LightReader

Chapter 58 - Chapter 58 – Tatapan di Balik Jendela

Chapter 58 – Tatapan di Balik Jendela

Ledakan energi tak kasat mata menyebar seketika, mengguncang atmosfer seluruh paviliun. Aura itu seperti desiran angin tajam yang menusuk hingga ke tulang, mengisi setiap sudut aula dengan tekanan luar biasa. Bahkan mereka yang berada di luar Paviliun Xu mulai merasakan tekanan mencekam itu, membuat banyak orang mundur ketakutan.

Vuyei terkejut dan menoleh ke arah aura itu. “Apa ini...?” bisiknya, tubuhnya bergetar.

Lian Roushi mengepalkan tangan. “Bukan aura biasa... Ini... ini bukan kekuatan milik orang biasa…”

Shou Lin menelan ludah. “Zienxi…?”

Aura itu terus menyebar. Lelaki tua berjubah hijau yang memimpin lelang tampak pucat dan tidak mampu bergerak. Para peserta lain di aula membeku, tak mampu berdiri ataupun mengangkat tangan. Kulit mereka kesemutan seolah ditusuk jarum-jarum tak kasat mata.

Dan pria yang tadi menawar melawan Zienxi... kini wajahnya memucat sepenuhnya, tubuhnya gemetar hebat.

Zienxi berdiri perlahan dari tempat duduknya. Suaranya terdengar tenang namun sangat menusuk, seperti bilah pedang yang ditarik dari sarungnya.

“Apakah kau ingin bermain-main denganku?”

Langkah demi langkah ia maju. Tiga langkah, lalu berhenti.

Pria itu tidak menjawab. Bibirnya bergetar, keringat menetes dari pelipisnya. Ia tak sanggup berkata-kata. Seluruh tubuhnya menolak untuk bergerak.

Zienxi memiringkan kepalanya sedikit, mata hitamnya menatap tajam.

“Apa maksudmu menawar tadi?” tanyanya dengan nada lebih rendah. “Kau pikir ini lelucon?”

Tidak ada jawaban. Lelaki itu hanya menunduk, tubuhnya menggigil tak terkendali.

Semua yang hadir menahan napas. Ketegangan itu terasa seperti benang halus yang jika ditarik sedikit saja akan meledak menjadi kekacauan.

Cincin Akar Roh di kantong spiritual Zienxi masih berdenyut pelan, seolah sedang mengamati dunia di sekitarnya… dan menilai.

Zienxi menarik napas dalam, lalu menatap pria tua pemimpin lelang. “Empat belas... bukan tawaran yang buruk. Tapi sayangnya aku tidak suka dihina. 15 batu roh.”

Pria tua itu, dengan suara gemetar, mengetuk palu. “T-t-terjual! Lima belas... batu roh... kepada... Tuan dari sisi kiri…”

Zienxi duduk kembali, aura itu menghilang seketika seperti embusan angin yang sirna.

Namun... ketakutan yang ia tinggalkan belum pergi.

Kegaduhan kecil menggema di ruangan pelelangan yang megah. Para kultivator saling bertukar pandang, suara bisik-bisik muncul dari berbagai sudut, membentuk gelombang keraguan dan kekagetan. Pria tua berjubah hijau itu berdiri di panggung utama, mencoba tersenyum kembali, meski rona wajahnya masih menyimpan sisa keterkejutan. Tangannya meremas lengan jubahnya sendiri, seolah mencoba mengusir hawa dingin yang tertinggal dari aura barusan.

"A-Aku... bahkan belum pernah merasakan tekanan seberat itu, bukan dari seorang murid muda," bisik seorang kultivator paruh baya dengan suara bergetar, tangannya masih gemetar saat menyentuh lengan rekannya.

"Siapa sebenarnya dia?" tanya yang lain, wajahnya pucat pasi. "Tekanan itu... seperti jurang hitam tak berdasar... seperti kehampaan yang menelan jiwa..."

"Apakah itu benar-benar datang dari laki-laki itu?" bisik seorang wanita muda yang mengenakan jubah biru langit. Dia menyentuh dada seolah memastikan jantungnya masih berdetak.

