LightReader

Chapter 2 - 2.Tubuh Yang menolak,Roh yg mengintai

Saat ini tubuh ini tidak menginginkannya.

Zijiang Zhenyu tahu itu sejak ia membuka matanya pagi itu. Udara pertama yang ia hirup terasa seperti serpihan es yang menancap tajam ke dalam paru-parunya. Paviliun Lianyu beku dan hampa, bahkan sinar mentari pun enggan menyentuh tempat ini. Kabut masih menempel di jendela dan aroma basah dari lantai tanah yang belum dibersihkan menyeruak ke seluruh sudut ruangan.

Tangannya bergerak perlahan, mencoba meraih tiang ranjang bambu. Namun otot-ototnya seperti mati, dan sendi-sendinya menolak bergerak. Ia merasakan denyut jantung yang tidak ia kenali—ritmenya kacau, seperti aliran sungai yang berusaha mengalir di celah batu.

Tubuh ini menolak dirinya.

Tubuh ini bukan miliknya.

Tubuh ini… adalah medan perang.

“Aku tahu ini tubuhmu,” kata Zhenyu dalam batin, mencoba meredam kepanikan. “Tapi aku juga mati untuk sampai di sini.”

Sebuah suara muncul di benaknya, lembut namun dingin. “Kau menempati ruang yang belum kosong.”

Helian Qingyin. Roh asli dari tubuh ini. Ia masih ada, dan ia tidak pasrah.

“Aku tidak akan pergi,” balas Zhenyu, berusaha duduk, meski tubuhnya kembali terjatuh ke lantai yang dingin dan keras.

“Dan aku tidak akan menyerah,” jawab Qingyin, suaranya melayang seperti kabut tipis di langit subuh.

Zhenyu memejamkan mata. Napasnya tak beraturan, tapi ia tidak bisa berhenti. Tidak sekarang. Tidak setelah ia diberi kesempatan kedua, meski dalam tubuh yang nyaris rusak ini.

Lalu semuanya berubah.

Udara di sekelilingnya mengental. Dingin menyusup ke dalam pori-pori kulit. Cahaya lilin yang remang-remang mendadak padam tanpa angin. Dan dari sudut ruangan, di permukaan cermin tua berbingkai hitam, muncullah retakan kecil.

Retakan itu tidak berasal dari luar—melainkan dari dalam.

Saat ia menatap cermin itu, dunia di sekitarnya mulai hancur. Paviliun menghilang, lantai runtuh, dan langit-langit kayu runtuh dalam kesunyian.

Zhenyu tidak jatuh, tapi melayang… ke ruang kosong yang tak memiliki batas. Tidak ada dinding. Tidak ada langit. Tidak ada cahaya. Hanya dirinya dan kegelapan yang berdesir.

Dan dari dalam kabut tipis, seseorang muncul.

Seorang gadis berpakaian putih, rambut panjangnya jatuh menutupi pundak yang berdarah. Wajahnya pucat seperti bulan mati. Matanya… kosong. Tapi Zhenyu mengenali wajah itu.

Wajahnya sendiri. Atau lebih tepat, wajah Helian Qingyin.

“Kau benar-benar tidak akan pergi?” tanya Qingyin.

“Tidak,” jawab Zhenyu mantap.

Tubuh Qingyin tampak rapuh, tapi aura keputusasaan yang mengelilinginya sangat nyata—seperti asap yang keluar dari dupa yang terbakar perlahan.

“Tubuh ini tidak bisa menanggung dua jiwa. Seseorang harus menyerah,” kata Qingyin.

“Lalu apa yang akan kita lakukan? Bertarung? Saling menghapus? Atau kita mencoba sesuatu yang belum pernah dicoba sebelumnya?”

Qingyin terdiam. Di antara mereka, tanah mulai terbentuk. Urat-urat batu merambat membentuk lingkaran. Di tengahnya muncul sebuah altar batu dengan tulisan kuno yang bersinar merah lembut:

Dua roh. Satu tubuh. Satu harus menyatu. Yang lain harus menyerahkan.

