LightReader

Chapter 50 - Chapter 50 – Afternoon Flame and Laughter

Chapter 50 – Afternoon Flame and Laughter

Zienxi menoleh. “Aku tidak...”

“Ngiler! Aku lihat sendiri semalam!” potong Vuyei cepat, lalu tertawa keras.

Zienxi menolehkan pandangannya kembali ke sungai. “Kau tahu terlalu banyak. Harusnya kupancing kau saja, bukan ikan.”

“Kau tidak bisa, kak. Aku terlalu licin. Seperti ikan emas legendaris dari Danau Lianwu!” katanya sambil menggerakkan tangannya menyerupai sirip ikan.

Beberapa saat kemudian, ujung pancing Zienxi mulai bergetar.

“Kak! Itu bergerak!” teriak Vuyei sambil berdiri, matanya berbinar.

Zienxi segera menarik perlahan, tubuhnya condong ke depan, ekspresinya serius.

“Hmm, sepertinya besar...,” gumamnya.

“Tarik kak! Ayoo! Gunakan seluruh kekuatan darah Lawzi!” teriak Vuyei dengan semangat.

Dengan satu tarikan kuat, Zienxi mengangkat kailnya, seekor ikan besar berwarna perak melayang dari sungai, terbang menuju daratan.

Namun...

PLAK!

Ikan itu mendarat tepat di wajah Zienxi, membuat jubah dan wajahnya basah kuyup. Siripnya masih mengepak-ngepak pelan di pipi Zienxi.

Vuyei terdiam selama dua detik.

Lalu tawa meledak dari mulutnya. “HAHAHAHA! Kak! Lihat wajahmu! Itu ikan atau topeng air suci? Hahaha! Ini karma dari para ikan!”

Zienxi menarik ikan itu pelan dari wajahnya, menatap Vuyei dengan pandangan datar. “Kau tertawa terlalu keras. Aku takut ikan lain jadi trauma dan tidak mau ditangkap.”

“Tidak, mereka pasti datang! Mereka ingin melihat pertunjukan ‘Zienxi vs Ikan Episode 2!’” sahut Vuyei sambil menepuk-nepuk perutnya yang sakit karena tertawa.

Zienxi mengangkat alis. “Kau mau coba sendiri?”

“Tidak ah. Aku takut nanti aku yang ditarik ke sungai. Tapi... kalau ikan itu bisa memilih, aku yakin mereka akan pilih diriku. Aku lebih manis,” katanya sambil mengedipkan mata.

Zienxi menghela napas panjang. “Ya, manis seperti jebakan.”

“Hm?” Vuyei pura-pura bingung.

“Cantik di luar, tapi di dalam penuh ide-ide aneh yang berbahaya.”

“Haha! Ya benar juga. Tapi ide-ide aneh itulah yang bikin hidup kakak tidak membosankan, kan?”

Zienxi menoleh dan tersenyum tipis. “Mungkin.”

Mereka duduk berdua dalam diam untuk beberapa saat, ditemani suara aliran air, nyanyian burung, dan cahaya pagi yang menari di atas permukaan sungai.

Matahari pagi belum sepenuhnya naik saat Zienxi dan Vuyei masih duduk di tepian sungai, ditemani suara gemericik air dan cuitan burung dari pepohonan. Zienxi masih tenang dengan kailnya, sementara Vuyei menyandarkan dagunya ke lutut, matanya menerawang jauh.

“Kak…” suara Vuyei pelan tapi terdengar jelas. “Sampai kapan kita tinggal di desa ini?”

Zienxi tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap permukaan air yang tenang, seolah mencari jawaban di dalam alirannya. Angin semilir meniup rambutnya, lalu perlahan ia bicara.

“Entahlah... Mungkin 20 tahun, 30 tahun... atau bahkan 50 tahun,” katanya santai, seolah menyebutkan jumlah hari biasa.

“A—apa? Lima puluh tahun?!” Vuyei langsung mendongak, wajahnya penuh ekspresi terkejut. “Kita sekarang sudah hampir lima puluh tahun, Kak! Kalau tinggal lima puluh tahun lagi, berarti umur kita seratus tahun!”

