Bab 20 – Bisikan Akar dan Penjaga Hutan
Ruhosi melangkah semakin dalam ke jantung Hutan Valdoria. Pohon-pohon di sini bukan lagi sekadar raksasa hijau; mereka adalah monumen hidup, dengan batang-batang yang lebarnya bisa menelan sebuah rumah, dan kanopi yang menjulang hingga nyaris menyentuh langit. Lumut-lumut bercahaya samar menempel di kulit kayu, dan udara dipenuhi aroma tanah purba yang belum terjamah. Lensa Kabut di sakunya berdenyut lebih kuat, dan batu giok daun yang ia temukan terasa hangat di genggamannya.
"Wah, ini hutan apa kebun binatang raksasa ya?" gumam Ruhosi, matanya membelalak takjub. Ia melihat bunga-bunga aneh yang kelopaknya bergerak sendiri, dan serangga-serangga sebesar kepalan tangan yang memancarkan cahaya lembut. "Pasti banyak monster lucu di sini. Semoga nggak ada yang bau ketek."
Jalur biru redup di Lensa Kabut menuntunnya ke sebuah area yang lebih gelap, di mana akar-akar pohon raksasa menjulur keluar dari tanah seperti tentakel-tentakel kuno, membentuk labirin alami yang rumit. Saat Ruhosi melangkah masuk, suara-suara aneh mulai berbisik di telinganya. Bukan suara angin, bukan suara hewan, tapi bisikan yang terasa berasal dari dalam tanah itu sendiri, dari akar-akar yang melingkar.
"Siapa kau, pengganggu? Niatmu… tidak murni."
"Kau membawa kegelapan… dan cahaya yang bergejolak."
"Pergilah… atau kau akan menjadi bagian dari kami."
Ruhosi menghentikan langkahnya. Ia menggaruk kepalanya. "Eh? Kalian ngomong sama aku? Aku Ruhosi. Niatku sih cuma mau lewat, cari tahu siapa aku, sama cari makanan enak. Nggak ada niat ganggu kok, sumpah!"
Bisikan itu semakin keras, berubah menjadi desisan mengancam. Akar-akar di sekelilingnya mulai bergerak perlahan, merayap di tanah, seolah ingin menjebaknya. Beberapa akar bahkan mengangkat diri, membentuk dinding-dinding hidup yang menghalangi jalannya.
"Waduh, galak banget sih akar-akar ini!" keluh Ruhosi. Asap hitam dari retakan di tubuhnya mulai mengepul lebih tebal, merespons ancaman yang tak terlihat. Ia mencoba menggunakan Napas Angin untuk meniup akar-akar itu, tapi anginnya hanya berputar tak berdaya di antara bisikan-bisikan.
"Kekuatanmu… tidak berguna di sini. Kami adalah akar dari Alkein. Kami tahu semua yang tersembunyi."
Ruhosi terdiam. Ini bukan pertarungan fisik. Ia teringat pelajaran dari Ras Kabut Hijau, tentang menghadapi bayangan diri. Ia juga teringat bagaimana ia menenangkan Amarah Badai—bukan dengan melawan, tapi dengan… berbicara.
Ia mengeluarkan batu giok daun dari sakunya. Batu itu terasa berdenyut hangat di tangannya. Ruhosi memejamkan mata, mencoba merasakan getaran dari akar-akar itu. Ia tidak mendengar ancaman, tapi… kesedihan. Kemarahan yang sudah sangat tua.
"Kalian marah ya?" bisik Ruhosi, suaranya pelan. "Pasti capek banget ya jaga hutan ini sendirian? Aku tahu rasanya kesepian. Aku juga sering sendirian."
Ia melangkah maju perlahan, mengabaikan akar-akar yang mencoba menjebaknya. Ia menyentuh salah satu akar yang paling besar dengan batu giok daunnya. Seketika, batu itu bersinar hijau terang, dan cahaya itu merambat ke seluruh akar, lalu ke akar-akar di sekitarnya.
Bisikan-bisikan itu mereda. Akar-akar yang bergerak berhenti.
"Cahaya… yang asing… namun akrab…"
Ruhosi membuka matanya. Ia melihat aliran energi hijau keemasan yang kini mengalir dari batu giok daunnya, menyatu dengan akar-akar. Ia teringat pendaran cahaya putih keperakan yang kadang muncul dari retakan di tubuhnya saat ujian angin. Ini adalah energi yang sama, energi kehidupan.
"Aku nggak mau ganggu kalian," kata Ruhosi tulus. "Aku cuma mau cari tahu siapa aku. Dan kalau kalian tahu sesuatu, mungkin kalian bisa bantu aku?"
Hening. Lalu, bisikan itu kembali, kali ini lebih lembut, seperti nyanyian kuno.
"Darahmu… adalah jembatan. Antara yang tersembunyi… dan yang terlupakan. Kau mencari… Kunci Kehidupan. Ia bersembunyi di jantung hutan ini… di bawah Pohon Penjaga. Tapi… kau tidak sendirian yang mencarinya."
Akar-akar di hadapannya perlahan surut, membuka jalan. Lensa Kabut di sakunya bergetar hebat, dan jalur biru redup di dalamnya kini bersinar terang, menunjuk lurus ke depan, ke arah sebuah pohon raksasa yang menjulang tinggi di kejauhan, memancarkan aura kehidupan yang kuat.
"Kunci Kehidupan?" Ruhosi mengernyit. "Jadi ada kunci lain lagi? Wah, koleksiku makin banyak nih!"
Ia menyimpan batu giok daun itu kembali, kini dengan pemahaman yang lebih dalam. Batu itu bukan hanya kunci, tapi juga jembatan untuk berkomunikasi dengan alam.
Saat ia melangkah maju, bisikan terakhir terdengar, kali ini lebih seperti peringatan.
"Dia yang Menginginkan Kehampaan… telah mengirimkan bayangannya. Mereka mendekat… dari timur."
Ruhosi terdiam. Vorgash. Ia tidak bisa lari selamanya. Tapi setidaknya, ia punya petunjuk baru. Dan mungkin, di Pohon Penjaga itu, ia akan menemukan sesuatu yang bisa membantunya menghadapi ancaman yang semakin nyata.
Dengan semangat yang kembali membara, Ruhosi mempercepat langkahnya, menuju Pohon Penjaga, siap menghadapi apa pun yang menunggunya di sana. Ia tidak tahu bahwa di balik pohon itu, sebuah rahasia kuno yang terkait dengan darahnya sendiri, dan takdir seorang gadis kecil di lembah yang jauh, akan segera terungkap.