Kali ini, Zienxi menghela napas ringan, lalu berjalan kembali. Vuyei segera menyusul di sampingnya.
"Aku tahu kau marah, tapi... itu lucu juga sih. Bayangkan wajah kakakku masuk ke tempat hiburan, terus duduk di sana diam... seperti patung di antara senyum palsu," ujar Vuyei sambil tertawa pelan.
Zienxi tetap tidak menanggapi, tapi jika seseorang cukup dekat melihat wajahnya saat itu, mungkin akan menangkap sesuatu di sudut bibirnya, senyuman tipis yang lebih menyerupai bisikan dari angin musim gugur.
"Lain kali..." suara Zienxi terdengar lembut, sangat pelan hingga nyaris tenggelam dalam suara kota, "...kau harus lebih berhati-hati."
Vuyei terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Hehe... iya, kak. Maafkan ya... Aku janji tidak akan seret kakak ke tempat aneh lagi."
Zienxi menoleh sekilas ke arah adiknya. Tatapannya masih tenang, tapi penuh pengertian.
"Kau harus tahu ke mana kakimu melangkah... bahkan saat kau hanya ingin berjalan santai."
"Baik, Guru Zienxi... pelajaran hari ini sangat mengesankan," candaan Vuyei membuat mereka berdua terdiam sesaat.
Untuk pertama kalinya, senyum Zienxi terlihat sedikit lebih nyata, meski hanya sekejap seperti bintang yang muncul sejenak di langit senja.
Mereka terus berjalan di antara hiruk pikuk Kota Feifei. Angin sore menyapu pelan ujung-ujung jubah Zienxi, membawa serta aroma makanan dan tawa manusia fana yang hidup damai di bawah langit dunia yang penuh rahasia.
Dan di tengah semua itu, dua saudara berjalan berdampingan, satu penuh cahaya dan tawa, satunya lagi bagai bayangan tenang dari malam yang belum tiba.
Malam telah menyelimuti kota Feifei dengan cahaya keperakan dari bulan yang menggantung tenang di langit. Lampion-lampion menyala lembut di sepanjang jalan, mengayun perlahan tertiup angin malam yang sejuk. Di tengah riuh lembut suara musik dan percakapan para pejalan kaki, dua sosok berjalan berdampingan, kakak beradik Lawzi Zienxi dan Lawzi Vuyei.
Vuyei masih menggandeng tangan kakaknya, seperti enggan melepaskannya. Tangannya hangat, dan langkahnya ringan, seakan dunia malam itu hanyalah milik mereka berdua. Sedangkan Zienxi, seperti biasa, wajahnya datar. Tatapannya lurus ke depan, tak tergoyahkan oleh kilauan malam atau wangi kue-kue manis yang melintas dari kios-kios di tepi jalan.
"Zienxi..." Vuyei memanggil lembut, mencoba memecah keheningan. "Menurutmu... kalau aku tinggal di kota ini, cocok tidak jadi pelukis jalanan? Mungkin aku bisa melukis wajahmu tiap hari."
Zienxi menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. “Kau akan cepat bosan. Wajahku tidak akan berubah,” ucapnya dengan nada datar.
Vuyei tertawa pelan. "Benar juga… ekspresimu seperti batu. Tapi batunya tampan, jadi tidak masalah."
Tak ada respons. Tapi Vuyei tahu, kakaknya tak sepenuhnya mengabaikan.
Langkah mereka melambat saat mendekati sebuah kedai kecil dengan beberapa meja di luar, menghadap ke danau kecil yang memantulkan cahaya bulan. Vuyei menatapnya penuh ketertarikan. Ia menoleh ke kakaknya.
"Kita duduk di sana, ya? Kelihatannya tenang, dan… aku ingin melihat bulan sambil minum teh. Bersama kakakku yang dingin tapi manis."
Zienxi menatap sebentar ke arah meja kayu sederhana itu, lalu mengangguk. Mereka pun duduk. Vuyei segera memanggil pelayan dan hanya memesan dua cangkir teh dan satu piring makanan kecil yang tampak manis dan lembut.
“Aku tidak mau makan banyak. Kita bagi aja, ya?”
