiku terasa jauh lebih ringan.

Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang campur aduk. Salting karena dibela Nayara, terharu karena Anos ternyata tetangga yang baik, dan sedikit cemas dengan ancaman Fahmi. Tapi satu hal yang pasti, batin di kepalaku tidak lagi hanya berisi ketakutan. Ada satu kalimat yang terus bergema di sana: Gue nggak sendirian lagi.

Malam itu, saat aku melihat keluar jendela kamar, aku bisa melihat lampu rumah Anos yang menyala di sebelah rumah Fahmi. Aku tersenyum tipis. Mungkin pindah ke SDN 12 adalah keputusan terbaik yang pernah diambil Bapak dan Ibu. Di sini, di antara tetangga dan teman baru, aku mulai menemukan kembali suaraku yang sempat hilang tertelan tamparan masa lalu.

More Chapters