Zienxi mengangkat alis. “Lalu? Seratus tahun itu masih muda untuk kultivator. Untuk manusia biasa, iya, mungkin mereka sudah bongkok, jalan pakai tongkat, gigi tinggal dua... Tapi kita? Mungkin masih tetap secantik dan setampan ini.” Ia menyeringai kecil sambil melempar pandangan iseng ke adiknya.

Vuyei mencibir. “Kalau begini terus, Kak, aku takut wajahku ikut jadi seperti ikan asin. Terpapar angin desa setiap hari, kulit bisa keriput sebelum waktunya!”

Zienxi tertawa pelan. “Kalau begitu, jangan lupa pakai masker lumpur spiritual tiap pagi. Biar awet muda.”

“Aku serius, Kak. Apa kita tidak akan pergi ke tempat lain? Mencari harta karun, bertemu orang-orang aneh, masuk gua misterius seperti cerita-cerita kultivator yang dulu Kakak ceritakan?”

Zienxi menghela napas, lalu menatap mata adiknya. “Kau benar. Aku pernah bilang seperti itu. Tapi... hidup bukan selalu tentang berlari ke ujung dunia. Kadang, diam dan mengamati pun adalah perjalanan.”

Vuyei menatap kakaknya lama, sebelum berkata lirih, “Tapi aku takut waktu akan habis sebelum kita benar-benar hidup.”

Zienxi tersenyum tipis. “Kita lihat saja nanti. Untuk saat ini… nikmati saja pagi ini, suara air, dan… suara perutmu yang sepertinya mulai lapar.”

“Kakak!” Vuyei tertawa sambil melempar daun ke arah Zienxi. “Aku cuma lapar akan petualangan!”

Zienxi mengangkat ember kosong. “Kalau begitu, bantu cari kayu bakar. Aku akan memanggang petualangan ini saat siang nanti.” Ia menunjuk ikan yang tadi mereka tangkap.

Mereka tertawa bersama, dalam kehangatan pagi yang terasa begitu sederhana, namun penuh makna bagi dua saudara yang pernah kehilangan segalanya.

Siang hari, cahaya mentari mulai condong ke arah barat, membias hangat di antara dedaunan pepohonan yang bergerak pelan tertiup angin. Zienxi dan Vuyei telah kembali ke rumah mereka, dengan keranjang berisi beberapa ikan segar dan tumpukan kayu bakar di tangan Vuyei. Aroma tanah yang sedikit lembap bercampur dengan segarnya ikan menandai hari yang sederhana tapi penuh kehangatan.

Di halaman belakang rumah, Zienxi duduk bersila dengan sebilah pisau kecil di tangan. Dia mulai membersihkan satu per satu ikan dengan gerakan teratur dan tenang. Sisiknya dikikis, isi perutnya dibuang, lalu dibasuh dengan air dari kendi di sampingnya.

Vuyei datang membawa mangkuk kecil berisi bumbu rempah yang sudah dia racik di dapur. “Aku tidak tahu ini cocok atau tidak buat ikan sungai, tapi kupakai yang wangi-wangi aja,” katanya sambil duduk bersimpuh di samping kakaknya, lalu menyalakan api dengan batu pemantik yang sudah lama mereka simpan.

“Kau taruh jahe segar di dalamnya?” tanya Zienxi tanpa mengalihkan pandangannya dari ikan.

“Ada… sedikit. Tapi lebih banyak merica. Aku mau lihat kau kepedasan,” jawab Vuyei sambil nyengir.

Zienxi menoleh singkat dengan ekspresi datar. “Jika nanti lidahku terbakar, ku suruh kau makan semua sisanya.”

“Aku tidak keberatan! Selama tidak harus membersihkan ikannya satu-satu seperti dirimu itu,” kata Vuyei sambil mengambil satu ikan yang sudah dibumbui dan menusukkannya ke batang bambu.

Zienxi memberikan satu lagi ikan yang sudah bersih, “Ini, bakar sendiri. Jangan sampai gosong seperti waktu itu.”

“Waktu itu salah kayunya, bukan salahku,” sanggah Vuyei dengan nada pura-pura tersinggung.

“Kau bakar di api besar seperti mau memanggang naga, ya jelas hangus. Kecuali kau pikir ikan akan berevolusi jadi ayam bakar.”

