LightReader

Chapter 54 - Chapter 54 – Reflections Beneath the Moonlight

Chapter 54 – Reflections Beneath the Moonlight (Renungan di Bawah Cahaya Bulan)

Vuyei menyikut kakaknya pelan. “Lihat? Dia memang seperti pujangga yang salah tempat. Harusnya jadi penjaga kuil, bukan kultivator.”

“Ah, sekarang aku mengerti kenapa kamu bilang dia susah berubah,” kata Roushi. “Tapi, keheningan kadang lebih ramai dari suara... kalau tahu bagaimana mendengarkannya.”

Zienxi sedikit mengangguk. Entah mengiyakan atau hanya sekadar sopan.

Malam itu langit cerah tanpa awan, dan danau memantulkan kilauan bulan dengan tenang, seolah menyembunyikan cerita-cerita dalam diamnya. Suara air yang menyentuh bebatuan di tepi danau menjadi latar alami bagi tiga anak muda yang duduk di tepi.

Vuyei duduk di samping Roushi, dengan tubuh sedikit condong ke depan. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai, diterpa angin lembut malam. Roushi duduk santai di sampingnya, satu tangan menopang dagu, matanya penuh rasa ingin tahu.

“Jadi begitu,” gumam Roushi setelah Vuyei selesai menceritakan sesuatu. “Kalian sudah tidak di Sekte Daun Tujuh Sisi lagi?”

Vuyei mengangguk pelan. “Iya. Kami meninggalkannya sekitar sebulan yang lalu. Sekte itu tidak terlalu besar, tapi tidak kecil juga. Cukup tenang… meskipun banyak yang menyimpan ambisi.”

Roushi tertawa pelan, “Ambisi adalah hal yang biasa di sekte mana pun. Tapi tenang itu menarik. Sekte-ku… bisa dibilang cukup sibuk dan keras. Latihan di sana hampir tanpa jeda. Kau bisa naik peringkat dengan cepat, tapi hanya jika mampu bertahan.”

“Apakah ada yang membimbingmu secara khusus?” tanya Vuyei, matanya berbinar.

“Ada,” jawab Roushi dengan nada penuh hormat. “Seorang tetua perempuan. Ia keras, tapi juga perhatian. Aku berutang banyak padanya. Tanpa dia, aku mungkin bukan siapa-siapa sekarang.”

Vuyei tersenyum mendengar itu. Ia lalu melirik ke arah kakaknya yang duduk sedikit terpisah. Zienxi tak banyak berbicara malam ini, hanya duduk dengan tenang menatap ke danau. Pandangannya sesekali beralih ke arah bulan, seolah berbincang dalam diam dengan semesta.

Roushi mengikuti arah tatapan Vuyei dan memandangi Zienxi. Ada ketenangan luar biasa dalam sosok itu, seakan angin pun tak berani mengusiknya.

“Dia selalu seperti itu?” tanya Roushi pelan pada Vuyei.

Vuyei tersenyum lembut. “Benar, kak Zienxi memang lebih suka diam. Tapi di balik diamnya, pikirannya selalu bergerak… kadang aku sendiri tak bisa mengikutinya.”

Setelah beberapa detik keheningan, Roushi berbicara dengan nada pelan, kali ini langsung kepada Zienxi, “Zienxi... menurutmu, apa itu kehidupan?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, mengalun lembut seperti desir angin di permukaan air. Zienxi tidak langsung menjawab. Ia membiarkan hening beberapa saat, lalu mengangkat kepalanya perlahan.

Tanpa berpaling dari danau, ia mulai berbicara dengan suara tenang dan dalam.

“Kehidupan…” katanya, “...adalah seperti danau ini.”

Roushi dan Vuyei menoleh bersamaan, memperhatikan dengan penuh perhatian.

“Di permukaan,” lanjut Zienxi, “semuanya tampak tenang, memantulkan cahaya bulan dengan indah. Tapi di dalamnya, ada aliran, ada kedalaman, ada kegelapan dan kejernihan yang saling bersatu. Banyak yang hanya melihat permukaan kehidupan, menyangka semuanya tentang apa yang tampak. Tapi kehidupan yang sejati bukan tentang apa yang terlihat, melainkan tentang apa yang kita pelajari dari dalam.”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Ada saat di mana kehidupan membawa kita ke tempat-tempat asing, memisahkan kita dari yang kita cintai, memaksa kita tumbuh... dan terkadang, membuat kita mempertanyakan segalanya. Tapi seperti danau ini, selama kita tenang, kita akan mampu melihat pantulan bulan cahaya di tengah kegelapan.”

Roushi menatapnya lekat-lekat, tak berkedip. Matanya menyimpan rasa kagum yang tak bisa disembunyikan. Ia membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang cukup kuat untuk menjawab kebijakan Zienxi.

Vuyei memandang Roushi, lalu kembali melihat kakaknya. Ia sendiri terdiam, merasa seolah mendengar suara yang lebih tua dari usia Zienxi. Di dalam hatinya, gumaman kecil muncul.

“Mengapa dia bisa sedalam ini… Kakak, kau seperti bukan orang seusiamu.”

Tapi kemudian matanya menangkap sesuatu, tatapan Roushi yang masih tertuju pada Zienxi, seperti ada kekaguman yang lebih dari sekadar respek biasa. Sesuatu yang membuat dada Vuyei terasa tak nyaman.

Ia memalingkan wajah dan bergumam dalam hati, “Kenapa menatapnya seperti itu? Jangan-jangan… huh, menyebalkan.”

