LightReader

Langit di Matamu

Talia_Callista
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
340
Views
Synopsis
Nara Kirana, seorang siswi SMA yang pintar namun tertutup, tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah saat duduk di bangku kelas 11. Semua dimulai dari sebuah coretan iseng di bangku kelas: “Hidup nggak adil, tapi aku masih mau lihat langit sore bersamamu.” Tulisan itu ternyata milik Arga Dirgantara siswa pindahan yang dikenal cuek, bandel, tapi diam-diam menyimpan luka dalam. Tanpa sadar, keduanya mulai saling berbagi kisah lewat coretan di bangku yang sama. Mereka tak pernah bicara, tapi setiap tulisan membawa mereka lebih dekat. Hingga suatu hari... coretan itu berhenti muncul. Ketika jarak mulai memisahkan dan kenyataan datang menghadang, akankah cinta diam-diam yang tumbuh lewat kata-kata mampu bertahan?
VIEW MORE

Chapter 1 - Langit di Matamu

✅ Bab 1: Coretan di Bangku Kayu

Nara Kirana adalah siswi kelas 11 yang pendiam, pintar, dan lebih suka menyendiri di perpustakaan. Ia duduk di bangku paling belakang, yang sudah usang dan penuh coretan. Suatu hari, ia melihat satu tulisan berbeda dari yang lain:

"Hidup nggak adil, tapi aku masih mau lihat langit sore bersamamu."

Tulisan itu mengusiknya. Bukan karena siapa yang menulisnya, tapi karena kalimat itu terasa sangat... jujur dan menyakitkan. Keesokan harinya, Nara membalas tulisan itu dengan sebaris kalimat:

"Langit sore tetap indah, meski hidup kadang kelabu."

Tanpa disadari, itulah awal dari percakapan diam-diam yang akan mengubah hidupnya.

✅ Bab 2: Kamu yang Diam-diam Hadir

Percakapan lewat tulisan di bangku itu terus berlanjut. Mereka tidak pernah tahu siapa lawan bicaranya, tapi mereka berbagi cerita tentang kesepian, luka, mimpi, dan langit.

Di sinilah chemistry mulai tumbuh. Arga (yang menulis duluan) penasaran siapa si "penjawab" itu. Begitu juga Nara, tapi keduanya memilih tidak mencari tahu… karena misteri itu terasa lebih aman daripada kenyataan.

✅ Bab 3: Langit Sore dan Rasa yang Tak Bernama

Tulisan-tulisan mereka mulai lebih personal. Mereka saling menenangkan, berbagi puisi, dan menyemangati satu sama lain. Satu hari, mereka menulis:

"Kalau suatu hari kita bertemu, jangan bilang apa-apa. Cukup senyum."

Nara mulai menyukai sosok di balik tulisan itu. Ia tak pernah merasa sedekat ini dengan siapa pun. Sementara itu, Arga—cowok baru yang cuek dan tampak dingin di sekolah—juga mulai menunjukkan perubahan. Ia sering terlihat menatap langit sore dari jendela kelas.

✅ Bab 4: Arga yang Penuh Rahasia

Suatu kejadian tak sengaja membuat Nara tahu siapa penulisnya—Arga Dirgantara. Arga dikenal sebagai siswa yang sering bolos, duduk paling belakang, dan punya wajah galak. Tapi Nara tahu… di balik semua itu, dia adalah penulis kalimat-kalimat penuh perasaan itu.

Nara mulai memperhatikan Arga. Ia melihat bagaimana Arga bersikap dingin di luar, tapi hangat dan rapuh lewat tulisannya. Di balik sikap kerasnya, ternyata Arga kehilangan ibunya setahun lalu dan harus menghadapi tekanan di rumah yang kacau.

✅ Bab 5: Perasaan yang Tak Terucap

Nara masih berpura-pura tidak tahu bahwa Arga adalah "penulis bangku". Ia tetap menulis dan Arga tetap membalas. Tapi ada rasa yang makin dalam. Mereka sama-sama jatuh cinta—lewat tulisan, tanpa pernah bicara langsung.

Momen-momen seperti saat mereka saling pandang diam-diam, atau saling lewat di lorong sekolah tanpa kata, justru penuh makna. Namun, tak ada yang berani mengungkapkan perasaan itu secara langsung.

✅ Bab 6: Saat Semua Terungkap

Suatu hari, tulisan itu berhenti. Tiga hari berturut-turut, tidak ada satu pun balasan di bangku itu. Nara gelisah. Ia mencari Arga, tapi Arga juga tidak masuk sekolah. Lewat teman sekelas, ia tahu Arga bermasalah di rumah. Ayahnya ingin memindahkan Arga ke luar kota karena menganggap sekolah tak penting.

Nara akhirnya menulis satu pesan panjang terakhir di bangku itu, lalu pergi ke tempat favorit Arga di atap sekolah—di mana Arga sering menatap langit. Di sana, ia menemukan sesuatu yang membuatnya menangis: buku catatan Arga penuh tulisan, termasuk kutipan yang sama:

"Kalau suatu hari kita bertemu, jangan bilang apa-apa. Cukup senyum."

✅ Bab 7: Aku Masih Mau Lihat Langit Sore

Nara nekat datang ke rumah Arga. Ia menantang ketakutannya, bertemu ayah Arga, dan bicara dari hati ke hati. Ia tidak mengaku sebagai pacar, tapi sebagai "teman menulis". Ia bilang Arga bukan gagal, hanya belum diberi ruang untuk sembuh.

Kata-kata Nara mengubah hati ayah Arga. Arga akhirnya muncul, dan untuk pertama kalinya mereka benar-benar berbicara, bukan lewat tulisan.

Arga: "Kamu tahu dari kapan?"Nara: "Dari saat kamu menulis tentang langit sore. Karena aku juga suka langit, tapi baru kali ini suka seseorang lewat langit."

✅ Bab 8: Akhir yang Tak Pernah Dituliskan

Mereka tidak menjadi pasangan yang langsung 'jadian'. Tapi mereka berjalan bersama, perlahan. Coretan di bangku sudah tak ada, diganti senyuman dan tatapan yang nyata.

Cerita ditutup dengan mereka duduk di taman sekolah saat senja. Arga menggenggam tangan Nara dan berkata:

"Kamu adalah satu-satunya tulisan yang nggak pengen aku hapus."

TAMAT