Vuyei tertawa keras sambil mulai memutar ikan di atas bara. “Eh, tapi serius, kau tahu tidak? Kadang aku merasa kita seperti pasangan suami istri tua yang tinggal di pinggir desa. Hampir setiap hari nyari ikan, bakar, lalu tidur cepat.”

Zienxi mengangkat alis, menatap Vuyei dengan wajah serius. “Kalau begitu, kau istri tuanya.”

“Eh?? Kenapa aku??” Vuyei memelototkan matanya.

“Kau yang bawel, suka ngatur, dan terlalu sering nyinyir kalau aku tidak makan sayur,” jawab Zienxi, kali ini dengan senyum tipis yang jarang terlihat.

“Aku nyinyir karena kakak makannya cuma ikan sama nasi! Itu bukan pola makan sehat!”

“Kita hidup di dunia kultivasi, Vuyei. Pola makan sehatmu kalah sama pil.”

“Tetap aja. Kalau nanti kakak sakit, jangan salahkan aku.”

Zienxi menatap ikan yang hampir matang di tangannya. “Kalau aku sakit, kau yang masak sup. Tapi jangan pakai merica segunung seperti tadi.”

Mereka pun tertawa bersama, nyala api membias di wajah mereka, memperlihatkan kehangatan dua jiwa yang sudah melewati banyak hal, tragedi, kesedihan, kesendirian, tapi juga kebersamaan dan kedamaian yang tak ternilai. Ikan mulai matang satu per satu, aroma bumbunya menyebar ke seluruh halaman. Hari itu, dunia terasa lebih kecil, lebih sunyi, dan lebih hangat di tengah aroma bakaran dan candaan ringan antara kakak dan adik yang telah menjadi segalanya satu sama lain.

Sore menjelang, langit mulai dilukis warna oranye keemasan. Angin lembut meniup dedaunan, dan aroma ikan bakar yang masih menempel di pakaian mereka perlahan terganti dengan udara segar dari perbukitan desa. Setelah kenyang menyantap hasil tangkapan mereka pagi tadi, Vuyei menepuk pelan tangan kakaknya.

“Kak, ayo jalan-jalan sebentar. Lihatlah, anak-anak udah main di jalan. Katanya malam ini ada perayaan, ingat?” katanya sambil tersenyum, menggeret tangan kakaknya yang masih duduk santai di serambi rumah.

Zienxi menatap langit sebentar, lalu mengangguk pelan. “Baiklah, tapi jangan menyuruhku melakukan hal aneh di depan umum. Aku tidak bertanggung jawab kalau desa ini mendadak jadi sunyi karena semua orang kabur.”

Vuyei tertawa geli. “Tenang saja, aku tidak tega mempermalukanmu. Kita hanya jalan-jalan santai. Kalau pun ada yang lari, paling karena mereka takut melihat kakakku tersenyum.”

Zienxi menatap adiknya sekilas. “Lucu. Sangat lucu.” Tapi sudut bibirnya terangkat, dan ia tersenyum tipis.

Mereka berjalan menyusuri jalanan desa. Anak-anak kecil berlari riang sambil meniup seruling dari batang bambu, beberapa memanggil mereka, “Kakak Vuyei! Kak Zienxi!” sambil melambaikan tangan. Beberapa orang tua terlihat sibuk menggantung lentera kertas di depan rumah-rumah. Lentera-lentera itu berwarna-warni, dengan lukisan naga, bunga, dan simbol-simbol keberuntungan.

Seorang ibu tua menyapa mereka sambil membawa keranjang penuh daun aromatik, “Ah, kalian berdua akhirnya keluar rumah juga! Kukira kalian tenggelam dalam dunia kultivasi.”

Vuyei langsung tertawa dan menyambut dengan riang. “Kalau aku mungkin tenggelam di dunia tidur siang, Bu Hanye. Tapi kakakku ini… lebih sering tenggelam dalam diamnya.”

Zienxi hanya tersenyum dan membungkuk hormat kecil. “Selamat sore, Bu. Aku lebih nyaman diam daripada berkata yang membuat orang bingung.”

“Tapi kadang justru diammu yang membuat orang tambah bingung, kak!” sela Vuyei cepat, disambut tawa ringan para warga.

More Chapters