Chapter 55 – Morning Echoes of Doubt
Hari telah berganti. Matahari pagi kembali menyelimuti desa kecil di timur kota Feifei dengan sinarnya yang hangat. Embun masih menggantung di ujung-ujung daun ketika angin semilir menyapu permukaan sungai yang mengalir tenang di samping rumah.
Di rumah kayu dekat sungai itu, Zienxi duduk sambil memegang cangkir teh hangat. Di sebelahnya, Vuyei duduk dengan tenang, sesekali menyeruput tehnya. Pagi itu berjalan damai, seperti pagi-pagi sebelumnya, dengan obrolan ringan tentang burung-burung yang baru menetas atau aroma rumput yang basah.
Namun tak lama kemudian, Vuyei menghela napas panjang. Ia menoleh ke arah kakaknya, ekspresinya berubah menjadi kesal.
"Aku tidak suka cara Lian Roushi memandangmu tadi malam," ucapnya tiba-tiba, nadanya ketus.
Zienxi tetap diam. Ia hanya memandangi permukaan tehnya lalu menyeruput pelan, seolah angin pagi lebih menarik untuk dinikmati daripada kemarahan adiknya.
"Kenapa kau diam saja?" gerutu Vuyei. "Kau pasti juga memperhatikannya, kan? Tatapan matanya itu aneh. Seperti... seperti menyimpan sesuatu. Aku tidak suka."
Zienxi meletakkan cangkirnya perlahan di atas meja kayu. Tatapannya masih tenang, tak ada satu pun reaksi berlebihan dari wajahnya. “Aku tidak melihat tatapan itu,” jawabnya pelan.
Vuyei memutar bola matanya, tidak percaya. “Oh, ayolah, Kak. Kau tidak mungkin tidak menyadarinya. Dia duduk diseberang mu. Dia memandangi wajahmu seperti kau itu... pilar langit yang baru turun dari surga!”
Zienxi tersenyum kecil, mengangkat kembali cangkir tehnya. “Kalau begitu, mungkin aku memang tak sadar.”
“Kau menyukainya, ya?” desak Vuyei, mulai bersandar ke depan. “Makanya kau diam saja, kau suka dia memandangimu seperti itu, kan?”
Zienxi mengangkat alis sedikit, menatap adiknya yang wajahnya mulai merengut. “Tidak. Aku hanya tidak terlalu memikirkan hal seperti itu.”
“Tapi kenapa kau tidak menegurnya atau... mengalihkan pandangannya, atau apapun, bukankah itu tidak sopan?!” Vuyei menggebrak meja kecil di hadapannya, meskipun kekuatannya tak cukup untuk menggeser cangkir sekalipun.
Zienxi terdiam sejenak, lalu menatap Vuyei dengan tenang. “Aku tidak melihatnya, Vuyei. Itu saja.”
Vuyei mengerucutkan bibirnya, matanya menajam. “Aku tidak percaya.”
Zienxi menghela napas pendek. “Baiklah,” ucapnya singkat.
Vuyei menunduk, diam beberapa detik. Tangannya mencengkram pelan cangkir tehnya, seolah sedang menahan sesuatu di dalam dadanya. Uap hangat dari cangkir itu mengabur sebentar di depan wajahnya, tapi tak mampu menyembunyikan perasaan yang bergejolak di balik matanya.
"...Kalau dia menyakitimu nanti, aku takkan tinggal diam," gumam Vuyei akhirnya, hampir tak terdengar.
Zienxi hanya menatap jauh ke arah sungai, membiarkan angin pagi membawa kata-kata itu pergi bersama riak air yang berkilau.
Di tempat lain, jauh dari ketenangan desa kecil di timur kota Feifei, Lian Roushi tengah duduk bersama tiga sahabatnya di sebuah paviliun batu berhiaskan kelopak teratai kering yang berguguran. Tempat itu terletak di dataran tinggi wilayah barat, tenang dan jauh dari hiruk-pikuk, tempat para kultivator dari sekte lain dan pencari jalan dao kerap berkumpul untuk berbagi pemahaman serta pengalaman mereka dalam perjalanan kultivasi.
