LightReader

Chapter 8 - Terlihat Indah Namun Bisa Melukai

Bab 8: Ketika Masa Lalu Mengetuk, Haruskah Pintu Dibuka?

Kereta berhenti di Stasiun Gambir dengan denting pelan. Alya turun dengan koper kecil dan langkah tenang. Jakarta menyambut dengan hiruk-pikuk yang berbeda dari kampusnya. Di kota ini, tak ada Davin. Tak ada Vera. Tak ada kenangan yang menusuk.

Di sini, hanya ada dirinya… dan masa depan yang belum tercoreng.

Tiga hari kemudian, Alya resmi menjadi delegasi utama dalam forum mahasiswa nasional. Ia berbicara dalam rapat terbuka, ide-idenya ditanggapi antusias, dan namanya mulai dikenal di kalangan aktivis kampus dari seluruh Indonesia.

"Kamu keren banget, Mbak Alya. Elegan, tapi tajam," ucap Raka, perwakilan dari Bandung.

Alya hanya tersenyum.

Ia sudah terbiasa dengan pujian. Yang belum terbiasa… adalah menerima perhatian dari orang yang tidak menyakiti.

Malam itu, setelah acara ditutup, Alya duduk di rooftop penginapan. Angin malam menyapa pipinya. Raka menghampiri, membawa dua gelas cokelat panas.

"Boleh duduk?"

"Silakan."

"Kamu kayak punya cerita panjang banget. Tapi kamu tenang banget. Gimana caranya?"

Alya tertawa kecil. Matanya menatap langit.

"Tenang itu bukan karena gak pernah terluka. Tapi karena udah berdarah… dan gak mau berdarah lagi."

Raka diam. Lalu berkata pelan.

"Kalau kamu butuh teman cerita… aku gak akan pakai itu buat menilai kamu."

"Tapi aku juga gak butuh dikasihani," balas Alya cepat, tapi tidak keras.

"Aku gak pernah lihat kamu sebagai korban, Alya. Justru kamu... pemenangnya."

Saat kembali ke kamar, Alya membuka ponselnya.Notifikasi muncul. Pesan dari akun lama—dari Vera.

"Alya… aku minta maaf. Aku kehilangan semua. Aku tahu aku pantas. Tapi aku cuma pengen kamu tahu… aku iri sama kamu. Karena kamu kuat."

Alya membaca tanpa emosi. Tidak benci. Tidak kasihan.

Ia hanya mengetik satu kalimat:

"Aku kuat… karena aku gak lagi membiarkan orang lain menentukan siapa aku."

Lalu ia mematikan notifikasi.

Di cermin kamarnya, Alya berdiri lama. Lama sekali.

Untuk pertama kalinya, ia tersenyum—bukan sebagai topeng.Tapi sebagai tanda bahwa luka… tak lagi memimpin hidupnya.

More Chapters