LightReader

Chapter 60 - Chapter 60 – Dance of Sibling Blades

Chapter 60 – Dance of Sibling Blades (Tarian Pedang Saudara)

Matahari sudah tinggi, sinarnya menembus celah-celah dedaunan dan memantulkan kilau pada permukaan aliran sungai yang tak jauh dari kaki bukit. Suara gemericik air menjadi musik alami yang menemani dua sosok yang berdiri berhadapan, masing-masing dengan pedang di tangan. Tempat itu tenang, hanya ditemani aroma dedaunan lembab dan desir angin yang membawa harum tanah basah.

Zienxi berdiri tegak dengan jubah hitam yang berkibar ringan, matanya menatap lurus ke arah adiknya, Vuyei. Sementara itu, Vuyei tersenyum tipis, menahan semangat yang mulai menggelegak di dadanya.

“Kita akan latihan seperti dulu,” ucap Zienxi, suaranya tenang namun penuh wibawa. “Gunakanlah kecepatanmu, dan jangan ragu.”

Vuyei menarik napas panjang, lalu mengangguk penuh percaya diri. “Baiklah… Tapi jangan salahkan aku kalau kau kalah, Kak,” candanya ringan, matanya bersinar penuh semangat.

Zienxi tidak membalas dengan senyum, hanya sedikit memiringkan kepalanya, seperti menyambut tantangan. “Kita lihat saja.”

Dalam sekejap, pedang Vuyei melesat. Ia menyerang lebih dulu, tubuhnya meluncur cepat ke depan, membelah udara. Pedangnya mengarah ke sisi kanan Zienxi, tapi kakaknya dengan tenang memutar tubuh, menangkis dengan gerakan sederhana.

Clang!

Dentang pertama terdengar. Vuyei mundur setengah langkah, lalu kembali menyerang, mencoba menciptakan variasi sudut. Namun Zienxi tetap tenang. Gerakannya tidak banyak berubah, tapi setiap serangannya selalu mendarat tepat di titik yang membatasi serangan Vuyei.

“Aku serius, Kak. Jangan terlalu santai begitu,” ucap Vuyei sambil memutar tubuh dan mencoba menyerang dari atas.

“Justru karena aku serius,” jawab Zienxi singkat. “Seranganmu terbaca.”

Clang!

Cling!

Tap—clang!

Dentang demi dentang memenuhi udara. Vuyei memutar pedang dalam formasi taktis, menambahkan sedikit energi spiritual dalam tebasannya, tapi gerakan Zienxi seperti bayangan, menghindar dan menangkis dengan presisi.

“Kau seperti sedang berdansa, Kak. Tapi dansa yang… membosankan,” goda Vuyei dengan tawa kecil, walau nafasnya mulai tak beraturan.

Zienxi tidak tertawa. “Kecepatan dan ketelitian, Vuyei. Kau masih kurang di keduanya.”

“Huhh... aku… sedang mencoba,” balas Vuyei, mundur tiga langkah dan bersiap. Matanya menatap tajam.

Zienxi mengangkat pedangnya sedikit. Aura tipis mulai mengelilinginya. “Pedang Sebelas Ilusi.”

Seketika, bayangan pedang muncul di sekeliling Vuyei. Sebelas garis ilusi yang bergerak tak beraturan, mengarah dari berbagai sisi.

Vuyei mencibir pelan. “Trik lama, Kak. Aku sudah Meridian Awakening sekarang, kau lupa?”

Dia melompat ke belakang, memutar tubuh sambil menciptakan pelindung energi tipis di sekitar tubuhnya. Pedang-pedang ilusi itu menabrak pelindungnya, sebagian lenyap, sebagian tertahan dengan bunyi letupan halus.

Zienxi melesat ke depan. Vuyei menahan dengan dua tangan, pedangnya beradu dengan milik kakaknya. Kali ini, dia mampu menahan serangan langsung.

“Tapi kekuatanmu… masih kuat sekali,” gumam Vuyei pelan, gigi bawahnya menggigit sedikit bibir.

Zienxi tidak menyerang lagi. Ia memiringkan kepala dan berkata, “Berapa banyak ilusi yang berhasil kau tangkis?”

Vuyei terdiam sejenak, lalu mengerutkan kening. “Delapan? Atau… sembilan?”