Angin lembut berembus dari arah pegunungan, menggoyangkan tirai sutra yang membatasi paviliun. Cangkir-cangkir teh telah penuh, tapi tak satu pun dari mereka menyentuhnya. Semua menunggu cerita dari Lian Roushi, yang sejak tadi diam namun tatapannya dalam, seolah sedang memikirkan sesuatu yang belum selesai.
“Aku bertemu dua orang semalam,” ucap Lian Roushi akhirnya, suaranya tenang. “Keduanya masih muda. Seorang gadis yang cemerlang seperti api, dan kakaknya pemuda bernama Zienxi.”
“Zienxi?” sahut salah satu temannya, seorang pria bernama Rui Fei. “Apa yang menarik darinya hingga kau memikirkannya sampai sekarang?”
Lian Roushi menoleh perlahan, menatap mereka satu per satu. “Dia mengucapkan kata-kata yang... sulit dijelaskan. Dalam, bahkan bagi seseorang yang telah bertahun-tahun menelusuri dao seperti kita.”
“Apa yang dia katakan?” tanya Shuo Lin, matanya memicing penasaran.
Lian Roushi menarik napas lembut, lalu berkata, “Pilihan antara hidup dan mati bukan sekadar tentang keberadaan. Ini soal alasan di baliknya. Hidup tanpa tujuan... bisa lebih menyakitkan dari kematian. Tapi mati tanpa makna... juga hanya akan meninggalkan kehampaan. Kadang, orang memilih hidup bukan karena mereka kuat... tapi karena mereka takut. Dan kadang, orang memilih mati bukan karena lemah, tapi karena mereka terlalu mencintai sesuatu yang tak ingin mereka lihat hancur.”
“Jika aku harus memilih, aku akan bertanya dulu... apakah hidupku akan menjadi beban bagi orang lain, atau harapan? Apakah kematianku akan menyelamatkan, atau hanya menghilang tanpa arti? Karena pada akhirnya, bukan hidup atau mati yang penting... tapi apa yang kau tinggalkan di antaranya,” lanjut Lian Roushi.
Ketiganya terdiam. Angin yang berhembus tiba-tiba terasa lebih berat.
“Dia benar-benar berkata seperti itu?” tanya Jian Rou, suaranya pelan, hampir tak percaya.
Lian Roushi mengangguk. “Dengan nada sejuk, dan mata yang tak sedikit pun goyah.”
Rui Fei menggenggam cangkirnya, lalu meletakkannya kembali tanpa meminum. “Pemahaman dao seperti itu... bukan milik mereka yang baru mengenal dunia. Itu suara dari seseorang yang telah melihat batas kehidupan dan kematian, dan tak gentar memandanginya.”
“Dimana kau bertemu mereka?” tanya Shuo Lin, masih terpukau.
“Di kedai teh kecil di dekat danau, di timur kota Feifei.” jawab Lian Roushi. “Tempat sederhana, tapi percakapan di sana... membuat semua tempat agung terasa hampa.”
Jian Rou menyandarkan punggungnya ke tiang paviliun. “Aku ingin bertemu dengannya. Seseorang yang bisa berbicara tentang hidup dan mati tanpa ketakutan, adalah seseorang yang membawa sesuatu lebih besar dari sekadar pemahaman, dia membawa arah.”
Lian Roushi mengangguk. “Mereka akan menghadiri pelelangan di Paviliun Xu, sepuluh hari lagi.”
“Paviliun Xu?” ulang Rui Fei. “Kita juga akan berada di sana, bukan?”
“Benar,” sahut Shuo Lin dengan senyum kecil. “Dan sekarang aku punya alasan lain untuk datang, aku ingin mendengar langsung dari mulut Zienxi. Mungkin... dia adalah percikan yang ditinggalkan langit untuk membakar jalan dao kita yang mulai padam.”
