LightReader

Saat Selir Mati Dua Kali

EkarinYue
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
157
Views
Synopsis
Zijiang Zhenyu, seorang wanita modern yang cerdas dan sukses, menemui akhir hidup yang tragis setelah dikhianati oleh suami dan sahabatnya sendiri dua orang yang paling ia percayai. Diracun dan didorong dari atap gedung, hidupnya berakhir dalam pengkhianatan. Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Zhenyu terbangun dalam tubuh Helian Qingyin, selir ketiga Kekaisaran Ninghua yang bisu dan terlupakan. Bermodalkan pengetahuan dari masa depan dan dibayangi oleh arwah Qingyin yang belum tenang, Zhenyu bersumpah untuk membalas dendam. Namun di balik tembok istana, tersimpan rahasia yang jauh lebih dalam dari sekadar pengkhianatan. Antara cinta terlarang, roh yang terperangkap, dan cermin dimensi misterius yang membelokkan waktu, Zhenyu harus menavigasi takdir yang terjal dan berliku. Dalam tubuh yang pernah mati sebelumnya, akankah ia menemukan kebenaran atau justru terjebak dalam gema dari dua kehidupan? ** novel ini ditulis dia versi inggris dan indo.. kalian bisa liar di profil aku♥️ #reinkarnasi #sistem #keluargakerajaan #balasdendam #cintaterlarang #intrik
VIEW MORE

Chapter 1 - 1.Saat Selir Mati Dua Kali

*****

Shanghai – Tianlu Pavilion, Lantai 47 – 23:42 Malam

Lampu kota Shanghai menyala seperti ribuan bintang buatan, menyebar di balik jendela kaca tinggi restoran Tianlu Pavilion.

Namun bagi Zijiang Zhenyu, gemerlap itu tidak berarti apa pun malam ini.

Ia duduk sendiri di meja bundar mewah.

Gaun satin abu-abu keperakan membalut tubuhnya yang ramping.

Riasannya sempurna, seperti biasa—tanpa celah, tanpa kelemahan.

Dua gelas wine tertata rapi.

Botol anggur merah terbuka. Suasana begitu sunyi, hanya terdengar denting sendok dan nyanyian klasik instrumental pelan dari speaker langit-langit.

Tang Mian datang dengan gaun merah berkilau dan senyum terlalu lebar.

“Kau tidak berubah,” ucapnya sambil duduk. “Selalu datang lebih dulu. Bahkan di makan malam yang kau rencanakan sendiri.”

Zhenyu menatapnya datar. “Aku ingin bicara empat mata.”

Tang Mian menuang wine ke gelasnya sendiri, lalu ke milik Zhenyu. “Tentang apa? Oh... jangan bilang soal rumor aneh itu. Aku dan Weixun?”

“Bukan rumor,” potong Zhenyu. “Aku tahu segalanya.”

Tang Mian membeku sejenak. “Tahu... apa?”

Zhenyu menggenggam gelas wine, tidak menyentuhnya.

Matanya menatap lurus ke wajah Tang Mian. “Hari ulang tahun suamiku.

Aku ingin beri kejutan.

Naik pesawat tanpa memberi tahu siapa pun, bawa cincin ulang tahun yang kupilih sendiri.”

Tang Mian menunduk.

“Di jalan Shibuya,” lanjut Zhenyu pelan. “Aku lihat kalian. Pegangan tangan.

Tertawa seperti sepasang pengantin.

Bukan cuma sekali.

Tapi berjam-jam.

Hari yang seharusnya... jadi milik kami.”

Tang Mian membuka mulut, tapi tak ada suara keluar.

“Aku diam.

Kubawa pulang luka itu.

Kupikir... kalau aku tak bicara, kalian akan sadar betapa berharganya kepercayaan.

” Ia menatap tajam. “Tapi sebaliknya.

Kau racuni aku?”

“Aku—bukan aku!” Tang Mian menggigil.

“Aku hanya... Weixun bilang ini cuma buat buat pusing ringan, biar kau tidak bisa hadir di rapat saham—”

Zhenyu berdiri.

“Cukup.”

Tang Mian ikut berdiri.

“Zhenyu, dengar aku! Aku mencintainya! Sejak dulu.

Sejak sebelum kalian menikah!”

“Dan kau tetap jadi sahabatku selama sepuluh tahun? Hebat sekali.”

Seketika, tubuh Zhenyu terhuyung.