“Lima. Sisanya gagal kau hindari sepenuhnya,” jawab Zienxi dengan nada datar.

“Heh… Menyebalkan. Aku kira aku sudah lebih baik.”

“Kau memang berkembang. Tapi terlalu percaya diri,” ucap Zienxi sembari berbalik mundur dua langkah.

Vuyei menyerang lagi. Kali ini dengan formasi gerakan dari latihan Sekte, ia mencoba mengombinasikan manuver langit dan gaya angin. Namun, Zienxi menahan semuanya hanya dengan gerakan minimal. Ia lebih seperti arus air daripada benteng baja.

“Gerakanmu belum cukup tajam. Mana teknik barumu?” tanya Zienxi sambil memutar pergelangan pedangnya.

“Baiklah… bersiap!” seru Vuyei.

Dia melompat tinggi, menciptakan pusaran angin kecil di sekeliling pedangnya. Aura biru kehijauan menyelubungi bilahnya.

“Gaya keempat, Lingkaran Angin Turun!”

Pedang melesat ke bawah. Zienxi tidak menghindar. Ia mengangkat pedangnya ke atas dan,

DUANGG!

Benturan keras membuat tanah di bawah mereka bergetar. Vuyei terdorong mundur tiga langkah.

Zienxi tetap berdiri di tempat. Tidak goyah.

“Huff… Aku… benar-benar belum bisa mengalahkanmu ya,” gumam Vuyei, nafasnya berat.

Zienxi menurunkan pedangnya perlahan, lalu menatap adiknya dengan tenang. “Tapi kau sudah jauh lebih kuat dibanding dulu.”

Vuyei tersenyum lebar. “Akhirnya… pujian juga keluar dari mulut dinginmu.”

“Jangan terbiasa dengannya,” sahut Zienxi datar.

“Hei! Setidaknya beri aku hadiah teh manis setelah ini,” keluh Vuyei sambil menjulurkan lidah.

Zienxi mengangguk pelan. “Kalau kau tidak pingsan duluan.”

“Yaaah! Kakak kejam!”

Tawa Vuyei menggema di tepi sungai, bercampur dengan suara arus air yang mengalir tenang dan angin lembut yang mengusap wajah mereka. Langit menjelang siang terlihat jernih, seolah menyaksikan kedekatan dua saudara yang bertarung bukan untuk menang, tapi untuk saling memahami dan menguatkan.

Dan di tengah dunia yang perlahan berubah…

…dua saudara itu masih berdiri sebagai satu kesatuan yang tak tergoyahkan.

Vuyei berdiri tegap beberapa langkah dari kakaknya. Jemari mungilnya terangkat perlahan, lalu mengaturnya membentuk mudra. Angin mengalir deras di sekitarnya, menyebar seperti desiran dari kelopak bunga yang menggugurkan dirinya ke tanah.

"Daun Pemecah," gumamnya mantap.

Dari ujung jari Vuyei, lembar demi lembar daun hijau keperakan menyembur ke depan dalam pola melingkar, tajam seperti bilah logam yang dipoles dengan mantramuatan ringan. Setiap lembaran itu tampak seperti daun biasa, namun mereka bergetar halus, membawa ketegangan yang menghantam udara.

Zienxi tetap berdiri di tempat, sorot matanya menyempit. Angin yang membawakan daun-daun itu menampar pipinya perlahan, rambutnya sedikit berkibar. Tapi dia tak bergerak. Tubuhnya masih tegak seperti arca.

Dengan satu gerakan halus, tangan kanan Zienxi terangkat. Aura kehitaman menyelubungi telapak tangannya. Di hadapannya, terbentuk lapisan tipis energi seperti kaca hitam transparan, teknik pertahanan tingkat dasar yang biasa ia gunakan untuk menahan serangan ringan.

Daun-daun tajam itu menghantam perisai itu dengan bunyi cling-cling-cling, seperti besi yang dilempar ke batu. Namun tekanan serangan Vuyei tak main-main, beberapa daun menghancurkan permukaan kaca itu, dan ledakan kecil terjadi saat tiga dari daun itu menembus lapisan energi dan mendorong tubuh Zienxi mundur beberapa langkah.

"Uh..."

