LightReader

Chapter 49 - Chapter 49 – A Sip of Peace

Chapter 49 – A Sip of Peace (Seteguk Kedamaian)

Vuyei memonyongkan bibirnya, lalu bersandar makin malas ke tiang. “Haaah... kau selalu begitu. Tidak minum anggur, tidak suka keramaian, tidak suka aturan sekte, tidak suka teman baru... apa sebenarnya yang kau suka, Kak?”

“Teh yang pahit, tempat yang sunyi, dan tidak terlalu banyak bicara,” jawab Zienxi datar, namun nada suaranya terdengar seperti sedang menahan tawa.

Vuyei memutar mata. “Ughhh… membosankan sekali hidupmu, tahu tidak? Apa kau tidak ingin sesekali bersenang-senang, berdansa di bawah lampu lentera kota, atau sekadar tertawa keras bersama orang-orang aneh?”

Zienxi menatap lurus ke arah jalanan desa, melihat anak-anak kecil berlarian mengejar seekor ayam. “Aku sudah cukup dengan keanehanmu,” katanya lirih, hampir seperti bercanda.

Vuyei langsung tertawa kecil, menutupi mulutnya dengan punggung tangan. “Oh, jadi aku ini cukup, ya? Wah, kakakku ini ternyata diam-diam mengakui bahwa aku adalah hiburan hidupnya!”

Zienxi menoleh sedikit, akhirnya mengangkat alis. “Aku tidak bilang begitu.”

“Tapi juga tidak membantah,” jawab Vuyei cepat, menyeringai puas. “Yah, setidaknya ikut saja menemaniku nanti. Tak harus minum anggur. Duduk di seberangku saja, melihatku menikmati minuman, mungkin akan jadi hiburanmu juga. Aku bisa menyanyi, menari sedikit, atau menggoda pelayan tampan di sana. Mau?”

Zienxi mendengus, lalu menghabiskan tehnya yang tersisa. “Kalau aku ikut, itu bukan karena anggur atau pelayan tampan, tapi karena kau akan terus merengek seperti anak lima tahun kalau aku tidak ikut.”

“Yay!” Vuyei langsung bangkit berdiri dan berputar satu kali di tempat, “Kau akan lihat, aku akan tampil secantik mungkin malam ini. Siapa tahu ada kultivator tampan yang bisa kutipu sedikit untuk mendapatkan pil langka!”

Zienxi berdiri perlahan, membawa cangkir ke dalam rumah. “Jangan sampai berakhir dengan luka seperti sebelumnya. Aku tidak akan menyelamatkanmu dua kali dari kultivator yang cemburu.”

Vuyei tertawa keras, menepuk dada. “Tenang, aku sudah belajar dari yang lalu. Sekarang aku tahu cara membuat mereka memberi sebelum sempat berpikir!”

Zienxi hanya menggeleng pelan. “Dunia ini penuh dengan serigala. Tapi terkadang, adikku lebih berbahaya dari mereka.”

“Aku anggap itu pujian.” Vuyei menyeringai lebih lebar, lalu mengangkat tangan tinggi-tinggi. “Sampai nanti sore, Kak! Aku akan bersiap-siap~”

Sinar matahari senja menyinari seluruh kota Feifei, menciptakan semburat keemasan yang menari di permukaan rumah-rumah tua dan jalan-jalan berbatu. Di desa kecil di sebelah timur kota, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah dan daun yang mengering. Zienxi berdiri di depan rumahnya, mengenakan jubah hitam yang sederhana namun berkelas. Rambut panjangnya tergerai bebas, berkilau diterpa cahaya matahari sore, membuat wajah tampannya tampak lebih tajam dan misterius.

Di sampingnya, Vuyei tampak cerah dan anggun dalam balutan jubah putih bersih. Rambut panjangnya diikat rapi di belakang, namun sebagian dibiarkan menjuntai dan berkibar bersama angin. Matanya yang berbinar memandang kakaknya dengan semangat.

"Ayo, Kak! Jangan lama-lama berdiri, kita ke kedai semalam lagi!" serunya sambil menarik tangan Zienxi dengan senyum penuh harap.

Zienxi hanya mengangguk pelan, membiarkan adiknya menyeretnya keluar rumah.

