LightReader

Chapter 8 - BAB 7: KEDALAMAN SAFIR

Tujuh tahun telah berlalu sejak seorang anak liar yang hanya tahu cara menggeram dan merangkak diserahkan oleh sang penguasa hutan kepada seorang ksatria pemabuk di sebuah gubuk reyot. Kini, Silvaris Aeterna tidak lagi melihat seorang bocah hutan, melainkan seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang kehadirannya di tengah pepohonan purba itu terasa lebih sunyi daripada bayangan itu sendiri.

Rian berdiri mematung di atas permukaan air sebuah danau tersembunyi yang tertutup oleh rimbunnya dedaunan hitam. Ia tidak lagi mengenakan kulit binatang kasar. Tubuhnya dibalut oleh pakaian ksatria sederhana namun fungsional—celana hitam ketat yang memudahkan pergerakan dan rompi kulit pelindung yang memperlihatkan otot lengan yang ramping namun padat seperti jalinan kawat baja. Rambut hitamnya yang panjang kini diikat rapi dengan gaya ksatria, memberikan kesan dingin dan disiplin.

Di tangan kanannya, ia menggenggam pedang kayu hitam pemberian Soran tujuh tahun lalu. Pedang itu kini tampak berbeda; permukaannya tidak lagi kasar, melainkan licin dan gelap, berkilau karena selama bertahun-tahun telah terus-menerus dialiri oleh mana murni milik Rian.

"Fokus, Rian. Jangan biarkan riak air itu memberitahu keberadaanmu pada dunia," suara Soran terdengar malas dari arah tepian danau.

Pria itu, Soran, masih tampak sama—seolah waktu enggan menyentuh ksatria dengan sebelas bintang itu. Ia duduk bersandar pada sebuah akar raksasa, memutar-mutar botol araknya dengan gerakan konyol. Namun, mata tajamnya tidak pernah lepas dari kaki Rian yang berpijak di atas permukaan air.

Rian menarik napas dalam menggunakan teknik Great Breath of Aethel. Di dalam Dantiannya, tiga buah kristal berbentuk bintang enam sudut berputar dengan kecepatan yang konstan. Warnanya bukan lagi biru safir cerah seperti saat pertama kali terbentuk, melainkan biru safir gelap yang pekat—nyaris menyerupai warna langit di tengah malam yang paling sunyi. 3 Star Core.

Meskipun secara angka ia hanya memiliki tiga bintang—yang menurut standar Akademi Knight di luar sana adalah level "rata-rata" bagi pemuda seusianya—kepadatan mana yang dimiliki Rian berada di level yang sepenuhnya berbeda. Setiap tetes energinya telah ditempa melalui jalur mana yang dulu berkarat, dipaksa mengalir melalui rintangan yang menyakitkan, hingga yang tersisa hanyalah sari pati energi yang paling murni dan berat.

"Aethel’s Veil: Deep Ocean Perception... Aktif," desis Rian pelan.

Seketika, aura biru tua yang tenang menyelimuti saraf penglihatannya. Matanya yang jernih berubah menjadi warna biru samudra yang sangat dalam. Dunia di hadapannya terbedah secara otomatis. Sepuluh bagian. Rasio tujuh banding tiga. Segala sesuatu—dari tetesan air yang jatuh dari daun hingga gerakan sayap serangga di kejauhan—terpampang jelas dalam rincian struktural yang absolut.

Dengan Mastery 40%, Rian tidak lagi merasakan beban panas yang dulu membakar otaknya. Sebaliknya, ia merasa seolah-olah kepalanya tenggelam dalam air dingin yang menyegarkan. Efisiensi ini memungkinkannya mempertahankan penglihatan "Kutukan" ini selama berjam-jam. Konsumsi mana dari Star Core-nya telah berkurang hingga dua puluh persen dibandingkan saat ia pertama kali mempelajari teknik ini.

Sret—!

Tiba-tiba, dari dalam kedalaman air danau yang gelap, sesosok monster Deep-Water Serpent melesat keluar dengan kecepatan kilat. Mulutnya terbuka lebar, memperlihatkan taring-taring yang berlumuran racun hijau.

Rian tidak terkejut. Melalui cadar samudra dalamnya, ia sudah melihat getaran struktur air tiga detik sebelum monster itu menyerang. Ia tidak melakukan gerakan besar yang membuang energi. Ia hanya menggeser pijakan kaki kirinya di atas permukaan air sedemikian rupa sehingga ia meluncur ke samping secara diagonal.

Pedang kayu hitamnya terangkat. Ia tidak mengalirkan mana secara berlebihan. Ia hanya memusatkan setitik mana safir gelap pada ujung pedang kayu tersebut, tepat pada titik rasio 7:3 dari leher ular raksasa itu.

Zlap!

