LightReader

Chapter 10 - JEMBATAN CINTA KITA

Chapter 10: Di Balik Senyuman Ren

Hari-hari kembali tenang bagi Ayra. Setiap pagi ia membantu di kedai teh Bu Warti, dan setiap sore ia bertemu Ren di jembatan. Hati yang dulu retak kini perlahan sembuh—dijahit oleh kesabaran, kejujuran, dan waktu.

Namun, suatu sore saat senja mulai turun, Ren tampak berbeda. Ia datang lebih lambat dari biasanya, wajahnya pucat, dan senyum yang biasa menenangkan itu—terlihat dipaksakan.

"Ada yang salah?" tanya Ayra sambil menatapnya.

Ren menggeleng. "Tidak, hanya kurang tidur."

Tapi Ayra tahu Ren cukup baik untuk menyadari: ia sedang berbohong.

Mereka duduk di tepi jembatan seperti biasa, namun kali ini Ren tidak membuka buku sketsanya. Ia hanya diam, menatap air sungai yang tenang.

Ayra menyentuh tangannya. "Kalau kau butuh waktu sendiri, aku bisa menunggu. Tapi jangan berpura-pura semuanya baik-baik saja."

Ren menoleh, menatap Ayra lama.

"Ayra... apa kau percaya kalau setiap orang menyimpan sesuatu yang tidak ingin dibagi, bahkan pada orang yang paling mereka cintai?"

Ayra terdiam, tapi matanya menjawab: ya.

Ren menghela napas.

"Ada alasan kenapa aku selalu menggambar senja. Kenapa aku suka jembatan. Karena... semuanya mengingatkanku pada masa peralihan. Saat aku berada di antara dua dunia."

Ayra menatapnya lekat-lekat. "Kau tidak harus berkata semuanya sekarang. Tapi jangan simpan semuanya sendirian."

Ren menunduk. Untuk pertama kalinya, ia tampak rapuh.

"Aku punya saudara kembar," katanya pelan. "Namanya Reza. Dia... meninggal dua tahun lalu. Bunuh diri."

Ayra membeku.

"Dia lebih ceria, lebih berani, lebih hidup dari aku. Tapi dia tidak pernah bicara tentang kesakitannya. Tidak pada siapa pun. Termasuk aku." Ren menatap sungai, suaranya mulai bergetar. "Dan sampai sekarang, aku menyalahkan diriku karena tak pernah benar-benar melihatnya."

Ayra menggenggam tangannya lebih erat. "Ren... itu bukan salahmu."

"Aku tahu. Tapi setiap kali aku tertawa, aku merasa mencuri tawa yang seharusnya milik dia. Setiap kali aku merasa bahagia... aku merasa bersalah."

Ayra menatap Ren dengan mata berkaca-kaca.

"Kau tidak mencuri apa pun. Kau hanya... bertahan. Dan mungkin, kehadiranmu dalam hidupku adalah cara semesta menebus sesuatu—bukan menghukummu."

Ren memejamkan mata. Air mata akhirnya jatuh tanpa bisa ditahan.

Untuk pertama kalinya, Ayra memeluknya. Bukan sebagai wanita yang pernah terluka, tapi sebagai seseorang yang ingin menjadi tempat pulang bagi pria yang diam-diam menyimpan luka lebih dalam.

Dan malam itu, bukan hanya Ayra yang sembuh. Tapi juga Ren.

Mereka bukan dua orang yang sempurna. Tapi mereka adalah dua jiwa yang memilih untuk saling memahami—meski sama-sama belum selesai dengan luka masing-masing.

More Chapters