Saat mereka berjalan di jalan desa, beberapa warga yang melihat mereka segera menyapa. Seorang pria tua dengan tongkat di tangan dan senyum ramah menghentikan mereka.

"Heh, kalian berdua mau ke mana sore-sore begini?" suara seraknya terdengar penuh keakraban. Dialah Pak Tua Sa'ren, penjaga gudang tua di ujung jalan.

Vuyei segera melepaskan tangan kakaknya sebentar dan membungkuk sopan. "Kami mau ke pusat kota, Pak Tua. Ingin makan dan minum sedikit di kedai."

Pak Tua Sa'ren terkekeh kecil, "Ah, anak muda memang waktunya bersantai. Tapi jangan terlalu banyak minum ya, Vuyei. Kemarin kau hampir tak bisa berdiri!"

"Hehe... itu cuma karena anggurnya terlalu enak, Pak. Hari ini aku janji tidak akan mabuk. Ada Kak Zienxi yang jaga," jawab Vuyei sambil menepuk lengan kakaknya, membuat Zienxi hanya mendesah halus.

Pak Tua Sa'ren melambai, "Baiklah, selamat menikmati malam kalian."

Mereka melanjutkan perjalanan, menyusuri jalanan kota yang perlahan mulai ramai dengan lentera-lentera yang menyala satu per satu. Setelah beberapa waktu berjalan, akhirnya kedai yang mereka tuju tampak dari kejauhan, dengan lampion merah bergelantungan dan suara tawa dari dalam yang menggema di udara.

Saat keduanya memasuki halaman kedai, pemiliknya seorang pria paruh baya bertubuh gempal menyambut mereka dengan antusias.

"Nah! Kalian lagi!" serunya sambil melambaikan tangan. "Ayo, ayo masuk. Hari ini aku punya ayam madu yang lebih empuk dari kemarin!"

Vuyei tertawa kecil dan melirik ke arah kakaknya sebelum menjawab, "Satu kendi anggur, ayam madu panggang, dan mantou, ya!"

Pemilik kedai mengangkat alis. "Hanya satu kendi anggur? Kalian berdua?"

Vuyei menunjuk kakaknya sambil berkata cepat, "Iya, satu saja. Dia ini… tidak minum anggur. Terlalu serius buat urusan yang pahit-pahit."

Zienxi hanya melirik sekilas tanpa menanggapi, sementara pemilik kedai tertawa dan mengangguk paham. "Baiklah, tunggu sebentar, aku akan siapkan pesanan kalian!"

Mereka memilih duduk di sudut dekat jendela, tempat di mana cahaya senja menyinari meja kayu dan suasana terasa lebih hangat. Vuyei duduk sambil menyandarkan dagunya di tangan dan menatap kakaknya yang tetap diam seperti biasa.

"Kak," gumamnya pelan, "aku tahu kau selalu tampak dingin… tapi jujur, kau itu cocok banget jadi penjaga kuil. Kalau saja kuil itu tidak penuh debu dan sepi, aku yakin kau akan jadi sesepuh yang disembah para kucing liar."

Zienxi mengangkat alis, matanya tak berubah namun ada sedikit keheranan dalam nadanya, "Kucing liar?"

"Iya!" Vuyei tertawa, suaranya mengalun ringan. "Karena kau sangat tenang. Kucing pun pasti nyaman di dekatmu. Bahkan mungkin kau bisa jadi Raja Kucing!"

"Aku tidak suka kucing," balas Zienxi singkat.

"Aku tahu." Vuyei mendesah dramatis, lalu menyandarkan punggung ke kursi. "Tapi coba bayangkan saja... Kalau dunia ini penuh masalah, dan satu-satunya penyelamatnya adalah sekendi anggur, sepotong ayam madu, dan... satu kakak yang tidak bisa bercanda apa yang harus kulakukan?"

Zienxi tak menjawab, tapi sudut bibirnya bergerak sedikit, hampir tak terlihat.

Melihat itu, Vuyei menatapnya curiga. "Tunggu… kau hampir tersenyum barusan, ya kan? Aku melihatnya. Jangan coba-coba menyangkal!"

"Aku tidak menyangkal," jawab Zienxi kalem.

