LightReader

Chapter 59 - Chapter 59 – Silent Breakthrough

Chapter 59 – Silent Breakthrough (Terobosan dalam Keheningan)

Cahaya pagi baru saja menembus kabut lembut di kaki bukit. Embun masih bertengger di atas dedaunan saat dua sosok berjalan perlahan di jalur setapak yang tersembunyi. Zienxi dan Vuyei melangkah tanpa suara menuju gua yang terletak di dekat bukit. Tempat itu sederhana, namun bagi mereka berdua, tempat itu seperti ruang suci, penuh dengan kenangan dan latihan diam-diam yang menguatkan.

Setibanya di depan mulut gua, Vuyei menatap kakaknya dengan rasa ingin tahu. Namun Zienxi tidak berkata apa-apa, hanya mengeluarkan satu pil berwarna kebiruan dari kantong kecilnya, Pil Aktivasi Nadi.

“Untukmu,” ucap Zienxi sambil menyerahkannya.

Vuyei mengerutkan kening, menolak halus, “Tapi, kak… bukankah pil ini seharusnya untukmu? Kau juga belum menembus ke tahap itu.”

Zienxi tetap diam. Tatapannya tenang, namun ada kilatan kekuatan yang tidak bisa dibantah di balik matanya. Tatapan yang tak memberi ruang bagi penolakan. Vuyei menelan ludah, lalu dengan ragu mengambil pil itu. Dia tahu saat kakaknya sudah membuat keputusan, tidak ada kata mundur.

“Baiklah… aku akan menggunakannya,” katanya pelan.

Zienxi hanya mengangguk, lalu berjalan ke sisi gua, duduk bersila dengan punggung menempel pada dinding batu, mengamati.

Vuyei duduk di tengah gua, di atas batu datar yang sudah lama mereka gunakan untuk meditasi. Ia menatap pil di tangannya sejenak, lalu menelannya perlahan. Tidak butuh waktu lama, energi spiritual dari pil itu mulai menyebar dalam tubuhnya. Ia menarik napas panjang, memejamkan mata, dan memasuki keadaan meditasi yang dalam. Napasnya melambat, tubuhnya seolah berdenyut seiring ritme energi yang masuk.

Hari berganti hari.

Waktu terus berlalu, dan Vuyei tidak pernah berhenti bermeditasi. Ia benar-benar tenggelam dalam proses kultivasi. Setiap tetes energi yang ia serap, setiap tarikan napas, perlahan membuka nadi-nadi utama di dalam tubuhnya. Dalam keheningan gua itu, suara detakan jantungnya bahkan terdengar seperti genderang langkah menuju terobosan.

Seminggu… dua minggu… tiga minggu…

Pada hari ke-30, energi spiritual dalam gua bergetar halus. Aura lembut yang menyelimuti tubuh Vuyei perlahan berubah. Tanda-tanda yang ditunggu akhirnya tampak, arus energi mengalir dengan lebih deras, meridian utamanya terbuka sempurna. Aliran itu seperti sungai yang menemukan jalannya kembali ke samudra. Tubuhnya memancarkan cahaya samar kehijauan. Tak lama kemudian, kelopak matanya bergetar, lalu terbuka perlahan. Binarnya cerah, penuh kehidupan dan semangat baru.

“Aku… aku berhasil, kak!” ucapnya dengan napas terengah. “Aku sudah mencapai Meridian Awakening tahap awal!”

Wajah Zienxi melunak. Senyum kecil terbentuk di sudut bibirnya. Ia bangkit dan berjalan mendekat, menatap adiknya dengan lembut.

“Selamat, Vuyei,” ucapnya pelan, tulus.

Vuyei langsung berdiri, masih dalam euforia keberhasilannya. “Aku benar-benar bisa, kak. Terima kasih… kalau bukan karena pil itu dan kepercayaanmu, mungkin aku belum sampai sejauh ini.”

Zienxi menggeleng pelan. “Bukan karena pil itu. Itu karena ketekunan dan keberanianmu sendiri. Pil hanya membantu mempercepat, tapi keberhasilanmu datang dari dalam dirimu sendiri.”