Tidak ada suara ledakan. Tidak ada percikan energi yang liar. Hanya sebuah garis biru tipis yang membelah udara. Leher ular raksasa itu terputus dengan sangat bersih, seolah-olah kulit kerasnya hanyalah lembaran kertas tipis yang tak berarti. Tubuh monster itu jatuh kembali ke dalam air dengan dentuman besar, sementara Rian kembali mendarat di atas permukaan air yang kini mulai tenang kembali.

Lonceng Hening yang terpasang di pakaian Rian sama sekali tidak berbunyi. Tidak ada kebocoran energi. Kesempurnaan efisiensi.

"Hoho, gerakan yang sangat sombong, Rian," Soran bertepuk tangan dengan malas. "Membunuh monster level-B hanya dengan satu jentikan pergelangan tangan. Kau benar-benar sudah menjadi monster kecil yang membosankan."

Rian berjalan di atas air menuju tepian danau, gerakannya begitu ringan hingga nyaris tidak menimbulkan riak. Ia menyarungkan pedang kayu hitamnya di pinggang. "Mastery-ku sudah mencapai empat puluh persen, Soran. Tapi... aku merasa ada tembok besar di depan bintang keempat."

Soran bangkit dari duduknya, meregangkan tubuhnya hingga terdengar suara tulang yang berderak. "Tentu saja ada tembok. Kau memulai di umur sepuluh tahun, Rian. Jalur manamu sudah mencapai batas elastisitasnya. Mencapai 3 Star Core dengan kualitas safir gelap seperti itu saja sudah merupakan keajaiban yang akan membuat para uskup di Aethelgard sujud menyembahmu. Menembus bintang keempat adalah masalah hidup dan mati bagi tubuh manusiamu."

Rian menatap telapak tangannya. "Aku merasa kekuatanku stagnan. Meskipun Mastery-ku meningkat, kapasitas manaku terasa seperti sudah penuh. Jika aku tidak bisa mencapai bintang keempat sebelum umur delapan belas... apakah aku masih bisa bersaing di Akademi nanti?"

Soran tertawa terbahak-bahak, sebuah tawa konyol yang membuat burung-burung di sekitar terbang ketakutan. "Bersaing? Rian, kau ini benar-benar tidak tahu diri ya? Dengar, orang di luar sana mungkin punya 5 atau 6 Star Core di umur delapan belas, tapi bintang mereka hanyalah 'Pasir'. Mereka besar, tapi rapuh. Sekali kau sentuh titik rasionya dengan mana safir gelapmu, mereka akan hancur seperti kaca pecah."

Soran mendekati Rian, menatap langsung ke mata biru tuanya. "Kau punya tiga bintang yang setiap satunya setara dengan tiga bintang orang biasa dalam hal kepadatan. Secara teori, kau sudah bisa membunuh Knight 5 Core biasa dalam satu serangan presisi. Tapi kau benar, kau butuh bintang keempat. Bukan untuk kekuatan serangan, tapi untuk 'Wadah'. Kau butuh wadah yang lebih besar agar kau bisa menggunakan Mastery-mu hingga seratus persen nanti."

Rian menghela napas panjang. "Bagaimana cara menembusnya?"

"Kau tidak bisa menembusnya dengan hanya berburu kelinci atau ular air," Soran melemparkan botol araknya yang kosong ke dalam tasnya. "Kau butuh gesekan mental. Kau butuh rasa takut yang nyata. Sesuatu yang membuat insting predator dan manamu bertabrakan hingga menciptakan ledakan kristalisasi baru."

Soran menunjuk ke arah utara, ke bagian Silvaris Aeterna yang paling gelap dan dihindari oleh semua makhluk hidup. "Di sana, ada sebuah puak kuno. Mereka bukan monster, tapi manusia yang sudah kehilangan kemanusiaannya. Mereka menyembah seekor ular raksasa, Jormungand Kecil, yang kekuatannya bahkan membuat naga enggan melintas. Itulah ujian terakhirmu setahun lagi."

Rian menoleh ke arah utara. Ia merasakan sebuah getaran aneh di dalam Dantiannya. Bukan ketakutan, melainkan sebuah kegembiraan yang primitif.

"Selama setahun ini, aku ingin kau meningkatkan Mastery-mu hingga delapan puluh atau bahkan sembilan puluh persen," lanjut Soran, suaranya kini kembali serius. "Jangan fokus pada jumlah mana, tapi fokus pada bagaimana kau 'mengunci' mana itu di dalam tubuhmu. Aku ingin kau bisa bertarung selama tiga hari tiga malam tanpa membuat satu lonceng pun di tubuhmu berbunyi."

Rian mengangguk. "Mengerti."

"Bagus. Sekarang, karena kau sudah membunuh ular air itu, bersihkan dagingnya dan masak untukku. Aku ingin makan malam yang mewah sebelum aku tidur siang lagi," Soran kembali ke sikap pemalasnya dan berjalan menuju gubuk mereka.