Lian Roushi tersenyum samar, matanya memandangi langit yang perlahan berubah warna. Di benaknya, kata-kata Zienxi kembali terngiang, lebih jelas dari sebelumnya. Bukan hanya suara seorang pemuda, melainkan gema dari jiwa yang telah memilih jalannya, meski dunia belum tahu sejauh apa langkahnya akan menjejak.
Kembali ke rumah sederhana di tepi sungai, Zienxi dan Vuyei masih duduk di beranda, menikmati ketenangan pagi yang perlahan menjalar ke siang. Sinar matahari yang hangat memantul lembut di permukaan air, sementara angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai mengering. Suara burung dan gemericik air menjadi latar yang menenangkan.
Sesekali, beberapa warga desa yang melintas menyapa mereka dengan ramah.
“Pagi, Zienxi! Pagi, Vuyei!” seru seorang lelaki tua yang membawa sekeranjang ikan.
“Pagi, Paman Tie!” sahut Vuyei ceria, melambaikan tangan. Zienxi hanya mengangguk tenang sambil memberi senyum kecil.
Setelah beberapa sapaan berlalu dan suasana kembali hening, Zienxi menyentuh kantong spiritual di pinggangnya. Ia mengeluarkan sebuah cincin gelap dengan pola samar berkilau keperakan, Cincin Akar Roh. Ia menatapnya sejenak dalam diam, seolah mencari petunjuk yang tak tertulis di permukaannya.
Vuyei melirik, alisnya mengerut. “Kak, sebenarnya cincin itu... untuk apa sih?”
Zienxi menatapnya sekilas, lalu mengembalikan cincin itu ke dalam kantongnya dengan gerakan tenang.
“Aku tidak tahu,” jawabnya jujur. “Tapi mungkin… suatu hari nanti, akan ada gunanya.”
Vuyei menatap kantong spiritual itu sebentar, lalu mengangguk kecil. “Hm… semoga saja itu bukan sesuatu yang berbahaya.”
Zienxi tidak menjawab, hanya kembali menyesap tehnya perlahan, membiarkan angin membawa kekhawatiran itu pergi bersama awan yang bergerak lambat di langit.
Angin siang mulai berhembus lembut, membawa suara dedaunan yang bergesekan pelan di halaman. Suasana di beranda rumah tetap tenang, hanya sesekali terdengar suara binatang kecil dari semak-semak. Zienxi masih duduk sambil menikmati teh terakhirnya, sementara Vuyei mulai gelisah karena keheningan yang terlalu panjang.
Dengan senyum iseng, Vuyei menyandarkan tubuhnya ke sandaran tiang dan mulai memanggil kakaknya dengan nada ringan.
“Kak…”
Zienxi tak menoleh, hanya mengangkat alis sedikit sambil terus menatap ke arah sungai.
“Kaaak…”
Masih belum ada reaksi. Senyum Vuyei makin lebar.
“Kaaaaak Zienxi…”
Zienxi akhirnya menoleh perlahan, menatap adiknya dengan ekspresi datar. “Apa?”
Begitu tatapan mereka bertemu, Vuyei langsung memasang wajah manja, mata membulat, bibir mengerucut sedikit, dan kedua tangannya merapat di dada seperti anak kecil yang minta dibelikan permen.
Zienxi menghela napas pelan, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke depan. “Tiba-tiba kenapa jadi seperti itu?”
Vuyei tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Pengen lihat wajah kakak waktu aku manja.”
“Kau sudah terlalu besar untuk itu,” gumam Zienxi, meskipun sudut bibirnya sedikit terangkat.
Vuyei menatap kakaknya dengan senyum puas. “Tapi tetap berhasil bikin kau lihat ke arahku, kan?”
Zienxi hanya mengangguk kecil, menyeruput teh terakhir dari cangkirnya sebelum meletakkannya perlahan ke atas meja.
Mereka kembali duduk dalam diam, tapi kali ini keheningan itu tak lagi terasa sunyi, melainkan penuh dengan kehangatan.