Vuyei menatap kakaknya dengan mata penuh kekaguman. “Tapi… bagaimana denganmu, kak? Kau sudah lama di Vein Opening dan aku tahu kau bisa menerobos juga jika menggunakan pil itu…”

Zienxi mengalihkan pandangannya ke luar gua, melihat sinar matahari yang mulai masuk melalui celah-celah batu.

“Tenang saja,” jawabnya kalem. “Aku punya jalanku sendiri. Bukan berarti lebih lambat itu buruk. Kadang, kita perlu menunggu saat yang tepat untuk melangkah. Dan saat itu… belum datang.”

“Tapi…” Vuyei menunduk, ragu. “Aku tidak ingin meninggalkanmu di belakang. Aku...”

Zienxi menepuk pelan kepala adiknya. “Kau tidak meninggalkan siapa pun. Jalan kultivasi bukan perlombaan, Vuyei. Kau tidak perlu membandingkan dirimu dengan siapa pun. Yang penting adalah terus berjalan, perlahan tapi pasti.”

Vuyei menggigit bibirnya, lalu mengangguk.

“Aku akan menjadi lebih kuat… agar bisa berdiri di sisimu, kak.”

Zienxi menatap adiknya lama, lalu mengangguk pelan. “Dan aku akan selalu menjadi tempatmu kembali. Kita berjalan bersama, Vuyei. Tak perlu buru-buru… kita punya waktu.”

Dalam keheningan gua itu, mereka hanya berdiri berdua. Dua saudara yang telah melewati badai dan akan terus menapaki jalan panjang dunia kultivasi. Di luar, matahari naik tinggi, menandai hari baru dan awal baru.

Cahaya keemasan senja merayap perlahan di antara celah-celah pepohonan ketika dua sosok berbalut jubah sederhana berjalan menyusuri jalan setapak di hutan. Zienxi berjalan tenang di depan, langkahnya mantap namun tidak tergesa. Di belakangnya, Vuyei menyusul sambil sesekali menoleh ke langit yang mulai berubah warna. Udara sore terasa lembut, membawa aroma tanah basah dan gemerisik dedaunan yang bergoyang ditiup angin.

Mereka menyusuri tepian sungai yang berkelok, tempat di mana kenangan lama pernah terukir. Vuyei tertawa kecil saat melihat sungai di sisi kirinya.

"Ini adalah sungai tempat dulu aku dikejar harimau," katanya sambil menunjuk. "Aku masih ingat betapa paniknya aku waktu itu... dan tiba-tiba kakak muncul dan menebas monster itu seolah itu cuma semut.”

Zienxi hanya melirik sekilas dan mengangguk pelan. “Kau terlalu ceroboh,” katanya datar, namun nada suaranya tidak menyiratkan kemarahan.

“Yah, aku memang suka tanaman,” sahut Vuyei santai, lalu berjalan mendahului sambil merentangkan tangannya ke udara. “Tapi setidaknya dari insiden itu, kakak terlihat sangat keren. Kalau tidak, aku mungkin sudah jadi isi perut.”

Zienxi menggeleng pelan, tetapi ada sedikit kelenturan di matanya sebuah bayangan dari senyum yang tertahan.

Mereka kemudian menaiki bukit kecil, tempat yang cukup tinggi untuk melihat desa dan kota Feifei di kejauhan. Angin sore menyambut mereka saat mencapai puncak. Langit dilukis semburat jingga dan ungu, dan sinar matahari yang tersisa menyinari atap-atap rumah serta pepohonan yang mulai merunduk oleh waktu.

“Wah… indah sekali,” gumam Vuyei kagum. Ia duduk di atas batu, tangannya memeluk lutut, memandangi pemandangan di depannya seolah tak ingin berkedip. “Aku suka saat-saat seperti ini. Rasanya... dunia ini tidak sesulit yang kita bayangkan.”

Zienxi berdiri diam beberapa langkah di belakangnya, jubah hitamnya berkibar pelan ditiup angin sore. Ia menatap ke depan tanpa mengucapkan sepatah kata. Matanya menatap jauh melewati cakrawala, seolah mencari sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata biasa.

