Chapter 51 – Lanterns of the Quiet Night (Lentera di Malam yang Tenang)
Mereka pun diajak mengobrol di bawah pohon besar dekat balai desa. Beberapa lelaki tua bercerita soal masa mudanya ikut perayaan tahunan, bagaimana dulu lentera bisa terbang setinggi langit meski tanpa bantuan teknik spiritual. Beberapa anak muda mendekat, penasaran dengan cerita dan ikut nimbrung.
“Apa para kultivator juga ikut perayaan seperti ini?” tanya seorang pemuda sambil menggantung lentera.
Zienxi menjawab tenang, “Dulu… mungkin tidak. Tapi aku dan Vuyei sudah cukup kenyang dengan dunia yang gaduh. Perayaan desa seperti ini justru lebih damai.”
Vuyei mengangguk. “Dan menyenangkan. Apalagi kalau makanannya enak.”
“Iya!” celetuk seorang bocah. “Tapi Kak Zienxi harus ikut lomba menyalakan api unggun, ya!”
“Aku takut malah menyalakan api unggun dari langit, nanti malah hujan bintang,” sahut Zienxi datar, membuat yang lain tertawa.
Mereka kemudian berpencar untuk membantu persiapan. Vuyei bergabung dengan para wanita di dapur desa. Ia membantu memotong buah-buahan, mencicipi sup, dan tertawa-tawa saat dimarahi karena mencicip terlalu banyak.
“Kamu bukan tukang rasa, Vuyei! Ini bukan latihan buat jadi juri masak!” tegur salah satu ibu sambil tersenyum.
“Anggap saja aku menjaga rasa tetap konsisten, Bu. Kan kalau rasanya enak, semua senang,” jawab Vuyei dengan ekspresi polos.
Sementara itu, Zienxi bergabung bersama para lelaki yang sedang mendirikan tiang untuk lentera gantung dan menyusun kayu untuk api unggun. Ia membantu mengangkat balok besar dengan mudah, membuat beberapa pemuda berdecak kagum.
“Wah, Kak Zienxi… satu tangan saja cukup ya?” tanya salah satu dari mereka.
“Kalau dua tangan kugunakan, mungkin malah pohonnya ikut tercabut,” jawab Zienxi santai.
“Serius?”
“Tidak.”
Tawa pun kembali pecah. Meski kekuatan spiritualnya luar biasa, sikap tenang dan candaan datarnya membuat para warga merasa nyaman. Tidak ada rasa takut, hanya keakraban yang terjalin dengan tulus.
Menjelang malam, lentera-lentera mulai dinyalakan satu per satu. Wajah desa bersinar hangat dengan cahaya oranye dan merah yang lembut, seperti menyambut kisah yang akan dimulai malam itu kisah sederhana, tapi abadi dalam ingatan.
Langit malam dihiasi ribuan bintang, seolah ikut merayakan sukacita yang sedang berlangsung di Desa. Lentera-lentera bercahaya hangat menggantung di setiap sudut rumah dan jalan, menari lembut ditiup angin lembah yang sejuk. Api unggun besar menyala di tengah lapangan, menghangatkan suasana dan memantulkan bayangan-bayangan penuh nostalgia di wajah para penduduk.
Zienxi berdiri tak jauh dari api unggun, kedua tangannya diselipkan ke dalam lengan jubahnya yang sederhana. Wajahnya tetap tenang, tak terganggu oleh hiruk-pikuk atau musik tradisional yang dimainkan oleh para pemuda desa.
“Wajahmu itu, Kak…” ucap Vuyei sambil mendekat, membawa dua cangkir minuman hangat. “Kalau orang luar lihat, dikira kamu lagi menghakimi perayaan ini.”
Zienxi menerima satu cangkir, mengangguk kecil. “Aku hanya... memperhatikan.”
“Perhatikan apanya?” Vuyei menoleh cepat, berbisik dengan nada main-main. “Para janda muda?”
Zienxi menatapnya tanpa ekspresi. “Kamu lupa siapa yang bisa kutendang sampai ke atap balai desa?”
Vuyei terkekeh, meneguk minumannya. “Tenang, tenang. Aku hanya menyelamatkan perayaan ini dari ketegangan wajahmu.”
