LightReader

Chapter 9 - Terlihat Indah Namun Bisa Melukai

Bab 9: Saat Maaf Tak Lagi Berarti Pulang

Pagi itu, Alya duduk di salah satu sudut perpustakaan pusat universitas. Ia tenggelam dalam buku—bukan karena sibuk, tapi karena tenang. Tak ada gangguan, tak ada pertanyaan, tak ada bayang-bayang yang menuntut dijelaskan.

Hingga suara notifikasi memecah hening.

Pesan dari Davin.

"Alya… aku mohon. Ketemu sebentar aja. Aku cuma mau tutup luka ini dengan benar."

Alya menatap layar. Lama. Tak ada emosi di wajahnya.Hanya jeda.Lalu jari-jarinya bergerak.

"Besok. 17.00. Kafe belakang fakultas. Tepat waktu."

Esoknya, langit mendung. Seolah tahu ada hal yang akan diakhiri.

Davin datang dengan wajah penuh harap, tapi ragu-ragu. Alya sudah duduk lebih dulu. Anggun. Dingin. Terjaga.

"Makasih udah mau ketemu."

"Aku gak datang buat kamu, Davin," ucap Alya tenang."Aku datang buat diriku. Karena aku layak menyelesaikan ini… dengan cara yang tidak menyakitkan lagi."

Davin menunduk.

"Aku… aku sadar aku salah. Aku kehilangan kamu. Dan itu kesalahan yang gak bisa aku tarik lagi."

Alya mengangguk pelan.

"Kamu benar. Kamu gak bisa tarik itu kembali. Tapi aku udah gak marah."

Davin mendongak, matanya berbinar sedikit.

"Kalau kamu gak marah… berarti kamu bisa maafin aku?"

"Maaf?" Alya tersenyum."Maaf sudah lama aku berikan. Tapi jangan samakan 'memaafkan' dengan 'mengizinkan masuk kembali'."

"Tapi—kita dulu…"

"Dulu," potong Alya cepat. "Itu kata kuncinya, Davin. Dulu."

Ia menatap langsung ke mata pria yang dulu ia cintai mati-matian.

"Aku mencintai kamu dari tempat yang paling polos dalam diriku. Tapi kamu mengkhianati itu dengan sadar. Bukan sekali. Bukan karena khilaf. Tapi karena kamu pikir aku gak akan tahu. Dan lebih buruk lagi… kamu pikir aku akan tetap tinggal."

Davin terdiam. Bibirnya gemetar. Tapi tak ada yang bisa dibantah. Karena semuanya benar.

"Aku gak minta kamu kembali," bisiknya."Aku cuma ingin tahu… apa aku pernah berarti?"

Alya menghela napas.

"Kamu pernah berarti. Tapi bukan berarti kamu pantas kembali."

"Aku bukan perempuan yang sempurna, Davin. Tapi aku tahu satu hal—aku layak dicintai tanpa disembunyikan, tanpa dibagi, tanpa ditukar."

Ia berdiri.

"Dan kamu? Kamu pantas belajar menyesal. Bukan untukku. Tapi untuk perempuan yang nanti kamu temui… semoga kamu gak lukai dia dengan luka yang sama."

Alya melangkah keluar. Hujan mulai turun rintik-rintik.

Ia tidak menoleh ke belakang. Karena ia sudah bukan lagi Alya yang menunggu.

Ia adalah Alya… yang tahu kapan harus meninggalkan meja,bahkan ketika kenangannya masih tertinggal di atasnya

More Chapters