Vuyei menoleh ke arah kakaknya, lalu tersenyum iseng. “Jangan bilang kau sedang berpikir soal menyelamatkan dunia lagi. Atau... kau malah sedang mengingat makanan yang belum kita makan?”

Zienxi tetap diam beberapa detik, lalu menjawab pelan, “Aku hanya berpikir… dunia ini tampak damai saat dilihat dari sini. Tapi damai itu rapuh.”

“Rapuh sih, iya. Tapi kakak juga kadang terlalu tegang,” balas Vuyei sambil tertawa kecil. “Coba sekali-kali tersenyum. Siapa tahu nanti langit senja bisa lebih cerah karena senyuman Lawzi Zienxi sang Penakluk Harimau.”

Zienxi menatap adiknya dengan wajah datar. “Senja tidak butuh senyumku.”

“Tapi aku butuh. Masa adikmu ini harus lihat wajah datar setiap hari?” goda Vuyei lagi.

Zienxi memalingkan wajahnya, tapi ada tarikan halus di sudut bibirnya sangat kecil, namun cukup bagi Vuyei untuk melihatnya.

“Eh, itu tadi... Kakak nyengir ya? Jangan-jangan kau malu ya?”

“Tidak,” jawab Zienxi singkat.

“Yakin? Aku bersumpah melihat itu tadi! Wah, dunia akan berubah, kakakku akhirnya menunjukkan ekspresi manusia!”

“Vuyei…”

“Oke, oke!” ujar Vuyei sambil menutupi mulutnya, tertawa geli.

Setelah beberapa saat, keduanya berbalik turun perlahan dari bukit. Suasana senja perlahan berubah menjadi malam, dan suara jangkrik mulai terdengar menggantikan kicauan burung sore. Mereka kembali ke rumah sederhana mereka yang terletak di desa dekat sungai, tenang dan hangat, diterangi cahaya bulan yang bersinar lembut di langit.

Di dalam rumah, dua cangkir teh mengepul di atas meja kayu. Vuyei duduk di seberang Zienxi, menggenggam cangkirnya dengan kedua tangan.

“Malam ini tenang ya, Kak…”

“Iya.”

“Aku bersyukur… bisa duduk begini bersamamu. Setelah semua yang terjadi… semua ketakutan dan kekacauan… momen seperti ini rasanya lebih berharga dari apapun.”

Zienxi menatap teh dalam cangkirnya. Uapnya naik perlahan seperti mimpi yang belum selesai. “Kita tidak tahu kapan kedamaian seperti ini akan datang lagi. Karena itu… nikmati selagi bisa.”

Vuyei mengangguk pelan. “Aku janji akan terus mendampingi Kakak. Apapun yang terjadi. Meskipun nanti Kakak berubah jadi lebih galak, lebih dingin, atau bahkan… lebih pendiam dari sekarang.”

“Kau sudah terlalu banyak bicara malam ini.”

“Haha, berarti Kakak masih normal. Kalau suatu hari kau tiba-tiba cerewet, baru aku akan panik.”

Malam terus bergulir dalam keheningan yang damai. Di bawah cahaya bulan, dua saudara itu duduk berdampingan dalam kehangatan teh dan kata-kata yang tak perlu dijelaskan. Di balik segala badai yang menanti di depan, malam itu terasa seperti sebuah hadiah kecil dari langit sejenak untuk bernapas, sejenak untuk hidup.

Keheningan terasa damai, namun tidak kosong. Ada sesuatu yang berputar lembut di antara mereka, seperti simpul tak kasatmata yang hanya dimengerti oleh dua saudara yang telah melalui begitu banyak bersama.

Lalu, tanpa mengubah ekspresinya, suara Zienxi terdengar ringan namun pasti. “Vuyei… ayo kita berlatih besok.”

Vuyei, yang hampir tertidur oleh ketenangan suasana, mengangkat alis dan menatap kakaknya dengan sorot mata geli. “Eh? Kau mulai lagi dengan cara bicaramu yang misterius itu. Setiap kali kau bilang ‘ayo kita berlatih’, entah kenapa aku merasa tubuhku akan pegal selama seminggu.”

Zienxi tidak menjawab. Hanya satu anggukan kecil yang nyaris tak terlihat.

More Chapters