Chapter 48 – Morning Silence, Brother's Thoughts (Keheningan Pagi, Pikiran Sang Kakak)
Vuyei meraih kantong spiritualnya sambil tertawa pelan dan malu-malu, pipinya merona merah karena efek anggur dan rayuan yang berhasil. Ia membungkuk sedikit dan berkata dengan suara menggoda, "Terima kasih banyak, kakak... kau sangat baik... sangat dermawan..."
Hei Nian, si kultivator yang matanya berbinar melihat senyuman Vuyei, tertawa sambil meneguk anggur dari gucinya. "Tenang saja, adik kecil, mari kita minum lagi. Malam ini hanya untuk bersenang-senang, bukan?"
Vuyei mengangguk dengan manja, mengayun-ayunkan gelas di tangannya. "Kalau begitu, untuk kakak yang baik hati!" serunya, lalu menenggak isinya dalam sekali teguk, membuatnya batuk kecil, namun tetap tersenyum genit.
Waktu berlalu cepat.
Sinar matahari pun telah hilang di balik pegunungan barat. Lentera-lentera di kedai mulai menyala satu per satu, memberi kehangatan dalam malam yang mulai menggigil.
Vuyei sudah terhuyung-huyung, tertawa sendiri dan menyandarkan tubuhnya ke salah satu meja. Di sekelilingnya, para kultivator lelaki yang sebelumnya tertawa dan menyombongkan harta mereka, kini mulai terbaring, mabuk berat, beberapa bahkan tertidur dengan mulut terbuka, sementara lengan mereka menggantung lemas ke lantai.
Zienxi yang sedari tadi duduk tenang di sudut kedai, berdiri perlahan. Tatapannya tajam, tapi tak ada emosi tergambar di wajahnya. Ia berjalan mendekati Vuyei dan berjongkok di hadapannya.
"Vuyei... ayo kembali," ucapnya pelan.
Vuyei membuka matanya separuh, tersenyum lemah, dan mengangguk pelan. "Uhm... ya... kakak Zienxi... aku capek..."
Zienxi pun menopangnya dengan satu tangan. Sebelum pergi, ia menoleh pada para kultivator yang terbaring tak sadarkan diri. Ia menatap sekeliling, memastikan tak ada saksi, lalu satu per satu memeriksa kantong spiritual mereka. Dalam diam, tangannya cepat dan terlatih. Ia mengambil pil, batu roh, bahkan satu jimat pelindung yang tersembunyi dalam lengan salah satu kultivator.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ia memasukkan semuanya ke kantong spiritual miliknya, lalu menggendong Vuyei dengan satu tangan dan terbang meninggalkan kedai.
Langit malam terbentang, penuh bintang, dan angin lembut membawa aroma anggur dari kota Feifei.
Tak lama, mereka tiba di rumah.
Zienxi membaringkan Vuyei di tempat tidur dengan hati-hati. Gadis itu sudah tertidur pulas, mulutnya masih sedikit tersenyum, seolah sedang bermimpi tentang harta dan anggur.
Zienxi duduk bersila di ruangan utama. Ia membuka kantong spiritualnya dan mulai mengeluarkan harta yang didapat sepanjang hari. Mereka mengambang satu per satu di hadapannya, diterangi cahaya dari lilin kecil.
Dua gulungan mantra tingkat rendah, satu kalung energi spiritual berwarna biru kehijauan yang berdenyut pelan seperti jantung, satu pedang roh kualitas menengah yang memancarkan aura tajam, dua pil pemulih energi spiritual, dan satu guci kecil berisi anggur berwarna ungu kebiruan.
Zienxi mengamati satu per satu.
"Guci ini... anggur penyembuh. Bisa berguna suatu saat nanti," gumamnya pelan.
Ia memutar dua pil di tangannya. "Pemulih energi spiritual. Sama pentingnya."
Tatapannya lalu beralih ke pedang dan kalung. Ia menarik napas pelan dan berkata, "Sisanya... akan kutukar dengan pil Aktivasi Nadi. Vuyei harus segera melangkah ke tahap berikutnya..."