Sementara itu, Vuyei memandangi kakaknya yang sudah kembali duduk dengan tenang. Wajah Zienxi sama sekali tak menunjukkan emosi, matanya seperti danau beku. Tapi bagi Vuyei, ketenangan itu justru semakin menakutkan. Dia menelan ludah, lalu duduk perlahan di samping kakaknya, masih belum mampu mengalihkan pandangan.

"...Kak," bisiknya pelan. "Tadi itu... dari kakak, kan?"

Zienxi hanya mengangguk kecil, matanya tetap mengarah lurus ke depan. Tidak ada penjelasan, tidak ada alasan.

Vuyei menarik napas pendek. "Aku bahkan tidak bisa bergerak tadi... tubuhku seperti membeku, kak. Itu... Itu bahkan lebih mengerikan dari siapapun..."

Di sisi lain ruangan, Lian Roushi berdiri mematung bersama teman-temannya. Jian Rou menatap Zienxi dari kejauhan, wajahnya pucat seperti salju, bahkan kipasnya yang biasanya tak pernah lepas dari tangan kini tergenggam rapat, tanpa gerak.

"Zienxi... Apa-apaan itu tadi?" gumam Jian Rou, matanya tak berkedip. "Itu bukan... aura manusia biasa..."

Rui Fei menelan ludah, lalu bergumam, "Aku pikir dia hanya pemuda biasa, tenang, pendiam. Tapi tadi... aura itu seolah menekan napas keluar dari dadaku..."

"Seluruh tubuhku merinding," kata Shou Lin pelan. "Itu... seperti sedang berdiri di hadapan kematian itu sendiri. Aku tidak tahu kenapa... tapi saat itu aku merasa... jika dia menginginkannya, kita semua bisa mati."

Lian Roushi mengepalkan tangan, wajahnya serius. "Aku tahu dia tidak biasa sejak pertama kali bertemu. Tapi... aku tidak menyangka sejauh ini. Aura itu... seperti monster yang belum sepenuhnya bangun."

Para kultivator lainnya pun tak berhenti membicarakannya. Ketakutan bercampur dengan kekaguman. Tak ada satu pun yang menganggap enteng Zienxi lagi. Dia bukan hanya murid biasa yang ikut pelelangan. Dia adalah sesuatu yang lain sesuatu yang mereka belum bisa pahami.

Pria tua di atas panggung menarik napas dalam-dalam, lalu mencoba tersenyum kembali, walau jelas suaranya sedikit goyah.

"Baiklah... kita akan melanjutkan sesi pelelangan... meski... heh... suasana sedikit mencekam."

Namun tak seorang pun tertawa. Kengerian dari aura itu masih belum benar-benar lenyap dari hati mereka. Mereka tahu... pelelangan ini tak lagi sekadar tentang barang berharga di ruangan ini, tersembunyi ancaman yang lebih berharga dan berbahaya dari semua harta spiritual.

Pelelangan pun akhirnya berakhir. Satu per satu peserta meninggalkan Paviliun Xu dengan langkah hati-hati, seolah ingin memastikan bahwa aura menyesakkan yang sempat muncul tadi benar-benar telah lenyap. Di antara mereka, Zienxi dan Vuyei sudah lebih dulu keluar, berdiri tak jauh dari tangga paviliun yang mulai sepi. Di sisi lain, Lian Roushi dan ketiga temannya Rui Fei, Shou Lin, dan Jian Rou juga telah berada di luar.

Beberapa kultivator lain yang mengenali sosok Zienxi segera menjauh, sebagian bahkan bergegas seperti sedang menghindari makhluk berbahaya. Pria yang sempat mengganggu Zienxi tadi pun berjalan tergesa, wajahnya pucat seperti baru melihat hantu. Vuyei memperhatikan semua itu dalam diam, lalu menoleh pelan ke arah kakaknya. Masih ada jejak kengerian dalam dirinya, meski berusaha ia tekan dalam-dalam.

“Kak… apakah kita langsung pulang?” tanya Vuyei, suaranya tenang namun sarat kehati-hatian.

Zienxi menatap lurus ke depan. “Jalan-jalan sebentar,” jawabnya singkat, seperti biasa.

Tak lama, Lian Roushi melangkah mendekat, berdiri di sebelah Vuyei. Dengan sedikit senyum canggung, dia bertanya, “Bolehkah kami ikut?”

