LightReader

Chapter 3 - 3. Paviliun Lianyu Yang Membeku

Langit pagi di Tianxu Gong diselimuti awan kelabu yang tak berniat membuka ruang untuk cahaya.

Kabut tipis menggantung di pelataran istana, mengembun di pucuk-pucuk bunga yang belum mekar,dan menyelimuti ubin batu yang dingin seperti kulit ular mati.

Paviliun Lianyu,terletak di sudut paling jauh dari aula utama,terpisah dari istana lainnya oleh lorong batu sempit dan hutan bambu yang rimbun. Tidak ada yang lewat.

Tidak ada yang singgah.

Bahkan burung pun tidak bersarang di atapnya.

Tempat ini, dalam banyak bisikan pelayan istana, disebut sebagai ‘sayap mati dari surga.’

Di dalamnya,Zhenyu terbangun perlahan.

Tubuhnya masih terasa seperti dihuni oleh orang lain, atau lebih tepatnya, oleh roh yang belum selesai berduka.

Ia mengangkat kepalanya dari bantal anyaman jerami dan duduk di atas dipan bambu keras yang sudah mulai berderit.

Selimut tipis di tubuhnya masih lembap oleh peluh semalam. Mimpi aneh dari Rongxu Jing membayangi pikirannya-mimpi tentang air yang bergetar, tentang dua bayangan yang berdiri berdampingan, tentang dunia di mana tidak ada suara kecuali detak jantung.

Ia menyentuh dahinya, memastikan dirinya nyata. Tubuh ini terasa seperti kulit orang lain. Tapi di dalamnya…pikirannya tetap tajam. Bahkan lebih tajam dari sebelumnya.

Mata Zhenyu menyapu sekeliling ruangan.

Dinding kayu yang mengelupas.

Tirai putih yang robek.

Meja kecil dengan cermin perunggu.

Rak obat kosong.

Lantai batu yang retak.

Bukan hanya beku oleh udara.

Tempat ini membeku oleh kenangan. Bekas luka. Duka yang tidak pernah diberi waktu untuk sembuh.

“Paviliun ini...” bisiknya pelan, suara serak menggores tenggorokan, “...tempat orang menunggu mati.”

Langkah kaki terdengar dari luar. Pelan. Hati-hati. Seperti seseorang yang tidak yakin harus datang atau tidak.

Zhenyu kembali berbaring, pura-pura lemah. Ia tahu lebih banyak bisa dipelajari dengan diam daripada bertanya langsung.

Pintu kayu berderit terbuka.

Meilan masuk dengan semangkuk bubur di tangan. Gadis itu masih muda, sekitar tujuh belas tahun. Wajahnya bulat, kulitnya pucat, dan matanya terlalu jujur untuk istana.

“Selir Qingyin... bubur pagi,” katanya pelan.

Zhenyu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Meilan dari balik rambutnya yang kusut.

Meilan mendekat, meletakkan mangkuk di meja pendek. Ia ragu, tapi kemudian berkata, “Saya tahu Anda tidak banyak bicara, tapi... Anda sudah tiga hari tidak makan.”

Zhenyu bangkit perlahan. Ia mengambil sendok kayu dan mencicipi bubur itu. Terlalu encer. Hambar. Tapi hangat.

“Terima kasih,” gumamnya. Suara itu lemah tapi cukup terdengar.

Meilan terkejut. Tangannya gemetar.

“Selir Qingyin... Anda... Anda bicara?” bisiknya.

Zhenyu hanya tersenyum samar. Senyum yang tidak menjawab, tapi tidak menyangkal.

Meilan terdiam lama, lalu tiba-tiba tersenyum lebar. “Saya tahu Anda akan pulih. Saya tahu! Dewa dari Kuil Jingzhao pasti mengabulkan doa saya!”

“Berdoa untukku?” tanya Zhenyu. Kini suaranya lebih jelas, meski masih serak.

Meilan mengangguk cepat. “Saya pernah melihat Anda dari kejauhan, di tahun pertama saya di dapur. Anda diam... tapi mata Anda seperti menyimpan ribuan kata. Saya pikir... Anda pasti sangat kesepian.”

Zhenyu terdiam. Bukan karena tidak tahu harus berkata apa, tapi karena... ia tidak terbiasa dengan ketulusan seperti itu. Terutama di tempat sekeras istana.

