Chapter 8: Suara dari Masa Lalu
Sudah satu minggu sejak malam itu. Sejak Ayra memilih untuk membuka lembaran baru bersama Ren, hari-hari terasa lebih ringan. Senyum mulai mudah terbit di wajahnya, dan malam tak lagi dipenuhi mimpi buruk.
Namun, kehidupan yang tenang seringkali tak bertahan lama.
Siang itu, Ayra sedang membantu di kedai teh milik Bu Warti—pemilik rumah tempat ia menyewa kamar—ketika ponselnya berdering. Nomor tak dikenal muncul di layar. Ragu, Ayra mengangkatnya.
"Halo?"
"Ini Ayra?"
Ayra terdiam. Suara itu... tak asing.
"Iya, ini Ayra. Siapa ini?"
"Aku... Karin. Adiknya Dimas."
Jantung Ayra seperti berhenti berdetak sejenak.
"Aku tahu aku tak pantas mengganggumu. Tapi ada sesuatu yang harus kamu tahu. Tentang Dimas."
Ayra memejamkan mata. Luka yang baru saja sembuh terasa seperti dibuka kembali dengan paksa.
"Aku sudah... selesai dengan Dimas," jawab Ayra hati-hati.
"Aku tahu. Tapi kamu juga berhak tahu kebenarannya."
"Kebenaran apa?"
"Dimas tak pernah meninggalkanmu karena keinginannya sendiri. Dia—dia didiagnosis dengan kelainan jantung bawaan. Saat itu, ia takut meninggalkanmu sebagai janda di usia muda. Dia pikir pergi tanpa jejak lebih baik... daripada melihatmu menunggunya mati."
Ayra terdiam. Pikirannya kosong. Nafasnya tercekat.
"Dia tak pernah berhenti mencintaimu, Ayra. Tapi dia terlalu pengecut untuk menghadapimu waktu itu."
Panggilan terputus. Ayra mematung, masih menggenggam ponsel dengan tangan gemetar. Ia tidak tahu harus marah atau menangis. Hatinya campur aduk.
Malam harinya, Ren menyadari perubahan sikap Ayra.
"Kau kelihatan jauh," katanya sambil mengaduk teh hangat di jembatan tempat biasa mereka bertemu.
Ayra menatap sungai yang tenang, bertolak belakang dengan pikirannya.
"Aku dihubungi adik Dimas tadi siang."
Ren tak bereaksi, tapi sorot matanya berubah.
"Aku tahu masa laluku belum sepenuhnya pergi. Tapi aku juga tahu satu hal..." Ayra menatap Ren. "Aku memilih tetap di sini. Denganmu."
Ren tidak menjawab. Ia hanya menyentuh tangan Ayra dan menatapnya dalam.
"Kalau begitu, mari kita hadapi masa lalu bersama. Bukan untuk mengulang, tapi untuk menutupnya... dengan cara yang benar."