Zienxi tidak menjawab, hanya menatap permukaan danau yang berkilau. Sementara Vuyei menatap wajah kakaknya dari samping. Dalam keheningan itu, ada ketenangan aneh yang melingkupi mereka.
"Zienxi..." panggil Vuyei lagi, kali ini lebih lembut. "Kau pernah merasa... ingin waktu berhenti aja? Seperti sekarang."
Zienxi mengerjap sekali. "Kenapa harus berhenti?"
Vuyei menarik napas pelan. "Karena... rasanya nyaman. Tenang. Dunia ini kadang terlalu ribut buat hatiku."
Zienxi memalingkan wajah, menatap adiknya dalam diam sejenak. "Dunia tidak pernah berhenti. Yang bisa kau lakukan hanya memilih untuk diam atau berjalan."
"Hmm..." Vuyei menopang dagunya di atas meja. "Kalau aku diam, aku bisa tetap di sampingmu. Tapi kalau aku berjalan... aku takut kehilanganmu."
Zienxi menatapnya lekat-lekat, kali ini dengan keteduhan yang jarang muncul.
“Aku tidak akan mudah hilang,” jawabnya.
Vuyei tersenyum, lalu mencubit pipinya sendiri. “Aduh… jangan terlalu manis gitu dong. Nanti aku makin sayang.”
Pelayan datang, menyajikan teh hangat dan kue manis yang tampak lembut. Vuyei dengan sigap menuangkan teh ke dua cangkir, lalu mengambil sepotong kue, memotong kecil, dan mengangkatnya ke depan wajah kakaknya.
“Ahh…” godanya. “Ayo buka mulut, kak Zienxi yang dingin~”
Zienxi mengangkat alis. "Aku bisa makan sendiri."
“Tapi aku ingin menyuapi mu,” rengek Vuyei sambil tertawa. “Sekali ini saja. Aku janji tidak akan nyuapin kucing atau burung di jalan lagi.”
Zienxi menatap adiknya dengan wajah tanpa perubahan, tapi sorot matanya melembut. Ia membiarkan potongan kue itu disuapkan, mengunyah perlahan.
“Manis?” tanya Vuyei.
“Biasa saja,” jawab Zienxi.
“Kau ini, ekspresimu bahkan lebih kaku dari piring ini,” ucap Vuyei sambil mengetuk piringnya. “Tapi tidak apa-apa. Karena cuma aku yang tahu kakakku bisa senyum… meski cuma satu detik.”
Zienxi melirik. “Itu tidak terjadi.”
“Terjadi! Tadi, saat kamu mengunyah kuenya. Sudut bibirmu gerak 0,2 inci. Aku bisa bawa penggaris kalau perlu buat bukti.”
Zienxi menggeleng perlahan. "Jangan terlalu memperhatikan hal kecil."
“Tapi kamu penting, jadi aku harus perhatikan.”
Zienxi diam, memandangi permukaan teh yang bergoyang pelan di dalam cangkirnya. Kemudian, dengan suara hampir tak terdengar, ia berkata:
“Terima kasih… Vuyei.”
Vuyei menoleh cepat, terkejut. “Eh?! Ulangi! Ulangi! Aku belum siap!”
Zienxi mengangkat cangkir tehnya dan menyeruput tanpa kata.
“Zienxi! Ayolah! Sekali lagi! Biar aku bisa simpan di hatiku dan… dan…” Vuyei meraih dadanya sendiri, berpura-pura pingsan. “...hidup bahagia selamanya.”
Zienxi menatapnya sejenak, lalu berkata datar. “Kau terlalu dramatis.”
“Tapi berhasil bikin kamu bicara kan?” jawab Vuyei sambil menyeringai lebar.
Mereka duduk lama di bawah cahaya bulan. Tak banyak kata, tapi tak perlu juga. Malam itu, angin sejuk membawa kehangatan yang hanya dimengerti oleh mereka yang telah berjalan bersama dalam sunyi, kehilangan, dan harapan.
Angin malam menyapu pelan permukaan danau di kota Feifei, menciptakan riak-riak kecil yang memantulkan cahaya lentera yang menggantung di sepanjang tepian. Suara nyanyian dari orang-orang di kejauhan, dikombinasikan dengan aroma teh hangat dan camilan khas kota, membuat suasana malam itu begitu damai. Di salah satu sudut kedai teh terbuka, di meja kayu yang menghadap langsung ke danau, duduklah Zienxi dan Vuyei.