Namun ia tetap tersenyum, menutupi gejolaknya.

Zienxi, yang masih menatap ke arah danau, seakan tak menyadari apa pun. Namun sebenarnya, dalam hatinya, ia tahu. Ia tahu ada banyak hal yang akan berubah. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati malam. Malam yang tenang, dan pantulan bulan yang utuh.

Angin malam menyusuri permukaan danau, membelai dan membuat bayangan bulan bergoyang pelan. Cahaya perak dari bulan memantul di permukaan air, menciptakan kesan seperti dunia lain di bawahnya. Vuyei dan Lian Roushi masih larut dalam percakapan ringan. Zienxi, sementara itu, masih memandangi danau dalam diam, seolah tengah berbicara dengan dirinya sendiri melalui pantulan air itu.

Setelah hening beberapa saat, Zienxi membuka suara. Suaranya tenang, nyaris berbisik, namun cukup jelas untuk menggema di ruang antara mereka.

“Jika kalian harus memilih antara hidup dan mati... mana yang akan kalian pilih?”

Vuyei langsung menoleh ke arah kakaknya, sedikit terkejut. Lian Roushi juga mengangkat kepala, seolah pertanyaan itu lebih dalam dari yang terdengar. Zienxi tidak menoleh. Tatapannya masih ke arah danau, matanya memantulkan bayangan bulan yang tenang.

Lian Roushi adalah yang pertama menjawab. Ia menghela napas pelan.

“Jika aku harus memilih... tentu saja aku akan memilih hidup. Karena selama kita hidup, masih ada harapan. Masih ada hal yang bisa kita ubah.”

Zienxi hanya diam.

Vuyei ikut menyahut, nadanya sedikit tergesa namun jujur.

“Aku juga... aku ingin hidup. Karena aku ingin melindungi orang-orang yang penting bagiku. Kalau aku mati, siapa yang akan menjaga mereka?”

Zienxi mengangguk kecil, tapi tidak memberikan reaksi yang berarti. Ia diam selama beberapa detik, lalu menghela napas sangat pelan, hampir tak terdengar.

“Pilihan antara hidup dan mati,” ujarnya akhirnya, suaranya lembut, nyaris seperti desir angin. “...bukan sekadar tentang keberadaan. Ini soal alasan di baliknya. Hidup tanpa tujuan... bisa lebih menyakitkan dari kematian. Tapi mati tanpa makna... juga hanya akan meninggalkan kehampaan.”

Vuyei memandangi kakaknya. Lian Roushi bahkan sedikit membungkuk ke depan, mendengarkan lebih dalam.

“Kadang,” lanjut Zienxi, “orang memilih hidup bukan karena mereka kuat... tapi karena mereka takut. Dan kadang, orang memilih mati bukan karena lemah, tapi karena mereka terlalu mencintai sesuatu yang tak ingin mereka lihat hancur.”

Tatapannya tetap tak beralih dari danau, tapi nadanya mulai mengandung kedalaman yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata biasa.

“Jika aku harus memilih,” katanya, “aku akan bertanya dulu... apakah hidupku akan menjadi beban bagi orang lain, atau harapan? Apakah kematianku akan menyelamatkan, atau hanya menghilang tanpa arti? Karena pada akhirnya, bukan hidup atau mati yang penting... tapi apa yang kau tinggalkan di antaranya.”

Sunyi menyelimuti mereka sesaat. Vuyei menunduk pelan, hatinya bergetar. Ia tahu kakaknya telah melewati sesuatu yang tak mudah. Kata-kata itu bukan teori, bukan dongeng, tapi sesuatu yang dipahat dengan luka.

Lian Roushi memandangi Zienxi lama, seolah tengah melihat bintang yang baru ia kenal. Tatapannya kagum, namun juga dalam. Ia tampak hendak berbicara, tapi tak ada kata yang muncul dari bibirnya.

Vuyei melirik ke arah Roushi dan langsung merasakan gelombang kecil di hatinya. Ia tahu tatapan itu. Ia mengenali kekaguman itu dan ia tidak menyukainya. Dalam hati, ia bergumam kesal:

Berhenti menatap kakakku seperti itu...

Zienxi akhirnya menoleh perlahan ke arah mereka, dan tersenyum kecil samar, namun cukup hangat untuk membungkus malam yang dingin itu.

“Maaf,” katanya pelan. “Aku hanya terlalu banyak berpikir malam ini.”

Vuyei menggeleng, meski matanya masih menatap Roushi dengan kesal yang tertahan.

“Tidak apa-apa, Kak,” katanya pelan. “Kata-katamu... selalu membuatku berpikir juga.”

Roushi akhirnya mengangguk pelan, suaranya serius dan penuh penghormatan.

“Terima kasih... Zienxi. Aku merasa... baru saja belajar sesuatu yang tidak diajarkan di sekte manapun.”

Vuyei menoleh ke arah Lian Roushi yang masih memandangi kakaknya dalam diam. Tatapan perempuan itu tampak dalam, seolah menyimpan sesuatu yang tak terucapkan. Vuyei menarik napas perlahan, lalu bertanya dengan suara lembut namun jelas, “Apakah kau akan menghadiri pelelangan sebelas hari lagi?”

Lian Roushi mengangguk perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Akan kuhadiri,” jawabnya tenang, lalu menoleh sejenak ke arah Vuyei. “Kalian juga?”

Vuyei mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku dan kakakku akan datang.”

Zienxi hanya menatap bulan lagi. Hening kembali menyelimuti mereka. Tapi kali ini, hening yang penuh makna.

More Chapters