Kemudian, ia mengatupkan mata, mulai bermeditasi, membiarkan malam berlalu dengan tenang seperti badai yang reda setelah menenggak kehangatan dari darah dan anggur.
Zienxi melanjutkan memeriksa isi kantong spiritual miliknya setelah mengamankan beberapa harta dari para kultivator yang telah mabuk semalam. Ia mengeluarkan beberapa benda tambahan: tiga pil dengan warna berbeda, dua batu roh tingkat rendah yang mengandung energi spiritual murni, dan satu jimat pelindung berwarna perak dengan simbol aneh yang samar menyala. Cahaya redup dari jimat itu berdenyut seolah bernapas, memberikan rasa hangat meski hanya disentuh lewat tatapan.
“Yang ini…” gumamnya pelan, matanya menatap jimat itu dalam-dalam. “Sepertinya cocok untuk Vuyei.”
Ia terdiam sejenak, lalu dengan hati-hati memasukkan semua benda itu kembali ke dalam kantong spiritual. Jemarinya bergerak pelan, memastikan semuanya tertata rapi, seakan menyimpan harapan di dalamnya. Ia menyimpan kantong itu, lalu bersila dan mulai berkultivasi di pojok ruangan tanpa menyalakan lampu ataupun lilin. Hanya cahaya bulan yang menembus kisi-kisi jendela menyinari wajahnya.
Malam pun berlalu dalam keheningan.
Fajar perlahan menyelimuti desa. Udara pagi segar, kabut tipis menyelimuti halaman depan rumah Lawzi Zienxi. Ia membuka matanya perlahan, lalu menghembuskan napas panjang dari sesi kultivasinya. Tubuhnya terasa sedikit lebih ringan, meski kelelahan masih tertinggal samar.
Dengan tenang, ia bangkit, membuka pintu, dan melangkah ke beranda rumah. Di tangannya, sebuah cangkir tanah liat berisi teh panas mengepul. Aroma daun teh lokal memenuhi udara pagi yang masih sunyi. Ia duduk di kursi kayu panjang, memandangi desa kecil yang mulai hidup kembali beberapa warga mulai berjalan, menyiram tanaman, dan membawa keranjang berisi barang dagangan.
Beberapa orang menyapa sopan.
“Pagi, Tuan muda Lawzi!”
Zienxi mengangguk kecil, membalas ramah tanpa kata. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat, tapi tulus.
Di dalam rumah, Vuyei masih tergolek di ranjang. Efek dari anggur kemarin masih membekas. Ia menggerutu pelan dan membalikkan badan, lalu akhirnya membuka mata sambil mengerjap pelan.
“Kak?” panggilnya dengan suara serak dan mengantuk. “Kak… Kau di mana?”
“Depan,” sahut Zienxi singkat, suara tenangnya terdengar hingga ke dalam rumah.
Dengan langkah berat dan sedikit sempoyongan, Vuyei berjalan keluar. Rambutnya masih berantakan, dan wajahnya pucat sedikit kemerahan karena efek mabuk belum sepenuhnya hilang.
Saat melihat kakaknya duduk sambil menyeruput teh dengan damai, ia menyengir lemah.
“Kakak rajin sekali, pagi-pagi begini sudah duduk menikmati teh… Seakan dunia ini damai dan tak pernah menyakitimu,” ucapnya sambil duduk di sebelahnya, berusaha mencairkan suasana.
Zienxi tetap memandangi jalanan desa di depannya, tak menjawab, hanya mengangkat cangkir ke bibirnya lagi.
Vuyei menghela napas panjang.
“Huh… Sudah kuduga kau akan seperti ini. Diam seperti batu, serius seperti kakek tua. Kau ini hidup di zaman sekarang atau di zaman batu, sih?” katanya sambil menatap kakaknya dari samping.
Zienxi akhirnya melirik sebentar, lalu mengalihkan pandangan lagi.
“Zaman batu tidak punya teh sebaik ini.”
Vuyei mengerjapkan mata, lalu tertawa kecil.
“Ah, akhirnya kau bicara!”