Gelas hampir terlepas dari genggamannya.

“Ap—apa yang kau—” napasnya mulai sesak, dada seperti ditindih batu.

Tang Mian panik. “Zhenyu?!”

Zhenyu menatapnya sekali lagi.

“Kau... benar-benar membunuhku... hanya karena tak bisa hidup sebagai bayanganku.”

Lalu ia berbalik dan berjalan terhuyung keluar dari restoran, menolak jatuh di hadapan pengkhianat.

---

Lift Darurat – Gedung ZH Group – Menuju Lantai 27

Zhenyu menekan tombol ke atap dengan sisa tenaga. Dunia berputar. Tubuhnya dingin.

Tapi di dalam dadanya... masih ada sisa nyala.

Ia ingin mati dengan caranya. Bukan di tangan mereka.

---

Lantai 27 – Atap Gedung

Langit malam menggantung rendah di atas Shanghai. Lampu-lampu gedung menciptakan bayangan panjang.

Langkah kaki berat menyusul dari belakang.

“Zhenyu.”

Yan Weixun.

Zhenyu tidak menoleh. “Kau datang... untuk menjemput jenazahku?”

Weixun tak menjawab. Angin menerpa dasinya.

Zhenyu menoleh perlahan. “Aku mencintaimu.”

“Dan aku pernah mencintaimu,” jawabnya dingin. “Tapi cintamu selalu berbentuk instruksi. Notulen. Jadwal.”

“Aku membangun perusahaan ini dari nol... agar kita punya masa depan.”

“Kau membangun kerajaan di mana aku tak punya tahta.”

Zhenyu menatapnya kosong. “Lalu... ini solusimu?”

Yan Weixun melangkah mendekat. “Ini penyelesaian. Agar semuanya kembali ke titik netral.”

Tiba-tiba, Zhenyu merasakan dorongan keras di punggungnya.

Ia terjatuh.

Dunia melambat. Angin mencabik gaunnya. Kaca-kaca gedung tinggi memantulkan wajahnya... lalu wajah itu retak.

Di sela retakan: bayangan lain.

Cermin. Rongxu Jing.

Di balik pantulan, ada seorang gadis... menangis dalam diam.

Zhenyu menutup matanya, dan menyerah pada gelap.

****

Istana Tianxu – Paviliun Lianyu

Zhenyu membuka mata dengan teriakan teredam.

Tapi bukan langit-langit beton dan kaca yang menyambutnya... melainkan ukiran kayu emas berbentuk awan dan naga.

Udara berbau dupa,udara asing,udara mati.

“Selir Ketiga!”

Seorang gadis berlutut di samping ranjang.

Zhenyu mencoba duduk, tapi tubuhnya lunglai. Tangannya... kecil. Lembut. Penuh bekas tusukan dan luka lama.

“Apa ini...?”

“Selir Qingyin... Anda bangun...?”

Qingyin?

Zhenyu menatap wajah gadis itu. Muda. Penuh air mata. Tapi jujur. “Siapa kau...”

“Meilan, hamba Anda,” jawabnya terisak.

Zhenyu memalingkan wajah ke samping.

Sebuah cermin besar berdiri di pojok ruangan. Bingkainya dari perak. Permukaannya... kabur. Tapi dalam kabut itu, ada bayangan lain.

Seorang gadis. Mirip dirinya.

Tapi matanya penuh duka.

Air mata jatuh.

Tapi bukan dari wajah Zhenyu.

Dari dalam cermin.

Zhenyu mendekat.

“Siapa... yang menangis?” bisiknya.

Cermin bergetar.

Rongxu Jing hidup.

Dan untuk pertama kalinya, dua jiwa saling menatap dari dua dunia yang patah.

***

Istana Tianxu – Paviliun Lianyu

Udara yang masuk ke paru-parunya begitu asing, seperti bukan miliknya.

Hangat, tapi dingin. Kaya dupa, tapi menyesakkan.

Zijiang Zhenyu membuka matanya dengan erangan pelan, seolah hidup kembali tapi tak tahu di tubuh siapa.

Langit-langit di atasnya bukan dari beton atau kaca, melainkan ukiran awan dan burung phoenix, terukir indah pada balok kayu berwarna keemasan.

Gorden ranjang dari kain brokat halus menggantung lembut, menari karena angin dari jendela kisi-kisi bambu.

Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya lunglai. Tangannya kurus, telapak putih pucat, dengan bekas luka kecil seperti tusukan jarum dan gigitan serangga.

"Apa ini...?" napasnya tercekat.

Tiba-tiba suara langkah tergesa memasuki ruangan.

"Selir Ketiga!"

Seorang gadis muda dalam pakaian pelayan berlutut di samping ranjang.

Napasnya terengah, air mata meleleh di pipi bulatnya.

"Meilan..." gadis itu bergumam seperti memanggil diri sendiri untuk tenang. "Anda... Anda benar-benar bangun?"

Zhenyu menatapnya. Pandangan masih kabur. Nama itu... bukan miliknya.

“Qingyin…” gumam Meilan. “Anda terjatuh semalam... darah dari hidung dan telinga tidak berhenti. Tabib bilang... tidak ada harapan lagi…”

Zhenyu mengerjap. Otaknya mencoba memproses kalimat itu. Qingyin? Siapa Qingyin?

Dia mengangkat tangan sendiri—halus, lemah, dan asing. Saat dia menyentuh wajahnya... itu bukan wajahnya. Itu wajah orang lain.

"Aku mati..." bisiknya. "Tapi aku bangun."

“Selir Ketiga?” Meilan memegang tangannya. “Jangan bicara dulu, nanti luka Anda—”

"Aku... bukan dia." Zhenyu menatap tangan gadis itu. “Aku bukan Qingyin.”

Meilan membeku. Matanya membesar.

Seketika ia merunduk lebih dalam, wajahnya pucat pasi.

"Maafkan hamba... hamba tidak mendengar apa-apa... tolong jangan hukum hamba..."

Zhenyu mengerutkan alis. “Aku tidak akan menyakitimu.”

Tapi suaranya serak, terlalu lirih, seperti bisikan dari dunia yang tenggelam.

---

Pojok Ruangan – Cermin Rongxu Jing

Matanya tertarik ke satu sudut.

Sebuah cermin besar berdiri di pojok ruangan, tinggi hampir dua meter, dengan bingkai perak ukiran awan bergulung dan dua naga bertaring. Tapi bukan bentuknya yang membuat Zhenyu tak berkedip.

Permukaan cermin itu... berkabut. Seperti embun yang tak menguap. Tapi di tengah kabut itu, ada bayangan.

Bayangan seorang gadis. Mirip dirinya. Tapi mata gadis itu penuh luka. Penuh air mata. Dan... bergerak sendiri.

Zhenyu bangkit perlahan, menepis selimut brokat. Kakinya hampir tak bisa berdiri, tapi ia tetap berjalan tertatih mendekati cermin.

"Siapa... kau?" bisiknya.

Gadis di cermin mengangkat tangan... dan menyentuh permukaan kaca dari sisi dalam.

Tangisan.

Bukan tangisan Zhenyu. Tapi dari dalam cermin.

Lalu bisikan.

Pelan.

Retak.

Dingin.

"Jangan tinggalkan aku..."

Zhenyu mundur satu langkah.

Meilan yang memperhatikannya dari balik tirai kecil menutup mulutnya. “Tidak... jangan bilang... arwahnya belum pergi...”

Zhenyu menatap cermin itu dalam-dalam.

"Kau... yang menangis waktu aku jatuh..."

Bayangan di cermin hanya menatapnya. Mata penuh harap. Dan luka.

---

Dalam Kepala Zhenyu

Suara samar terdengar.

Bisikan tanpa mulut.

Pikiran yang bukan miliknya.

> “Kau bukan aku... tapi kau mengerti rasa mati.”

“Tubuh ini bukan milikmu... tapi luka-lukanya kini milikmu juga...”

“Kalau kau ingin bertahan... ingat siapa yang menyakitiku.”

“Dan siapa yang ingin melihatku mati.”

Zhenyu memejamkan mata. Kepalanya berdenyut. Tapi saat ia membuka mata lagi, cermin itu telah kembali gelap. Tak ada gadis. Tak ada suara. Hanya pantulan dirinya yang baru.

---

Meilan perlahan mendekat, berlutut.

"Selir... Anda bukan diri Anda, bukan?"

Zhenyu tidak menjawab. Tapi menatap mata pelayan itu. Dalam. Sunyi.

“Lalu siapa Anda?” tanya Meilan lirih.

Zhenyu menjawab pelan...

“Aku... wanita yang mati dua kali.”