“Aku tidak tahu bagaimana menyatu,” kata Qingyin pelan.

“Aku juga tidak tahu,” jawab Zhenyu. “Tapi aku tidak akan menyerahkan hidupku pada siapa pun lagi. Tidak padamu. Tidak pada dunia ini.”

Keduanya sama-sama melangkah menuju altar batu. Keduanya meletakkan telapak tangan pada permukaannya. Saat kulit mereka menyentuh batu dingin itu, cahaya ungu gelap melonjak ke udara, membelah kegelapan dengan sinar berkilau… lalu semuanya lenyap.

Zhenyu terbangun dengan napas memburu. Tubuhnya basah oleh peluh, rambutnya lengket di pelipis. Namun, detak jantungnya tak lagi seaneh sebelumnya. Masih terasa berat, tapi tidak kacau.

Cermin tua masih ada di lantai. Namun kali ini, permukaannya berkilau hitam mengilap seperti air dalam sumur tua. Dan di dalam pantulannya—terlihat dua bayangan berdiri berdampingan.

Rongxu Jing.

Sebuah nama muncul dalam benaknya, seolah ditulis oleh tangan yang tak kasat mata. Cermin yang mengikat dua roh. Jembatan dimensi batin antara tubuh dan jiwa.

Pintu kayu terbuka pelan.

Seorang pria tua masuk, melangkah perlahan tanpa suara. Ia mengenakan jubah kelabu polos, rambut putih disanggul rapi. Wajahnya seperti batu giok tua: keras namun tidak kasar.

“Kau akhirnya membuka pintu pertama,” ucapnya tenang.

Zhenyu menatapnya, masih duduk di lantai. “Kau siapa?”

“Xun Chengyan. Tabib dari Pondok Xunyue, pelayan langit di masa sebelum kekuasaan dirampas oleh manusia.”

“Kau… melihat kami?”

Tabib itu tidak menjawab langsung. Ia menunduk, meletakkan dua jarinya di pergelangan Zhenyu, lalu menarik napas panjang.

“Aku melihat dua nyala dalam satu bara. Tapi tidak satu pun cukup kuat untuk bertahan sendiri.”

“Apa artinya?” tanya Zhenyu.

“Tubuh ini menolak karena tidak mengenalmu. Tapi roh lamanya pun tidak utuh.

Kalian adalah dua kepingan dari luka yang sama.

Jika ingin bertahan…salah satu harus belajar mengalahkan egonya.”

Zhenyu menunduk. Ia tahu maksud pria ini bukan menyerah-melainkan menyatu.

Hari itu, Zhenyu hanya mampu duduk. Meilan, pelayan muda yang dikirim oleh Xun Chengyan, datang membawa semangkuk bubur labu yang terlalu encer. Ia tidak berani menatap Zhenyu langsung, hanya berkata pelan,

“Selir Helian… Anda terlihat berbeda hari ini.”

Zhenyu tak menjawab. Tapi dalam hatinya, ia tahu: dirinya memang berbeda. Ia bukan Helian Qingyin, tapi ia juga bukan Zijiang Zhenyu sepenuhnya. Ia adalah gabungan luka dua dunia. Dan dunia ini akan mengenalnya sebagai… sesuatu yang belum pernah lahir sebelumnya.

Malam tiba dengan langit yang tetap kelabu. Tapi kali ini, cermin Rongxu Jing bersinar lembut dalam kegelapan. Dua bayangan di dalamnya tak lagi saling menjauh. Mereka mulai berdiri lebih dekat.

Dan di luar Paviliun Lianyu, seorang wanita bergaun ungu berdiri diam di bawah pohon plum tua.

“Dia masih hidup,” gumamnya, bibir merahnya melengkung tipis.

“Kalau begitu… saatnya racun kelima diteguk.”

* * _ * *

More Chapters