"Berarti kau mengaku!" seru Vuyei, menunjuk kakaknya dengan penuh kemenangan. "Satu langkah lagi menuju manusia normal!"

Zienxi menghela napas. "Kau terlalu banyak bicara."

"Aku banyak bicara karena kau diam terus!" Vuyei menatap jendela lalu melanjutkan, suaranya tiba-tiba lebih lembut, "Tapi terima kasih, Kak… sudah menemaniku ke sini. Rasanya seperti dulu… waktu Ibu dan Ayah masih hidup."

Zienxi menatap adiknya sesaat, lalu pelan berkata, "Anggur mungkin tidak bisa menghapus luka… tapi setidaknya, bisa memberimu sedikit ketenangan. Nikmatilah, selama kau bisa."

Vuyei hanya mengangguk pelan, dan senyumnya berubah menjadi lebih lembut bukan tawa, tapi kehangatan yang tulus. Tak lama kemudian, pemilik kedai datang membawa makanan dan anggur mereka, meletakkannya di meja dengan penuh semangat.

Malam itu pun perlahan turun, membawa kehangatan dari seteguk anggur dan percakapan yang menyejukkan hati.

Keesokan paginya, matahari baru saja muncul dari balik pegunungan jauh di timur, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan biru muda. Angin pagi yang lembut menyapu halaman rumah, menerpa kain jubah hitam yang dikenakan Zienxi. Ia berjalan keluar rumah sambil membawa batang pancing bambu yang telah lama ia simpan.

Baru beberapa langkah ia menjejakkan kaki di tanah berembun, suara pintu terbuka tiba-tiba terdengar dari belakang.

“Kak! Tunggu!” seru Vuyei, tergopoh-gopoh keluar dengan rambut panjangnya masih setengah terikat, dan jubah putih yang kebesaran di tubuh mungilnya melambai-lambai ditiup angin.

Zienxi menoleh sedikit, hanya mengangkat alis. “Kau mau ikut?”

“Tentu saja! Kau pikir aku akan membiarkanmu bersantai-santai sendirian tanpa aku? Mana boleh!” katanya sambil tersenyum lebar.

Zienxi menghela napas ringan. “Cepatlah. Aku tidak mau ketinggalan ikan besar hanya karena kau sibuk memilih sepatu.”

“Aku tidak pakai sepatu!” balas Vuyei sambil mengangkat kakinya, menunjukkan telapak kakinya yang basah oleh embun. “Alam adalah sandal terbaik, kak.”

Zienxi hanya menggeleng pelan dan mulai berjalan. Vuyei dengan riang mengejarnya, sesekali melompat di atas batu-batu kecil sepanjang jalan setapak menuju sungai.

Tak lama, mereka tiba di tepi sungai jernih yang berkilau diterpa sinar mentari pagi. Zienxi duduk di atas batu datar besar yang menghadap aliran tenang. Ia mulai menyiapkan umpan dan melemparkan kail ke tengah sungai.

Vuyei duduk di sampingnya, tapi bukannya diam, ia malah mencelupkan tangannya ke air dan memercikkan air dingin ke wajahnya. Tak lama kemudian, ia mulai mengejar kupu-kupu kecil berwarna biru yang beterbangan di atas rerumputan.

Zienxi melirik sebentar dan mengerutkan kening. “Jika kau terus mengaduk-aduk air seperti itu, ikan tidak akan datang.”

Vuyei menoleh dengan wajah memelas, kedua tangannya menggenggam lututnya. “Maaf, kak… aku hanya ingin memberi semangat ke ikan-ikan agar segera datang…”

“Mereka justru takut. Bukan datang, malah kabur ke hulu,” kata Zienxi, kali ini dengan nada datar tapi bibirnya menahan senyum.

“Baiklah… aku akan diam. Seperti batu. Seperti patung. Seperti... kakakku yang tidak pernah senyum itu.”

Zienxi menahan tawa, tapi tetap diam.

Vuyei menghela napas panjang dan berpura-pura duduk tenang. “Zienxi yang pendiam, Zienxi yang dingin, Zienxi sang pangeran beku dari Utara. Tapi saat tidur tetap saja ngiler.”

More Chapters