Dari kejauhan, beberapa anak kecil berlarian sambil membawa lentera berbentuk kelinci dan naga kecil. Salah satu anak tersandung dan jatuh, membuat Vuyei refleks bergerak menolongnya.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya lembut sambil menepuk debu dari lutut anak itu.
Anak itu mengangguk lalu berkata polos, “Kakak lentera naga saya kebalik... sekarang kepalanya di pantat.”
Vuyei tertawa terbahak, lalu menoleh ke arah Zienxi. “Kak! Lihat nih, naga terkutuk!”
Zienxi hanya menggeleng pelan. “Lentera yang menyimpang, cocok dengan yang membawanya.”
Tawa kecil terdengar dari warga sekitar. Seorang bapak paruh baya menghampiri mereka, membawa nampan berisi makanan kecil.
“Kalian berdua tidak pernah berubah ya,” kata bapak itu sambil menyodorkan kue kacang. “Masih seperti dulu, walau sekarang katanya sudah bisa memecah batu pakai jari.”
“Kalau kakakku sih bukan cuma batu, Pak,” kata Vuyei sambil mengambil kue. “Dia bisa memecah hati wanita tanpa bicara sepatah kata.”
“Karena dia diam terus?” tanya bapak itu sambil tertawa.
“Karena wajahnya tak bisa dibaca! Datar kayak permukaan danau di musim gugur!”
Warga lain yang ikut berkumpul pun tertawa. Beberapa dari mereka mulai memainkan alat musik sederhana, dan satu per satu mulai menari mengelilingi api unggun. Zienxi tetap duduk di pinggiran, mengamati semua dengan tatapan yang lebih hangat meski tak terlihat dari wajahnya.
Vuyei menghampirinya lagi, kali ini dengan dua tusuk sate jagung.
“Aku curiga kamu menikmati ini diam-diam,” bisiknya sambil menyodorkan satu.
“Menikmati atau tidak, jagung tetap harus dimakan,” jawab Zienxi, menerima tusuknya.
“Kalau begitu… aku anggap kamu sedang bahagia sekarang?”
Zienxi memandang api unggun, lalu berkata pelan, “Ini... cukup hangat. Cukup tenang. Mungkin, ini bahagia.”
Vuyei tersenyum, lalu bersandar di bahu kakaknya. “Kalau nanti dunia berubah, dan semuanya jadi rumit lagi... ingat malam ini ya. Malam di mana kakakku yang dingin mengaku bahagia.”
Zienxi tak menjawab, hanya menegakkan tubuhnya sedikit agar Vuyei tidak terlalu bersandar berat. Namun senyum tipis nyaris tak terlihat sempat menghias sudut bibirnya.
Di atas sana, lentera-lentera mulai dilepaskan ke langit. Cahaya mereka perlahan naik, menyatu dengan bintang. Di tengah tawa, obrolan, dan alunan musik sederhana, malam itu menjadi salah satu malam paling damai yang pernah mereka miliki.
Sudah tiga hari berlalu sejak pesta kecil di rumah mereka. Hari-hari itu terisi dengan ketenangan yang sederhana. Tidak ada latihan berat, tidak ada misi, tidak ada percakapan serius tentang masa depan dunia atau sekte mana pun hanya keheningan desa yang bersahabat dan waktu yang mengalir perlahan, seperti aliran sungai yang tak ingin tergesa-gesa.
Zienxi berdiri di depan rumah, di bawah langit biru cerah yang dihiasi awan tipis dan lembut. Angin lembut menyapu rambutnya, membuat jubah lusuhnya berkibar pelan. Tatapannya kosong namun dalam, tertuju pada langit, seolah sedang mencari sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Sementara itu, di sisi lapangan kecil tak jauh dari situ, Vuyei tertawa riang bersama anak-anak desa lainnya. Mereka berlarian, bermain kejar-kejaran dengan dahan kering sebagai pedang mainan, dan tawa mereka menggema menyusuri pepohonan. Keriuhan itu menyentuh telinga Zienxi, namun tak menggoyahkan ketenangannya.
Ia menoleh perlahan, menatap adiknya yang sedang melompat-lompat mengejar seorang bocah kecil. Bibir Zienxi tidak bergerak, tapi di dalam dadanya, pikirannya mulai bergumam.
