LightReader

Chapter 62 - Chapter 62 – Whispers of Storm and Wind

Chapter 62 – Bisikan Badai dan Angin

Vuyei tertawa kecil, manis dan ringan.

"Aku juga..."

Malam itu terus bergulir. Orang-orang berlalu-lalang di kejauhan, beberapa di antaranya menoleh dan tersenyum melihat dua kakak-beradik itu. Ada sesuatu yang hangat di antara mereka, sesuatu yang membuat siapa pun yang melihat ikut merasa damai.

Tak jauh dari sana, lentera-lentera terbang dilepaskan ke langit sebagai bagian dari tradisi penghormatan kepada arwah leluhur. Satu demi satu cahaya kecil itu naik, menari di udara, menambah keindahan malam.

"Ayo lepaskan satu juga," ajak Vuyei sambil menunjuk ke arah pedagang lentera yang ramai oleh pengunjung.

Zienxi mengangguk. Mereka bangkit dan berjalan bersama, menyatu dengan keramaian namun tetap berbeda. Setelah membeli lentera, mereka menuliskan nama orang tua mereka di permukaan kertasnya.

"Semoga mereka melihat ini dari sana," ucap Vuyei sambil menatap langit.

"Mereka pasti melihat. Dan tersenyum," sahut Zienxi tenang.

Lentera itu pun mereka lepaskan bersama, tangan mereka saling menggenggam sejenak saat cahaya kecil itu mulai naik ke langit malam.

Kembali ke bangku semula, mereka duduk diam, menatap ke langit yang penuh dengan bintang dan lentera-lentera yang mengambang perlahan.

"Kak..."

"Hmm?"

"Kita harus tetap kuat, ya? Untuk mereka. Dan untuk masa depan."

Zienxi menoleh, menatap wajah adiknya yang penuh tekad. Ia mengangguk.

"Kita akan kuat, Vuyei. Karena kita tidak sendiri. Kita saling memiliki."

Dan malam itu, di tengah pusat kota Feifei yang bersinar lembut, dua jiwa yang pernah terluka itu perlahan mulai sembuh. Mungkin dunia belum sepenuhnya aman, mungkin masih banyak bahaya menanti di luar sana. Tapi untuk saat itu, di bawah sinar rembulan dan cahaya lentera yang menari di angkasa, mereka hanya dua saudara yang sedang menemukan arti baru dari rumah dan harapan.

Dan itu... cukup untuk malam ini.

Satu bulan telah berlalu sejak hari-hari tenang itu, dan kini sudah genap tiga bulan Zienxi dan Vuyei tinggal di desa kecil bagian timur kota Feifei. Desa yang dikelilingi ladang, hutan, dan sungai itu telah menjadi tempat yang nyaman bagi keduanya. Selama sebulan terakhir, Vuyei terus berlatih dengan tekun di bawah bimbingan Zienxi.

Setiap pagi, mereka akan turun ke pinggir hutan atau ke area lapang di dekat gua tempat biasa mereka berkultivasi. Di sana, suara benturan pedang, mantra, dan angin yang berdesir menjadi saksi bisu dari latihan yang tiada henti. Vuyei kini semakin cepat, ketepatannya meningkat pesat, dan setiap gerakannya menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bahkan, beberapa kali dia berhasil membuat Zienxi mengangkat alis tipisnya meski tanpa senyum.

"Kau berkembang cukup baik," ucap Zienxi suatu sore, ketika mereka duduk di batu datar menikmati teh pahit seperti biasa.

Vuyei menoleh cepat, matanya berbinar. "Kak... itu pujian, kan? Dari kakakku yang dingin dan tidak suka bicara itu?"

Zienxi menatapnya datar. "Itu fakta."

"Hahaha! Fakta atau pujian, aku tetap senang," sahut Vuyei dengan tawa renyah, membuat burung-burung kecil yang bertengger di dahan pohon beterbangan.

Namun, kebersamaan mereka itu tidak berlangsung tanpa jeda. Malam itu, sepulang dari latihan, ketika mereka sedang duduk santai di dalam rumah kayu sederhana mereka, Zienxi menatap Vuyei dengan sorot yang dalam namun tetap tenang.