Zienxi berhenti setelah terdorong sekitar dua meter ke belakang. Debu tipis mengepul di sekitarnya. Kakinya bergeser ke belakang untuk menstabilkan tubuhnya. Wajahnya sedikit pucat, alisnya mengerut untuk sesaat.

"Haaah..." napasnya terdengar ringan, tapi tak lepas kendali.

Vuyei terdiam sejenak. Matanya membulat saat melihat tubuh kakaknya terdorong.

"Akhirnya! Aku berhasil!" soraknya girang.

Zienxi hanya menatap adiknya. Ekspresi wajahnya tak banyak berubah, namun Vuyei cukup mengenalnya untuk tahu bahwa kakaknya sedang sedikit tertekan, meski ia menyembunyikannya dengan sempurna.

"Jangan terlalu senang dulu," ujar Zienxi dengan nada datar.

"Tapi... wajahmu tadi sempat pucat!" Vuyei menuding sambil tertawa. "Itu pertama kalinya aku melihatmu begitu! Biasanya aku yang megap-megap saat bertarung."

Zienxi memutar sedikit bahunya. "Kau memang sudah mencapai Meridian Awakening. Tapi itu bukan alasan untuk lengah."

"Lengah? Aku baru saja memukul mundur kakakku yang super misterius itu. Aku pantas sedikit senang!"

Vuyei menghampiri kakaknya dengan langkah ringan, ekspresi ceria terpancar dari wajahnya.

"Jujur saja, Kak. Itu sakit, ya?"

Zienxi hanya melirik sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke sungai yang mengalir tenang di samping mereka.

"Sedikit."

"Yaaa! Itu artinya iya!" serunya sambil tertawa, lalu memutar-mutar pedangnya di udara. "Ayo kita lanjutkan!"

Zienxi mengangguk pelan. "Kita lanjutkan. Tapi kali ini, kuperbolehkan kau menggunakan teknik gerakanmu juga."

"Teknik gerakan?" Vuyei berkedip. "Yang 'Langkah Hening di Atas Air' itu?"

Zienxi mengangguk. "Kalau kau benar-benar ingin mengimbangi kecepatan, gunakan semua yang kau punya."

"Baiklah! Jangan menyesal ya, Kak!"

Vuyei mengambil kuda-kuda, tubuhnya merendah. Aura spiritual tipis muncul di telapak kakinya. Seketika, ia melompat ke depan dengan kecepatan tinggi, tubuhnya seperti kabur dalam sekejap.

Zienxi bergerak, pedangnya terangkat. Gerakannya tak cepat seperti Vuyei, namun presisi dan tajam. Ia menangkis serangan-serangan Vuyei satu per satu, seperti tahu ke mana arah ayunan sebelum itu terjadi.

"Clang!"

Pedang mereka kembali beradu. Suara benturan logam dan kilatan cahaya memenuhi area hutan kecil itu.

"Kau seperti bisa membaca pikiranku," ujar Vuyei di tengah benturan pedang.

"Aku sudah mengenal cara bertarungmu sejak kau kecil," balas Zienxi.

"Aku tidak kecil!" protes Vuyei sambil menyerang lagi dengan kombinasi tiga tebasan horizontal.

Zienxi menahannya dengan satu tangan, lalu mendorong pedang adiknya ke samping.

"Baiklah," kata Vuyei sambil melompat mundur, "kali ini, jurus rahasiaku!"

Zienxi mengangkat alis. "Kau punya jurus rahasia sekarang?"

"Baru kupelajari dua hari lalu," jawabnya sambil menyeringai.

Dua tangannya membentuk mudra rumit, dan aura hijaunya menyelimuti area di sekelilingnya. Daun-daun tipis kembali muncul, tapi kali ini, mereka berputar dalam formasi spiral, seperti taufan kecil yang menyatu dengan aura tubuhnya.

"Daun Pemecah - Formasi Angin Kedua!"

Serangan itu meluncur seperti badai kecil ke arah Zienxi. Sambil menarik napas pelan, Zienxi mengangkat pedangnya tegak lurus.

“Pedang 11 Ilusi.”

Seketika, bayangan pedang muncul di sekeliling Zienxi, menari-nari seperti refleksi cahaya di permukaan air. Mereka memotong daun-daun itu satu demi satu, tapi tetap saja, sebagian berhasil menembus.

More Chapters