LightReader

Chapter 7 - Bab 7

BAB 7: Gemuruh di Dalam Dada

Kerja kelompok hari ini belum benar-benar usai. Ibu Zahra baru saja mengumumkan bahwa tugas proyek ini harus dilanjutkan sampai jam pelajaran terakhir karena ada bagian presentasi yang harus disiapkan. Kelas yang hanya berisi sepuluh orang itu pun kembali riuh. Meja-meja di barisan depan—posisi "kekuasaanku"—kini sudah digeser sedemikian rupa hingga membentuk lingkaran kecil.

Aku duduk sangat dekat dengan Nayara. Begitu dekat, sampai aku bisa melihat pantulan cahaya di bola matanya yang jernih. Nayara sedang sibuk merapikan lembar tugas kelompok kami. Jari-jarinya yang lentik bergerak lincah di atas kertas, sementara helai rambutnya sesekali jatuh menutupi wajahnya yang serius.

Arghhh! Cantik banget, ya Allah... Batin di dalam kepalaku berteriak histeris. Suara itu begitu kencang sampai aku takut Anos atau Farel bisa mendengarnya. Aku mencoba membuang muka, menatap ke arah mana saja asal bukan ke arah Nayara, tapi mataku seolah punya magnet sendiri. Setiap kali dia tersenyum atau sekadar mengerutkan dahi karena bingung membaca soal, jantungku rasanya mau melompat keluar dari dada. Ini adalah perasaan yang sangat asing. Perasaan yang sanggup membuat trauma tamparan Pak Arnos sejenak terlupakan, tergantikan oleh gemuruh yang jauh lebih menyenangkan sekaligus menyiksa.

"Arya, coba liat bagian ini. Menurut lo, gambar ilustrasinya mending ditaruh di pojok atas atau di tengah?" Nayara bertanya sambil menoleh ke arahku.

Wajahnya tiba-tiba berada hanya beberapa belas senti dari wajahku. Aku bisa mencium aroma sabun atau mungkin sampo yang sangat segar dari tubuhnya. Lidahku mendadak kelu, seolah membeku menjadi es batu.

"Eh... i-itu... di tengah kayaknya bagus, Nay," jawabku terbata-bata. Aku merasa wajahku mulai memanas. Aku yakin saat ini pipiku sudah semerah kepiting rebus. Aku segera menunduk pura-pura sibuk merapikan kotak pensil.

"Tuh kan, bener kata Arya. Di tengah lebih keliatan proporsional," sahut Farel yang duduk di sampingku. Farel memang orangnya asyik, dia tidak sadar kalau temannya ini sedang berjuang menahan ledakan perasaan di dalam dada.

Anos yang duduk di seberang kami malah mulai usil. Dia menyenggol lengan Nayara sambil menyeringai. "Cie, Nayara. Kok sekarang apa-apa nanyanya ke Arya terus? Gue sama Farel nggak dianggap nih?"

"Apaan sih lo, Nos! Kan Arya yang tulisannya paling rapi, ya wajarlah gue tanya dia," balas Nayara dengan nada bicara yang masih tenang, meski aku melihat ada sedikit semburat merah di pipinya.

Melihat Nayara yang sedikit tersipu, batin di kepalaku kembali bergejolak. Gila, gila, gila! Dia cantik banget kalau lagi malu gitu! Arya, lo harus tenang! Jangan sampai lo pingsan di sini! Aku berusaha menarik napas dalam-dalam, mencoba bersikap sekeren mungkin di depan Nayara, meski tanganku yang memegang penggaris sedikit gemetar.

Di tengah suasana kelompok kami yang mulai akrab, suasana di belakang justru semakin panas. Fahmi sedari tadi tidak berhenti mengawasi kami. Dia berkali-kali memukul-mukul mejanya dengan penggaris besi, menciptakan suara gaduh yang sangat mengganggu konsentrasi.

"Woi, boti! Jangan kecentilan lo! Baru pindah udah berani duduk deket-deket Nayara!" teriak Fahmi dari arah kelompoknya. Arlon dan Elion tertawa terbahak-bahak, seolah kata-kata Fahmi adalah lelucon paling lucu sedunia.

Aku menciut lagi. Rasa senang yang baru saja kurasakan seketika menguap, digantikan oleh rasa takut yang familiar. Aku kembali menundukkan kepala, mencoba fokus pada kertas di depanku. Aku tidak ingin mencari masalah dengan Fahmi. Aku tahu betapa berbahayanya dia jika sudah marah.

