Ledakan kecil muncul. Debu kembali mengepul. Zienxi terdorong satu langkah, lalu dua langkah. Tubuhnya sedikit terhuyung, tapi kembali stabil. Bibirnya sedikit berdarah.
Vuyei menganga. “Kau... berdarah?”
Zienxi menyeka darah itu dengan ujung jarinya, lalu mengangguk pelan. “Kau membaik.”
Vuyei tersenyum bangga. “Berarti aku bisa membuat kakakku yang dingin itu... merasakan sedikit rasa sakit.”
Zienxi hanya diam. Tapi Vuyei tahu, jika dia perhatikan baik-baik, sudut bibir kakaknya naik satu milimeter.
“Eh, itu senyum ya?” tanya Vuyei cepat.
“Tidak.”
“Ah, jangan bohong! Aku tahu kau tersenyum! Itu senyum paling tidak kelihatan yang pernah ada!”
Zienxi memalingkan wajah, kembali memeriksa pedangnya.
“Kau masih perlu latihan. Tapi kau sudah membuat kemajuan besar.”
Vuyei melangkah ke arah kakaknya dan menepuk pundaknya. “Terima kasih sudah jadi lawan latihanku, Kak.”
Zienxi menoleh. Tatapannya kali ini sedikit lembut.
“Selama kau ingin menjadi lebih kuat... aku akan selalu jadi lawan latihanmu.”
Vuyei mengangguk dengan semangat. “Ayo kita latihan lagi besok! Tapi... nanti gantian, aku yang kasih tantangan!”
Zienxi tak menjawab. Ia hanya berjalan ke arah sungai, mencelupkan tangannya, lalu menyeka darah dari bibirnya.
Langit siang mulai berubah menjadi senja, dan sinar keemasan menari di antara pepohonan. Sungai mengalir tenang, seolah menyanyikan lagu lama tentang dua saudara yang tumbuh bersama, berlatih bersama, dan bersiap menapaki jalan tak terampuni di masa depan.
"Kak, ayo jalan-jalan ke kota. Aku ingin menikmati malam setelah kemenangan ini," ujar Vuyei dengan senyum lebar, masih bersemangat setelah sesi latihan tadi yang akhirnya membuat Zienxi sedikit kewalahan.
Zienxi tidak langsung menjawab. Matanya hanya menatap langit yang mulai berubah warna, rona senja sudah memudar perlahan. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah pelan menuju jalan desa.
"Eh? Kok diam sih? Kak!" seru Vuyei, sedikit kesal namun segera mengejar dan menggandeng tangan kakaknya dengan wajah cemberut pura-pura.
Angin sore yang lembut menyelimuti Desa. Suara dedaunan bergesekan halus dengan semilir udara, menciptakan irama yang menenangkan. Langit perlahan berubah menjadi ungu tua, menandai malam yang akan segera turun.
Di rumah mereka yang sederhana dan hangat, keduanya bersiap dengan pakaian luar mereka. Zienxi mengenakan jubah hitam panjang, sedangkan Vuyei mengenakan jubah putih keperakan dengan sulaman halus berbentuk bunga di pinggirnya.
Saat malam sepenuhnya datang, dua sosok itu berjalan keluar rumah. Vuyei masih menggandeng tangan kakaknya, seperti kebiasaan yang tak pernah berubah sejak kecil.
"Kak, jangan diam saja. Nanti orang-orang mengira kamu patung hidup," canda Vuyei sambil menoleh ke arah Zienxi.
Zienxi melirik sebentar. "Lebih baik jadi patung hidup daripada jadi burung cerewet sepertimu."
Vuyei tertawa. "Haha! Itu berarti aku burung cantik, bukan? Yang punya suara indah."
Zienxi tak menjawab, hanya menghela napas kecil dan melanjutkan langkahnya.
Jalan desa yang mereka lewati menuju kota Feifei tampak sepi, tapi nyaman. Di kejauhan, cahaya-cahaya lentera dari kota mulai terlihat, berkedip-kedip bagaikan bintang yang turun ke bumi.