Zienxi menatap permukaan air tanpa suara, membiarkan pikirannya tenggelam bersama pantulan cahaya bulan. Di sampingnya, Vuyei duduk santai, sesekali meniup uap teh dari cangkirnya, lalu mengamati sekeliling dengan mata cerah.
Suara langkah lembut menghampiri mereka. Seorang wanita muda sekitar usia mereka berhenti di dekat meja. Rambut hitam legamnya diikat rapi, menyisakan beberapa helai yang jatuh di pelipis. Ia mengenakan pakaian ungu dengan sulaman awan keperakan di pinggirnya, menjadikannya terlihat anggun namun tidak mencolok.
“Aku boleh duduk di sini?” tanyanya dengan senyum ramah. Suaranya ringan, seakan tak ingin mengganggu aliran ketenangan malam.
Vuyei menoleh dan langsung membalas dengan ramah, “Tentu, silakan.”
Wanita itu duduk dengan anggun, tangannya merapikan pakaian sebelum menyentuh pinggiran meja. “Namaku Lian Roushi. Aku dari kota Feishan, sebelah barat dekat Holuang. Aku ke Feifei hanya untuk... ya, menghindar sebentar dari urusan sekte. Menikmati hidup sebelum kembali terkurung latihan,” katanya, diselingi tawa kecil.
“Oh? Dari Feishan? Wah, jauh juga ya,” ujar Vuyei ceria. “Aku Vuyei, dari desa kecil sebelah timur kota ini. Kalau dibilang desa, kadang rasanya lebih seperti kebun jagung yang ditinggalin burung.”
Roushi tertawa pelan. “Setidaknya kalian punya jagung. Di Feishan, kami cuma punya kabut dan orang-orang tua yang suka ngomel soal ‘kedisiplinan’.”
Zienxi tak bergeming. Tatapannya tetap tertuju pada danau, seolah percakapan di belakangnya hanyalah desir angin malam.
Roushi melirik sekilas ke arahnya. “Kalau begitu, ini...?”
“Ah, dia kakakku,” potong Vuyei cepat, lalu menyenggol lengan Zienxi dengan lembut. “Namanya Zienxi. Jangan berharap dia akan langsung senyum padamu, dia sudah latihan jadi dingin sejak lahir.”
Zienxi mengangkat alis sedikit, tapi tetap tidak berkata apa-apa. Tatapannya perlahan turun ke cangkir teh di depannya.
Roushi tersenyum sopan. “Senang bertemu denganmu, Zienxi.”
Tak ada balasan.
“Jangan khawatir,” kata Vuyei dengan nada jahil. “Dia bahkan waktu kecil pernah bilang teh itu terlalu berisik.”
“Aku tidak mengatakannya seperti itu,” sahut Zienxi pelan, suaranya akhirnya terdengar, datar namun jernih.
Vuyei langsung terkekeh. “Hoo... akhirnya bicara juga. Aku khawatir kamu udah jadi batu meditasi.”
Roushi ikut tertawa. “Kalian berdua lucu. Jujur saja, aku jarang melihat hubungan kakak-adik seperti ini. Di sekte tempatku, kebanyakan kakak-adik malah bersaing satu sama lain.”
“Kami juga,” ucap Vuyei sambil menyeruput tehnya, “tapi bersaing siapa yang paling sering diam.”
Zienxi menoleh sekilas, menghela napas tipis. “Vuyei.”
“Apa? Aku cuma bilang yang sebenarnya.” jawab Vuyei sambil pura-pura menutup mulutnya.
Roushi tersenyum, matanya berpindah-pindah antara mereka berdua. “Zienxi... boleh aku tanya sesuatu?”
Zienxi kembali memandangi tehnya. “Tergantung.”
“Apa yang kamu lihat di danau itu? Dari tadi kamu tidak memalingkan pandangan.”
Sejenak sunyi. Hanya suara riak air dan nyanyian lembut dari kejauhan yang menemani.
“Keheningan,” jawab Zienxi singkat. “Kadang, dunia lebih jujur saat diam.”
Roushi terdiam, sejenak tampak terkesima.