Malam harinya, di depan api unggun yang membara, Rian bermeditasi. Ia membiarkan Aethel’s Veil tetap aktif meskipun ia sedang beristirahat. Ini adalah disiplin yang ia terapkan selama setahun terakhir—menjadikan teknik cadar samudra itu sebagai bagian dari pernapasannya. Melalui penglihatannya, ia melihat api unggun itu bukan sebagai kobaran cahaya, melainkan sebagai tarian struktur panas yang terbagi-bagi.

Ia merenungkan posisinya saat ini. Tiga bintang safir gelap. Mastery empat puluh persen. Di mata dunia, ia hanyalah seorang pemuda biasa yang berbakat. Namun di dalam hutan ini, ia sedang ditempa menjadi pedang paling tajam yang pernah ada.

"Soran," panggil Rian di tengah keheningan malam.

"Hmm?" Soran menjawab tanpa membuka matanya, kepalanya bersandar pada botol arak kosong.

"Apa yang terjadi jika aku gagal mencapai 4 Star Core?"

Soran terdiam sejenak. Suara kayu bakar yang pecah menjadi satu-satunya jawaban untuk beberapa saat. "Jika kau gagal, kau tetap akan menjadi Knight yang hebat. Tapi kau tidak akan pernah bisa menyentuh Mastery seratus persen. Dan tanpa itu, matamu suatu saat akan membunuhmu. Pipa manamu akan pecah karena tekanan informasi yang tidak bisa diredam lagi oleh cadarmu."

Rian menggenggam gagang pedang kayunya erat-erat. Ia tidak punya pilihan selain berhasil. Kegagalan berarti kematian, dan ia sudah terlalu banyak berjuang untuk mati sebelum melihat dunia di luar hutan ini.

Ia menutup matanya, memfokuskan seluruh energinya untuk memurnikan kembali tiga bintang di Dantiannya. Warna biru safir itu semakin menggelap, seolah-olah ia sedang mencoba memasukkan seluruh kegelapan malam ke dalam satu titik di perutnya.

Esok harinya, latihan Rian menjadi sepuluh kali lebih berat. Soran membawanya ke sebuah lembah angin di mana Rian harus menebas udara secara konstan. Tantangannya bukan memotong sesuatu, tapi menebas sedemikian rupa hingga tidak menciptakan suara gesekan udara sedikit pun.

"Jika angin saja bisa mendengar pedangmu, maka musuhmu akan punya waktu untuk menghindar!" teriak Soran.

Rian mengayunkan pedangnya. Swish.

"Masih ada suara! Ulangi!"

Ribuan kali ia mengayun. Puluhan ribu kali ia memperbaiki posisi pergelangan tangannya. Dengan bantuan Aethel’s Veil, Rian mulai melihat bagaimana udara terbelah. Ia mencari celah di antara molekul udara agar pedangnya bisa meluncur tanpa hambatan struktural.

Di bulan-bulan berikutnya, Mastery Rian mulai merangkak naik. Dari empat puluh persen ke empat puluh lima, lalu ke lima puluh. Setiap kenaikan satu persen terasa seperti mendaki gunung yang tinggi. Ia belajar untuk benar-benar "menghilang". Mana safirnya tidak lagi meluap ke luar kulitnya, melainkan terpendam jauh di dalam otot dan sarafnya.

Satu tahun terakhir di Silvaris Aeterna ini akan menjadi tahun yang paling menentukan. Rian tahu bahwa di luar sana, Akademi Knight sedang menunggu. Ia membayangkan wajah-wajah para bangsawan sombong yang diceritakan Soran—orang-orang yang memiliki banyak bintang namun tak memiliki jiwa. Ia tersenyum tipis. Ia ingin melihat ekspresi mereka saat melihat seorang pemuda dengan "hanya" 3 atau 4 Star Core menghancurkan segala pertahanan mereka tepat di titik rasionya.

"Tunggu aku, dunia luar," bisik Rian dalam hati.

Bab ditutup dengan pemandangan Rian yang sedang berdiri di atas dahan pohon tertinggi di pinggiran hutan, menatap cakrawala di mana matahari terbit. Di bawah kakinya, Silvaris Aeterna membentang luas—rumah sekaligus penjara baginya selama tujuh belas tahun. Di dalam dirinya, tiga bintang safir gelap itu berdenyut dengan ritme yang lambat dan stabil, menunggu momen di mana bintang keempat akan meledak dan menyempurnakan sang Penimbang Dunia.

Soran berdiri di bawah, menatap punggung muridnya dengan bangga yang tersembunyi. "Dia sudah siap... hampir siap. Hanya tinggal satu gesekan lagi, dan dia akan menjadi ksatria paling menyimpang yang pernah ada di sejarah benua ini."

Perjalanan menuju 4 Star Core dan Mastery 100% kini benar-benar memasuki fase finalnya.

More Chapters