Setibanya di kota Feifei bagian timur, suasana langsung berubah. Kota itu penuh warna dan kehidupan. Pedagang menjajakan barang dagangan mereka, suara musik dari paviliun terdengar samar, dan aroma makanan memenuhi udara.
Vuyei tersenyum riang. "Aku suka kota saat malam-malam begini... Rasanya seperti dunia mimpi."
Tangannya masih menggenggam tangan Zienxi yang tetap tak menunjukkan banyak ekspresi. Tapi diam-diam, ia membiarkan adiknya menariknya ke sana kemari.
Mereka menyusuri jalan utama menuju pusat kota. Lentera bergantungan di sepanjang jalan, menari di bawah angin malam. Anak-anak berlarian, pasangan muda tertawa, dan para tetua duduk bersantai di kursi-kursi dekat kedai.
"Kak, lihat itu. Lentera biru itu bagus banget, ya. Seperti aura spiritual air," ujar Vuyei, menunjuk ke sebuah lentera unik berbentuk bunga lotus.
Zienxi mengangguk pelan. "Cantik."
"Wow, komentar dari kakak! Catat sejarah!" seru Vuyei pura-pura terkejut sambil menepuk dadanya.
Zienxi menoleh pelan, bibirnya sedikit tertarik ke atas. "Kau benar-benar banyak bicara malam ini."
"Karena aku bahagia. Dan karena kakakku ada di sini," ujar Vuyei dengan lembut, kini nadanya sedikit lebih tenang.
Saat mereka sampai di pusat kota, keramaian mencapai puncaknya. Musik dari beberapa paviliun berpadu dengan suara orang-orang berbicara dan tertawa. Warna-warna cerah dari lentera dan lampu membuat malam itu seolah dilukis oleh tangan seniman surgawi.
Di tengah keramaian, mereka bertemu dengan seseorang yang familiar.
"Zienxi! Vuyei!" seru Lian Roushi sambil melambaikan tangan. Ia ditemani oleh beberapa temannya.
"Ah, Lian Roushi!" balas Vuyei ceria. "Malam yang indah, ya!"
Zienxi hanya mengangguk pelan, tetap diam. Tatapannya tajam seperti biasa, namun tak menunjukkan ketegangan.
"Menikmati malam berdua, ya?" tanya salah satu teman Roushi.
"Tentu saja. Aku harus merayakan kemenanganku di latihan tadi," kata Vuyei sambil menyenggol lengan Zienxi.
Mereka tertawa ringan bersama, lalu masing-masing melanjutkan kegiatan mereka. Zienxi dan Vuyei kemudian berhenti di sebuah area terbuka dengan beberapa meja dan kursi, milik beberapa kedai yang bersatu di satu area luas.
Mereka duduk di salah satu meja yang tepat di bawah sinar bulan, ditemani oleh aroma teh dan makanan hangat.
"Malam ini indah sekali," bisik Vuyei sambil memandangi langit malam.
"Langit selalu indah saat tidak ada pertumpahan darah," jawab Zienxi pelan.
"Kak... Kau itu selalu bisa merusak suasana dengan satu kalimat," keluh Vuyei sambil menyesap tehnya.
Zienxi menatap cangkir tehnya. "Kau ingin tahu mengapa aku tidak banyak bicara?"
"Kenapa?"
"Karena kadang... diam lebih menyenangkan daripada menyakiti dengan kata-kata."
Vuyei terdiam sesaat, lalu tertawa kecil. "Tapi kadang juga, kata-kata bisa menyembuhkan, kak. Seperti kata-kataku sekarang yang bikin kamu tidak merasa sendirian."
Zienxi menatap adiknya. Matanya lembut sejenak sebelum kembali netral. "Hm."
"Nah tuh! 'Hm' adalah bentuk kasih sayang dari seorang Zienxi," ujar Vuyei sambil menyenderkan kepalanya ke bahu kakaknya.
Malam terus berjalan. Suara tawa, musik, dan obrolan menemani mereka. Dua sosok bersaudara itu duduk di bawah cahaya bulan, menikmati malam yang tak selalu bisa mereka miliki.
Dan di balik ketenangan itu, dunia kultivasi terus berputar... menunggu saatnya kembali menguji mereka dengan badai berikutnya.