Vuyei meliriknya sebentar, lalu menatap kakaknya sejenak. Zienxi hanya berjalan tanpa berkata apa-apa. Vuyei pun menoleh kembali pada Roushi dan mengangguk.

“Silakan,” ujarnya.

Mendengar itu, Roushi tersenyum dan segera memberi isyarat kepada teman-temannya. Rui Fei, Shou Lin, dan Jian Rou menyusul dari belakang, dan rombongan kecil itu pun berjalan menyusuri jalanan kota yang mulai tenang menjelang malam.

Di sepanjang jalan, suara orang-orang yang masih berkumpul di sekitar paviliun terdengar samar.

“Itu aura apa tadi?”

“Aku nyaris tak bisa bernapas... rasanya seperti ditelan laut dalam...”

“Siapa yang mengeluarkannya? Seorang murid muda? Tidak mungkin...”

Obrolan bisik-bisik itu menggema di antara kerumunan, namun tidak satu pun dari mereka mengetahui yang sebenarnya. Rasa takut masih mencengkeram kuat.

Saat malam turun sepenuhnya, mereka akhirnya berhenti di sebuah kedai yang terlihat sederhana namun bersih. Lampu lentera menggantung di sisi pintu, memancarkan cahaya lembut ke jalan berbatu.

Pemilik kedai yang mengenali Vuyei segera menyambut mereka dengan hangat.

“Nona Vuyei! Senang sekali bisa melihatmu lagi. Silakan masuk, tempat terbaik untuk kalian,” katanya dengan senyum tulus.

Mereka pun masuk dan duduk di meja panjang di dekat jendela. Zienxi duduk di sisi yang langsung menghadap ke luar, sementara yang lain duduk mengelilingi meja. Beberapa saat kemudian, pelayan datang dan menerima pesanan mereka.

Shou Lin menoleh ke arah Zienxi. “Zienxi, kau tidak pesan anggur?”

Zienxi hanya menatap lurus ke depan. “Tidak,” jawabnya datar.

Shou Lin tersenyum tipis dan mengangguk pelan. “Kau tetap saja dingin seperti salju di musim pertama.”

Vuyei terkekeh ringan dan berkata, “Kakakku ini tidak suka anggur. Hanya teh pahit, sekelam suasana hatinya.”

Semua tertawa kecil, bahkan Jian Rou yang biasanya pendiam pun ikut tersenyum.

“Teh pahit ya?” kata Rui Fei sambil menyikut ringan lengan Jian Rou. “Sepertinya Zienxi ini tipe yang suka merenung dan memikirkan kedalaman dunia, ya?”

“Jangan-jangan dia sedang memikirkan bagaimana menghentikan badai dengan satu napas,” sahut Jian Rou dengan nada bercanda.

Vuyei tertawa pelan. “Atau sedang menghitung jumlah bintang di langit untuk menentukan arah hidup.”

Mereka semua tertawa lagi. Hanya Zienxi yang tetap diam, tangannya perlahan menggenggam cangkir tehnya, menatap ke luar jendela tanpa ekspresi.

Makanan dan minuman pun tiba. Zienxi mengambil mantou panas dan menyeruput teh pahitnya perlahan. Yang lain menikmati anggur ringan, roti isi, sup hangat, dan buah-buahan manis.

Obrolan mereka terus berlanjut. Topik-topik ringan tentang pelelangan tadi, ramalan konyol dari seorang kakek di gerbang kota, hingga cerita tentang Shou Lin yang pernah tersesat di sekte karena terlalu banyak minum anggur.

“Serius, aku pikir itu pintu keluar!” ujar Shou Lin sambil tertawa malu. “Ternyata itu tempat penyimpanan arang!”

Rui Fei tertawa terbahak. “Kau pasti menciptakan legenda sendiri di sana!”

Lian Roushi menutup mulutnya sambil tertawa, “Tidak heran pelayan-pelayan di sana menatapmu aneh.”

Mereka semua tertawa hingga bahunya terguncang. Satu-satunya yang tetap hening adalah Zienxi. Dia masih menatap ke luar, teh pahit di tangannya belum habis.

More Chapters