“Kalau kamu berubah pikiran, aku masih butuh satu orang buat jadi penjaga benteng daun-daunan. Kita lawan serangan musuh bebuyutan, si Tikus Tanpa Ekor.”
Zienxi mengangkat satu alis. “Itu musuh macam apa?”
“Musuh imajinasi. Tapi bahayanya nyata,” sahut Vuyei sambil berlari kecil ke arah teman-temannya, tertawa riang.
Zienxi memandangi adiknya dari kejauhan, lalu mengalihkan pandangannya ke langit yang kini mulai dihiasi semburat senja. Dalam hatinya, ia tahu perjalanannya belum dimulai, tapi langkahnya sudah siap.
Empat hari berlalu dengan cepat, seperti debu yang diterbangkan angin tanpa permisi. Kini, hanya tersisa sebelas hari sebelum pelelangan besar di Kota Feifei dimulai peristiwa yang telah ditunggu-tunggu oleh berbagai pihak, dari para kolektor artefak hingga sekte-sekte yang haus akan harta. Namun siang itu, bukan urusan kultivasi atau persiapan pelelangan yang ada dalam benak Vuyei. Gadis muda itu sedang dilanda rasa bosan yang menyerang seperti penyakit musim gugur.
“Ayo kita jalan-jalan, Kak!” ucapnya dengan semangat, menggenggam tangan Zienxi tanpa menunggu persetujuan. “Masa kita terus di rumah saja? Kota Feifei punya pasar paling ramai di wilayah timur. Kita harus lihat!”
Zienxi hanya menatap adiknya dengan tatapan biasa datar, tenang, seperti permukaan danau yang tak terusik. Namun ia tidak menarik tangannya. Itu saja sudah cukup bagi Vuyei sebagai jawaban setuju. Maka mereka pun melangkah, berjalan menyusuri jalan kota Feifei yang ramai oleh berbagai aktivitas.
Pasar siang itu dipenuhi suara kehidupan. Pedagang manusia fana menawarkan makanan, perhiasan buatan tangan, hingga barang-barang aneh. Anak-anak berlarian, tertawa, bermain dengan boneka kayu atau layang-layang yang kecil. Beberapa kultivator mungkin dari sekte kecil atau pelancong bebas tampak duduk di sudut kedai, mencicipi arak atau mengobrol santai.
Zienxi berjalan di samping adiknya dengan langkah mantap. Ia memakai jubah hitam panjangnya seperti biasa, rambutnya yang panjang diikat tinggi, namun sebagian masih dibiarkan tergerai hingga melewati bahunya. Wajahnya... tetap tenang, seperti biasa. Tidak tersenyum, tidak cemberut. Netral. Mata keunguan gelapnya sesekali menyapu sekeliling dengan tenang, mencatat setiap pergerakan tanpa berkata sepatah kata pun.
Vuyei mendesah pelan, lalu mencoba mencairkan suasana. “Kalau saja wajahmu itu bisa sedikit berubah, mungkin orang-orang tidak akan menyangka kau ini arwah penasaran,” candanya sambil mencubit lengan Zienxi perlahan.
Zienxi hanya menoleh, menatapnya selama dua detik, lalu kembali menatap ke depan. Tapi... sudut bibirnya sedikit bergerak. Sangat tipis. Seperti jejak bayangan yang hampir tidak terlihat. Namun bagi Vuyei, itu sudah seperti pelangi setelah hujan deras.
“Hei, itu senyum ya barusan? Wah... aku harus catat ini di jurnal harian!” seru Vuyei dengan tawa kecil.
“Bukan senyum,” sahut Zienxi akhirnya, suaranya datar namun lembut. “Itu hanya... refleksi otot wajah.”
“Hah, alasan klasik. Kau ini manusia atau patung giok?” Vuyei tertawa lagi, semakin senang mengganggu kakaknya yang jarang menanggapi apapun.
Mereka terus menyusuri jalan hingga mata Vuyei menangkap sesuatu di sisi kiri. Seorang pelukis duduk bersila, dengan kanvas dan kuas di tangan. Di sekelilingnya tergantung beberapa lukisan wajah-wajah berbagai orang dengan gaya yang cukup realistis.
