Chapter 9: Janji di Bawah Cahaya
Langit malam itu dipenuhi bintang, seolah tahu bahwa dua hati di bawahnya sedang menanti kejelasan. Jembatan cinta kembali menjadi tempat pertemuan—bukan untuk menghindar, tapi untuk berdamai.
Ayra duduk di tepi jembatan dengan Ren di sisinya. Ia belum bercerita lebih jauh tentang panggilan dari Karin. Tapi malam ini, ia ingin menuntaskan semua, agar kisah masa lalu tak lagi membayangi masa depannya.
"Ren..." Ayra membuka suara pelan.
"Hmm?"
"Aku ingin mengunjunginya. Dimas."
Ren terdiam sejenak. "Kamu yakin?"
"Aku tak mau terus menebak dan dihantui rasa bersalah atau kasihan. Aku butuh melihatnya... bukan sebagai orang yang pernah kucintai, tapi sebagai seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupku."
Ren menatapnya dalam. "Kalau begitu, aku akan ikut denganmu."
Ayra tersentak. "Kau tak harus—"
Ren tersenyum. "Aku tahu. Tapi aku mau."
Esok harinya, mereka pergi ke rumah sakit tempat Dimas dirawat. Ayra tak menyangka hatinya akan bergetar saat melihat wajah itu lagi—pucat, lebih kurus, tapi sorot matanya masih sama. Penuh penyesalan... dan cinta yang tertahan.
Dimas tersenyum lemah ketika melihat Ayra masuk bersama Ren.
"Aku pikir kau tak akan datang," bisiknya.
Ayra duduk di sampingnya. "Aku datang... bukan untuk kembali. Tapi untuk mengucapkan sesuatu yang tertunda."
Dimas mengangguk, pelan.
"Aku pernah sangat mencintaimu, Dimas. Tapi yang kau lakukan—meninggalkan tanpa penjelasan—itu membuatku hancur. Dan hari ini, aku tidak datang untuk membuka luka itu lagi. Aku datang untuk menutupnya. Dengan tenang. Dengan damai."
Air mata mengalir di mata Dimas.
Ren berdiri diam tak jauh dari pintu. Ia membiarkan mereka berbicara. Bukan karena ia cemburu, tapi karena ia tahu—ini bagian dari penyembuhan Ayra.
"Aku bahagia kamu bisa berkata begitu," ucap Dimas. "Dan aku senang... kamu tak sendiri."
Ayra menoleh pada Ren dan tersenyum. "Tidak. Aku tidak sendiri. Dan aku akan terus berjalan maju... bersamanya."
Sebelum pergi, Dimas menggenggam tangan Ayra untuk terakhir kalinya.
"Terima kasih... sudah memberiku kesempatan untuk minta maaf."
Malam harinya, mereka kembali ke jembatan. Tak banyak kata yang diucapkan, tapi suasananya berbeda. Lebih tenang. Lebih lega.
Ren menggenggam tangan Ayra erat.
"Aku tahu kamu wanita kuat," katanya. "Tapi jika suatu hari kamu lelah, biarkan aku jadi tempat kamu pulang."
Ayra menoleh padanya.
"Kalau begitu... aku janji, mulai hari ini, aku akan terus pulang padamu."
Di bawah cahaya remang dan hembusan angin lembut, dua hati yang dulu hancur kini mulai menyatu. Tidak dengan tergesa-gesa. Tapi dengan yakin.
Dan jembatan cinta itu—untuk pertama kalinya—merasa utuh.