"Fahmi, berisik banget sih lo! Kalau nggak mau ngerjain tugas, mending keluar aja sana!" Nayara kembali berdiri membela. Aku terkejut melihat keberaniannya. Dia adalah satu-satunya anak perempuan yang berani menantang Fahmi secara terang-terangan.

"Yah, si Tuan Putri marah," ejek Arlon sambil bersiul.

"Udah, biarin aja mereka, Nay. Nggak usah diladenin," Anos mencoba menenangkan suasana. "Ry, lanjutin lagi nyatetnya. Jangan dipikirin omongan si Fahmi itu."

Aku mengangguk pelan, mencoba menggerakkan pulpenku kembali. Namun, batin di kepalaku masih berputar-putar. Kenapa Nayara seberani itu belain gue? Apa dia juga punya perasaan yang sama? Atau dia cuma kasihan sama gue? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat konsentrasiku buyar total.

Tiba-tiba, Ibu Zahra berjalan mendekati meja kami. Beliau mengamati hasil kerja kelompok kami dengan seksama. "Wah, bagus sekali hasilnya. Arya, tulisanmu benar-benar membuat presentasi ini jadi lebih rapi. Nayara, Farel, dan Anos juga kerja samanya hebat."

"Makasih, Bu Zahra," jawab kami serentak.

"Nah, sekarang waktunya istirahat kedua. Setelah ini kita akan langsung presentasi. Silakan kalian istirahat dulu," ucap Ibu Zahra sebelum beliau berjalan kembali ke mejanya.

Kelompok kami pun mulai bubar. Anos dan Farel langsung melesat menuju kantin karena mereka bilang sudah sangat lapar. Kini, di meja depan itu, hanya tersisa aku dan Nayara. Suasana mendadak menjadi sangat canggung bagiku.

"Arya, lo nggak ke kantin?" tanya Nayara sambil merapikan tasnya.

"Nggak, Nay. Aku bawa bekal dari rumah," jawabku pelan.

"Oh, gitu ya. Bagus deh, lebih sehat," Nayara tersenyum padaku. Dia berdiri, bersiap untuk keluar bersama Rara dan Dela yang sudah menunggunya di depan pintu. "Makasih ya buat bantuannya tadi. Gue seneng sekelompok sama lo."

Setelah Nayara pergi, aku menyandarkan punggungku ke kursi. Aku mengembuskan napas panjang yang sedari tadi kutahan. Jantungku masih berdegup kencang. Gue seneng sekelompok sama lo. Kalimat itu terus berputar-putar di kepalaku seperti lagu yang sangat indah. Aku tersenyum sendiri menatap meja kosong di depanku.

Namun, senyumku langsung luntur saat aku menyadari Fahmi masih ada di dalam kelas. Dia tidak pergi ke kantin. Dia berdiri di depan pintunya, menatapku dengan tatapan yang sangat benci.

"Jangan seneng dulu, Arya," desis Fahmi sambil berjalan mendekat ke mejaku. Arlon dan Elion menyusul di belakangnya, membentuk formasi yang mengintimidasi. "Gue tahu lo naksir Nayara. Tapi inget ya, lo itu nggak ada apa-apanya dibanding gue. Lo cuma anak buangan dari SDN 11 yang cengeng. Kalau gue mau, gue bisa bikin lo pindah sekolah lagi dari sini."

Fahmi menendang kursi Nayara yang kosong di depanku hingga terpelanting. Suara benturan kursi itu menggema di dalam kelas yang sepi. Aku hanya bisa diam, mencengkeram pinggiran meja dengan kuat. Rasa takut itu kembali lagi, mengingatkanku bahwa di sekolah ini, selain ada keindahan seperti Nayara, ada juga kegelapan seperti Fahmi.

Batin di kepalaku kembali berbisik, kali ini suaranya penuh kekhawatiran. Arya, lo harus hati-hati. Fahmi nggak main-main. Tapi lo nggak boleh nyerah. Lo udah sampai di sini. Lo udah punya temen kayak Anos dan Farel. Dan yang paling penting... Nayara ada di samping lo.

Aku menatap kursi Nayara yang kini tergeletak miring. Aku berdiri, lalu dengan gemetar, aku merapikan kursi itu kembali ke posisi semula. Aku tidak akan membiarkan Fahmi menghancurkan segalanya. Di SDN 12 ini, aku ingin mulai belajar untuk tidak lagi menjadi pengecut yang bersembunyi di kursi belakang. Aku ingin menjadi Arya yang berani berdiri di barisan depan, demi masa depanku, dan mungkin... demi Nayara Amora.

Bab Selanjutnya (Bab 8): Ketegangan saat presentasi kelompok dan tantangan baru dari Fahmi saat jam pulang sekolah. Apakah Arya berani melawan?

More Chapters