Udara malam di pusat kota Feifei terasa begitu lembut, membawa angin sejuk yang menyapu perlahan wajah siapa pun yang berdiri di bawah langitnya. Bintang-bintang tampak menari di antara kilau redup awan tipis, sementara rembulan menggantung dengan anggun, menyinari setiap sudut jalanan berbatu yang bersih dan teratur. Di bawah langit yang tenang itu, dua sosok duduk berdampingan di atas bangku kayu tua kedai.
Vuyei masih bersender di bahu kakaknya, menikmati kehangatan yang selalu mampu membuat hatinya tenang. Suara gemericik air dan langkah kaki warga yang melintas di kejauhan menjadi irama alami malam itu. Namun perlahan, ia bangkit dari posisi nyamannya dan menoleh, menatap wajah sang kakak.
"Kak," bisiknya lembut, suaranya nyaris tak lebih dari desir angin. "Sudah dua bulan lebih kita berada di sini..."
Zienxi memalingkan wajah ke arah Vuyei, matanya tenang namun penuh perhatian.
"Setiap hari... aku selalu merasa senang," lanjut Vuyei, senyumnya lembut. "Bahagia... seolah aku sudah melupakan kejadian dulu."
Ia menunduk sebentar, jari-jarinya memainkan ujung lengan bajunya yang longgar.
"Sekarang... yang kupunya hanya dirimu," tambahnya pelan, matanya berkaca-kaca namun tak meneteskan air mata.
Zienxi menatap adiknya dalam diam sejenak, lalu tersenyum. Ia mengangkat tangan dan merapikan rambut Vuyei yang tertiup angin malam.
"Itu lebih baik," ucapnya pelan namun dalam. "Aku akan selalu menjagamu."
Kalimat itu begitu sederhana, namun sarat dengan janji dan kekuatan yang tak terucap. Vuyei hanya menatapnya sejenak, lalu tersenyum dan kembali menyandarkan kepalanya di bahu Zienxi, seolah tempat itu adalah rumahnya yang sesungguhnya.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan yang nyaman. Cahaya rembulan menyelimuti mereka, membentuk bayangan panjang di tanah berbatu yang memantulkan cahaya kekuningan dari lentera jalan.
"Kak," gumam Vuyei lagi, kali ini suaranya terdengar seperti sedang memikirkan sesuatu yang jauh. "Kita akan terus di sini? Di kota ini?"
"Untuk sementara, iya," jawab Zienxi tenang. "Tempat ini cukup aman... dan tenang. Aku tidak melihat tanda-tanda bahaya mengintai."
"Tapi suatu hari kita akan pergi lagi, bukan?"
"Mungkin," Zienxi menarik napas. "Jika waktunya tiba. Tapi sebelum itu... aku ingin kau benar-benar pulih. Dari dalam."
Vuyei diam. Suara Zienxi barusan begitu penuh dengan kasih sayang yang tak diucapkan secara langsung. Ia mengerti, kakaknya masih membawa beban besar, tak hanya sebagai pelindung, tetapi juga sebagai satu-satunya keluarga yang tersisa.
"Aku tidak tahu harus bilang apa..." ucap Vuyei pelan. "Tapi setiap malam seperti ini, rasanya aku bisa bernapas tanpa rasa takut lagi."
Zienxi tak menjawab. Ia hanya menarik Vuyei lebih dekat, mengusap kepalanya perlahan.
Di kejauhan, terdengar alunan musik dari alat petik tradisional yang dimainkan oleh seorang seniman jalanan di dekat jembatan batu. Nadanya lembut, mengalun seperti mimpi, mengiringi setiap langkah kaki dan detak jantung dua saudara yang tengah menikmati ketenangan dunia yang fana ini.
"Kau tahu... kadang aku merasa seperti semua ini hanya mimpi," bisik Vuyei.
"Mimpi?"
"Ya... kita berjalan begitu jauh, bertahan begitu lama, kehilangan begitu banyak... dan sekarang kita duduk di sini. Bersama. Bahagia. Rasanya tidak nyata."
"Kalau ini mimpi, aku tidak ingin bangun," jawab Zienxi.