“Eh, Kak! Kita ke sana!” seru Vuyei tiba-tiba, menarik tangan Zienxi dan menyeretnya ke arah pelukis. “Permisi, Tuan Pelukis!” sapanya riang.
Pelukis itu seorang pria berusia sekitar empat puluhan dengan rambut acak-acakan dan baju yang penuh noda cat mengangkat kepala dan tersenyum. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?”
“Aku ingin kau melukis kakakku,” jawab Vuyei sambil menunjuk Zienxi dengan dua jempol. “Wajah datarnya itu terlalu berharga untuk dilewatkan!”
Zienxi hanya menghela napas kecil, tapi tidak menolak saat sang pelukis mengangguk penuh semangat.
“Dengan senang hati, Nona. Silakan duduk,” katanya sambil mempersiapkan kuas dan kanvas baru.
Zienxi duduk di bangku kecil, jubahnya menjuntai di bawah cahaya siang. Rambut hitam panjangnya yang sebagian diikat tampak berkilau, kontras dengan warna kulitnya yang pucat bersih. Mata pelukis itu bahkan sempat terpana sesaat sebelum mulai menggoreskan kuasnya.
Sementara pelukis bekerja, Vuyei berdiri di samping Zienxi, memperhatikan prosesnya sambil berbicara.
“Kalau lukisan ini selesai, aku akan memajangnya di depan pintu kamar. Biar semua orang tahu kalau ini adalah ‘Dewa Wajah Datar’ yang melindungi kita,” godanya.
Zienxi tak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan. Tapi sudut bibirnya... sekali lagi bergerak sangat sedikit.
“Aku tahu kau ingin tertawa. Jangan tahan, Kak. Senyummu itu bisa jadi harta langka. Siapa tahu nanti kita bisa jual ke kolektor!” lanjut Vuyei, tertawa sendiri.
“Kalau bisa dijual, aku akan menukarnya dengan satu hari penuh keheningan,” sahut Zienxi pelan, kali ini menatap adiknya dengan tatapan sedikit geli.
Pelukis di depan mereka bahkan ikut tersenyum kecil melihat interaksi itu. “Kalian kakak-adik yang menarik,” katanya tanpa menoleh dari lukisan.
“Menarik? Lebih seperti manusia dan patung giok,” kata Vuyei, “Aku ini matahari kecil, dan dia... es abadi dari pegunungan timur.”
“Setidaknya kau mengakui dirimu berisik,” balas Zienxi pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Setelah beberapa menit, lukisan itu selesai. Pelukis itu menyerahkannya pada Vuyei, potret Zienxi dengan ekspresi tenangnya, rambut panjang yang tergerai sebagian, dan tatapan lurus ke depan yang terasa... dalam.
“Hmm…” Vuyei memiringkan kepala, mengamati lukisan itu. “Lumayan. Tapi tetap saja wajah datar ini sangat menjengkelkan.”
Ia lalu menatap kakaknya sambil menyipitkan mata. “Kau benar-benar konsisten, Kak. Bahkan saat dilukis pun, ekspresimu tidak berubah sedetik pun.”
Zienxi tidak menjawab, hanya menatap lukisan itu sejenak... lalu mengangguk sangat tipis. Sebuah bentuk apresiasi yang bagi Vuyei terasa seperti pelukan hangat.
“Kau suka?” tanya Vuyei.
“Sangat akurat,” jawab Zienxi singkat. “Sayangnya, tidak bisa ditukar dengan keheningan.”
Vuyei tertawa lepas.
Mereka pun kembali berjalan menyusuri kota, meninggalkan pelukis itu yang tersenyum puas. Langit siang Feifei begitu cerah, dan meski wajah Zienxi tetap tenang, Vuyei tahu... hari itu, ia telah membuat kakaknya sedikit lebih hidup.
Sedikit saja sudah cukup baginya.