Meilan menunduk, lalu dengan suara sangat pelan, ia berbisik, “Tapi hati-hati, ya... Paviliun ini... sering diawasi.”

Zhenyu mengangkat alis.

“Siapa yang mengawasi?” tanyanya pelan.

Meilan ragu, lalu menoleh ke jendela. “Kadang... ada suara dari arah paviliun Putri Ji. Kadang ada kain merah di pagar bambu. Kalau itu muncul... artinya malam itu akan ada perintah.”

Zhenyu mencatat dalam hati.

Putri Ji. Ji Suling. Nama itu muncul dalam memori samar tubuh ini—selir kedua yang cantik, berpengaruh, dan disebut-sebut akan naik jadi permaisuri jika Helian Qingyin tidak hamil duluan.

Ah, jadi ini sebabnya. Kecemburuan. Ketenaran. Kedudukan.

Dan... racun.

Tubuh ini kehilangan anak. Dan racun tidak meninggalkan jejak. Siapa pun bisa menolaknya sebagai keguguran biasa.

Zhenyu menggenggam sendoknya lebih erat.

Ia menatap ke cermin perunggu di meja. Dalam pantulan samar, ia melihat dua bayangan berdiri: dirinya dan seseorang lain.

Qingyin.

Tapi hari ini... Qingyin hanya berdiri diam. Tidak marah. Tidak melawan. Tidak berbisik.

Seolah ia juga sedang... mendengarkan.

Langit mulai memerah. Kabut mulai surut. Tapi di pelataran luar Paviliun Lianyu, bendera kain merah muda berkibar pelan di pagar bambu.

Zhenyu menatapnya dari celah jendela.

“Apa itu tanda yang kau maksudkan?” bisiknya.

Meilan, yang sedang menyapu lantai, menoleh dan ikut menatap keluar. Wajahnya langsung berubah pucat.

“T-tidak biasanya dikirim secepat ini... Saya akan... saya akan cek ke dapur,” ucapnya gugup, lalu menunduk dan keluar tergesa.

Zhenyu tahu ia tidak akan mendapatkan jawaban langsung malam ini. Tapi ia tidak butuh itu. Ia hanya perlu waktu.

Waktu untuk mengamati.

Waktu untuk merencanakan.

Ia berjalan menuju jendela. Di luar, istana tampak seperti lukisan: indah tapi beku, megah tapi sunyi. Bayangan paviliun utama tampak seperti raksasa yang sedang tidur, tapi sewaktu-waktu bisa menggigit siapa saja yang mendekat tanpa izin.

Langkah Zhenyu pelan. Tapi di dalam hatinya, badai sudah mulai terbentuk.

Ia kembali ke dipan, lalu duduk di hadapan Rongxu Jing. Cermin itu tak lagi bergetar seperti malam sebelumnya. Tapi permukaannya tetap gelap, seperti menunggu panggilan.

Ia menyentuh permukaannya perlahan.

“Qingyin... kita akan bertahan. Tapi kita tidak akan diam,” bisiknya.

Cahaya ungu samar muncul di ujung cermin, seperti napas yang terhembus perlahan.

Di luar, di balik tirai Paviliun Ji, seorang wanita berdiri sambil menyisir rambutnya yang panjang.

Ji Suling menatap ke arah Paviliun Lianyu dari balik jendela kaca buram.

“Sudah tiga hari. Dan dia belum mati juga?”

Pelayan di belakangnya diam.

Ji Suling mengangkat alis. “Kirim teh sore seperti biasa. Tapi kali ini... campurkan sesuatu yang lebih kuat. Ramuan kelima dari dapur selatan. Dan jangan beri tahu siapa pun.”

Pelayan itu menunduk dalam-dalam, lalu mundur dan pergi.

Ji Suling menatap pantulan dirinya di cermin.

“Jika kau cukup berani untuk bangkit, Helian Qingyin,” gumamnya dengan senyum tipis, “maka aku akan cukup murah hati untuk mengirimkan kematian yang lebih pantas.”

Di Paviliun Lianyu, Zhenyu kembali menutup matanya.

Tapi bukan untuk tidur.

Melainkan untuk mulai menghitung… siapa yang akan ia tumbangkan lebih dulu.

More Chapters