"Mungkin... mungkin aku harus pergi suatu hari nanti. Aku tidak tahu kapan. Tapi kalau terus di sini, aku tidak akan tahu apa yang bisa kulakukan, atau siapa aku sebenarnya. Dunia ini luas... dan aku terlalu diam."
Ia kembali menatap langit, membiarkan pikirannya terbang bersama angin.
Sementara itu, Vuyei menangkap tatapan kakaknya. Ia tersenyum kecil, lalu pamit sebentar pada teman-temannya dan berlari mendekat.
“Kak!” serunya dengan napas yang sedikit tersengal. “Dari tadi bengong saja. Kamu lagi ngobrol sama awan, ya?”
Zienxi hanya melirik sekilas, tanpa menjawab.
Vuyei melipat tangannya di dada dan menaikkan satu alis, “Apa mereka balas? Jangan-jangan awannya malah kabur takut sama ekspresi kakak yang kayak patung batu itu.”
Zienxi mengedip pelan. “Awan tak bisa bicara, tapi mereka lebih tenang daripada manusia.”
“Duh, jawabannya filosofis banget. Ini pagi-pagi lho, bukan kelas puisi,” sahut Vuyei sambil tertawa geli.
“Aku tidak sedang bercanda.”
“Dan aku sedang mencoba bercanda, tapi kamu keras kepala banget. Ayo dong, sekali-sekali senyum gitu... senyum kecil aja tidak rugi.” Vuyei mencoba menarik sudut bibir Zienxi dengan jari telunjuknya.
Zienxi menepuk pelan tangan adiknya, tak keras, hanya cukup untuk menyuruhnya berhenti.
“Aku sedang berpikir.”
“Uh-oh. Bahaya, bahaya. Kak Zienxi lagi mikir, tandanya sebentar lagi desa ini bisa meledak,” goda Vuyei sambil tertawa sendiri.
Zienxi tetap tenang, tapi kali ini matanya menatap adiknya lebih dalam. “Vuyei.”
“Iya?”
“Kau senang bermain dengan mereka?”
“Ya jelas, dong. Mereka seru, lucu, dan nggak terlalu ribet. Tidak sepertimu.”
Zienxi menoleh kembali ke langit. “Menjadi anak-anak... memang sederhana.”
“Dan kamu... belum tua-tua amat buat ikut main. Ayo sini, sekali-sekali jangan jadi batu hidup.”
“Aku bukan batu.”
“Kalau bukan batu, kenapa tiap aku ajak main kamu selalu bilang ‘tidak tertarik’? Nanti aku bikin lagu buat kamu, judulnya ‘Balada Batu Yunboa’.”
Zienxi mengangkat bahu. “Aku hanya merasa waktuku untuk bermain sudah lewat.”
“Belum, kak. Kalau kamu masih bisa duduk dan ngobrol kayak gini, berarti kamu masih bisa tertawa. Tawa itu bukan milik anak-anak doang, tahu?”
Zienxi diam sejenak. “Tapi mungkin aku harus pergi, Vuyei.”
Vuyei terdiam. “Pergi? Kemana?”
“Aku tidak tahu. Tapi aku merasa... waktunya akan tiba. Aku harus mencari jalanku sendiri. Jalan yang bukan hanya diam di sini.”
Vuyei menatap kakaknya lama. Tatapannya berubah, dari ceria menjadi sedikit khawatir, tapi juga penuh pengertian.
“Kalau itu yang kakak rasakan... aku tidak akan tahan kamu. Tapi...” Ia menatap ke tanah sejenak, lalu tersenyum lebar, “...jangan lupa pulang. Aku tidak mau rumah ini jadi terlalu sepi. Aku masih butuh batu hidup buat jadi tempatku curhat.”
Zienxi menatapnya. Kali ini ada senyum kecil, nyaris tak terlihat, tapi cukup bagi Vuyei menangkapnya.
“Baiklah. Aku janji tidak akan jadi batu yang lupa jalan pulang.”
“Hehe, akhirnya senyum juga! Aku harus catat hari ini. Hari langka! Kakakku senyum!”
Anak-anak di kejauhan memanggil nama Vuyei. Ia melambai ke arah mereka lalu menatap kakaknya sekali lagi.