Zienxi menaruh cangkirnya dan berkata pelan, “Jika kau bangun lebih awal, kau juga bisa menikmatinya.”
“Kalau tidak mabuk, mungkin aku bisa,” sahut Vuyei cepat sambil menggaruk kepalanya. “Tapi jujur saja, kak… Semalam aku senang. Rasanya seperti punya teman.”
Zienxi tidak menjawab, namun matanya sedikit melembut.
Vuyei menatap kakaknya, lalu berkata dengan nada penasaran, “Kak… Kenapa kita tidak bergabung saja dengan sekte? Di luar sana banyak sekte bagus. Kalau kita masuk, kita bisa dapat bantuan, teknik, bahkan pelindung. Bukankah itu mempercepat kultivasi kita?”
Zienxi menatap lurus ke depan, lalu menjawab dengan suara tenang, “Jika kita bergabung dengan sekte, maka kita juga harus mengikuti aturan mereka. Tidak semua sekte memberi kebebasan. Beberapa justru memaksa murid untuk melakukan hal yang tak mereka inginkan.”
“Tapi… kan tidak semua sekte seperti itu?” sanggah Vuyei, matanya berkedip cepat. “Kalau kita temukan sekte yang baik, itu bisa jadi rumah untuk kita. Kita juga bisa punya teman banyak, bisa tukar pikiran, belajar hal baru. Kau tidak bosan hanya kita berdua terus?”
Zienxi menatap Vuyei kali ini. Tatapannya tak keras, tapi dalam.
“Aku tidak butuh rumah lainnya. Rumah kita sudah cukup. Dan aku tidak peduli berapa banyak teman yang bisa didapat… Jika tidak ada tujuan yang jelas, untuk apa?”
Vuyei mendengus pelan dan berpaling, menatap desa yang mulai ramai.
“Kadang… aku iri dengan yang lain, yang punya sekte dan teman seangkatan. Tapi…”
Ia menoleh lagi dan tersenyum kecil.
“…kalau aku masuk sekte tapi tidak bersamamu, itu rasanya seperti… makan tanpa rasa. Tidak lengkap.”
Zienxi terdiam, menatap adiknya dengan sorot yang tak bisa dibaca.
“Aku tidak akan menghalangi jika kau ingin bergabung dengan sekte. Jika memang itu keputusanmu, ambillah.”
“Tidak, kak!” jawab Vuyei cepat. “Aku tidak mau kalau tidak ada kau. Aku cuma… penasaran saja. Tapi kalau kakak tetap memilih jalan sendiri, aku juga ikut. Kita ini dua sisi dari satu akar, kan?”
Zienxi tersenyum samar, sangat tipis.
“Kalau kau mabuk lagi, aku akan ikat kau di tiang desa.”
Vuyei tertawa keras, hampir tumpah dari bangkunya.
“Aku akan pastikan anggurnya tak sekuat kemarin! Atau… aku akan minum lebih banyak agar bisa lari dari ikatan itu!”
Zienxi menggeleng pelan, tapi matanya terlihat hangat.
Udara pagi menyelimuti mereka. Di tengah keheningan itu, dua saudara ini duduk berdampingan, tanpa banyak kata lagi, namun dengan hati yang perlahan semakin seirama.
Vuyei melirik ke arah kakaknya yang duduk tenang, masih memegang cangkir teh yang kini tinggal separuh isinya.
“Kaak…” Vuyei memanggil dengan nada manja, menyeret suara seperti biasa saat ia sedang mencoba membujuk sesuatu.
Zienxi melirik sekilas tanpa banyak perubahan di wajahnya. “Hm?”
“Nanti sore, ayo kita pergi ke pusat kota,” kata Vuyei dengan mata bersinar. “Kau tahu, kedai tempat kita makan waktu itu… tempat yang anggurnya harum banget dan makanannya enak! Aku ingin minum anggur di sana, dan mungkin makan ayam madu panggang yang renyah…”
Zienxi menarik napas pelan, lalu menyesap tehnya lagi sebelum menjawab singkat, “Aku tidak minum anggur.”