Setelah menyelesaikan sesi singkat di depan pelukis jalanan, Vuyei kembali menggenggam tangan kakaknya dan menariknya menelusuri jalanan Kota Feifei. Langit di atas mereka bersih dari awan, membiaskan cahaya matahari yang hangat ke atas ubin jalan yang berwarna coklat kemerahan. Hiruk pikuk kota itu tak mengganggu langkah keduanya, justru memberi warna tersendiri pada sore mereka. Pedagang dari berbagai tempat berkumpul di satu titik, menjual makanan, kerajinan, hingga batu-batu spiritual kecil.
"Aku suka kota ini... ramai tapi tidak berisik. Aneh ya?" gumam Vuyei sambil melirik ke arah kakaknya yang berjalan di sampingnya.
Zienxi hanya mengangguk tipis, tanpa berkata-kata.
"Hey..." Vuyei mencolek lengan Zienxi, "kau tahu tidak? Senyummu barusan waktu pelukis itu hampir jatuhin kuasnya, itu kelihatan... ya meski cuma kayak bayangan senyum."
"Aku tidak tersenyum," jawab Zienxi datar, tapi mata hitamnya menoleh sekilas ke arah Vuyei.
"Tapi aku lihat! Senyum itu ada! Meski tipis kayak benang rambut," canda Vuyei sambil menirukan gerakan senyum super kecil.
Zienxi tetap tak berekspresi, tapi sedikit napas terhembus dari hidungnya seolah menahan tawa yang tak muncul.
Mereka berbelok di salah satu sudut gang, dan pandangan Vuyei langsung tertarik pada sebuah paviliun besar dengan atap melengkung yang dihiasi ornamen emas. Lampion-lampion merah tergantung berbaris di sepanjang ambang pintu. Aroma dupa halus tercium samar dari dalam.
"Wah! Tempat ini sepertinya bagus, ayo kita masuk sebentar!" seru Vuyei penuh antusias.
Tanpa memberi waktu Zienxi untuk menolak, Vuyei menariknya masuk ke dalam. Begitu mereka melewati pintu besar yang terbuka, Vuyei langsung terhenti di ambang langkah. Musik petikan kecapi terdengar lembut, disertai gelak tawa dan suara perempuan-perempuan merdu sedang berbicara dengan para tamu laki-laki yang duduk santai. Di tengah ruangan, beberapa wanita berpakaian tipis sedang menari dengan lemah gemulai.
Mata Vuyei membelalak, lalu langsung beralih ke arah kakaknya yang berdiri kaku.
Zienxi tidak mengatakan sepatah kata pun. Tatapannya tajam, dingin, menusuk seperti angin musim dingin yang turun dari puncak gunung. Vuyei merasakan tekanan itu langsung ke dalam tulangnya.
"Aduh... hehe, kak... aku tidak tahu jika tempatnya seperti ini," ucap Vuyei tergagap, buru-buru menarik kakaknya keluar dari paviliun itu.
Begitu mereka kembali ke jalanan yang lebih tenang, Vuyei menyengir lebar sambil mengangkat dua tangannya, "Hehe... maaf ya kak... beneran tidak sengaja. Dari luar terlihat seperti rumah teh, sungguh."
Zienxi hanya menatap lurus ke depan tanpa bicara, melanjutkan langkahnya seolah tidak ada yang terjadi. Tapi ekspresi wajahnya tetap datar, tenang, seolah dunia ini tidak bisa mengusik ketenangannya.
"Ayolah kak... jangan seperti itu... emangnya salahku juga?" rayu Vuyei, mengejar kakaknya yang terus berjalan. "Lagipula, itu pelajaran. Lain kali kita harus baca papan nama dulu."
Zienxi tetap diam.
"Oke... begini saja, aku traktir! Mau kue kacang ungu? Atau bola nasi goreng madu? Aku beliin semuanya!"
Tanpa menoleh, Zienxi berkata pelan, "Aku tidak sedang ingin makan."
"Huuuuh..." Vuyei mengembuskan napas panjang. "Kakakku ini keras kepala bener. Apa pria sejati harus tahan godaan makanan ya?"
Zienxi menghentikan langkahnya sejenak, lalu menoleh dengan wajah tenang ke arah adiknya. "Apa pria sejati harus luluh karena sekantong bola madu?"
"Aku beli dua kantong," koreksi Vuyei cepat, mengangkat makanan ringan yang baru saja dibelinya.