"Vuyei, besok aku akan pergi," katanya.

Vuyei yang sedang menyusun ramuan kering menoleh. "Ke mana?"

"Aku butuh tempat yang tenang untuk menembus batas Vein Opening," jawab Zienxi. "Aku ingin mencapainya secara alami, dalam kondisi paling murni."

Gadis muda itu terdiam. Wajahnya berubah suram, lalu ia menatap kakaknya dengan lirih, "Kau akan kembali, kan?"

Zienxi tak langsung menjawab. Ia menatap ke luar jendela, melihat sinar bulan menari di permukaan air. Kemudian ia menoleh dan berkata dengan suara yang rendah, namun tegas, "Aku berjanji."

Keesokan harinya, tanpa banyak kata, Zienxi berangkat. Ia mengenakan jubah hitamnya. Vuyei hanya berdiri di depan rumah, menatap sosok kakaknya yang semakin lama semakin kecil, hingga akhirnya menghilang di balik hutan.

Zienxi terbang menuju utara, mengikuti aliran angin yang membawa aroma pegunungan dan hutan tua. Setelah berhari-hari menelusuri langit, ia tiba di sebuah tempat yang terpencil dan tenang, Lembah Arashi.

Lembah itu sunyi dan jauh dari peradaban. Aliran air kecil mengalir lembut, membelah bebatuan dan rerumputan liar. Tempat itu seperti terlupakan oleh waktu, namun justru itulah yang membuatnya sempurna.

Zienxi mendarat di dekat Pinggir Arus, sebuah tepi lembah tempat air mengalir deras namun tenang. Di sana, ia duduk dalam posisi lotus. Angin mengibarkan jubahnya, sementara matanya tertutup. Tidak ada suara selain air, angin, dan detak jantungnya.

"Kenapa aku masih hidup...?" gumamnya dalam hati. "Untuk apa semua ini... jika tak ada yang bisa kubagi?"

Hari pertama, Zienxi diam. Nafasnya perlahan mengikuti irama air. Ia menyatu dengan alam sambil memandangi langit yang tak menjanjikan apa-apa, namun terasa lebih luas dari sebelumnya.

Hari keempat, tubuhnya mulai peka terhadap getaran alam. Ia mulai merasakan napas dari akar, suara dari daun-daun. Dunia seolah memeluknya perlahan.

Hari kedelapan, ia tak lagi makan. Energi dari alam cukup untuk menjaga tubuhnya tetap stabil. Ia tidak merasa lapar. Udara dan tanah menjadi makanannya.

Hari keempat belas, hatinya mulai tenang. Tak ada kenangan yang menyakitkan, hanya rasa hangat yang perlahan tumbuh di dadanya. Akar rohnya mulai berdenyut.

Saat dia menutup mata, dia melihat sungai kecil mengalir dalam dirinya, bercabang menjadi jalur-jalur halus. Itulah meridian pertamanya, meski belum terbuka sepenuhnya.

Hari ke-20, suara angin berubah. Ia bisa mendengar gema dari alam itu sendiri, seolah dunia menerima kehadirannya. Setiap embun yang jatuh di punggung tangannya terasa seperti salam dari bumi.

Hari ke-25, nafasnya menjadi irama. Langit dan bumi menari bersamanya. Tubuhnya menjadi ringan, seolah bisa melayang tanpa bantuan apapun.

Di dalam dirinya, delapan titik cahaya mulai muncul. Samar namun nyata. Itu adalah delapan meridian utama.

Hari ke-30. Langit tidak terang dan tidak gelap. Kabut tipis menggantung. Udara tenang. Zienxi membuka matanya.

WUSSSHHH!!!

Tak ada ledakan. Tak ada kilatan cahaya. Tapi tubuhnya menyala dari dalam, perlahan. Delapan meridian terbuka bersamaan. Energi spiritual mengalir deras dari langit dan bumi masuk ke tubuhnya.

Akar rohnya berputar, membentuk pusaran hangat di bawah pusarnya. Saat itu, Zienxi menjejakkan kakinya di ranah Meridian Awakening tahap awal.

Tak ada saksi, tak ada sorakan. Tapi Zienxi tahu, ia telah melangkah ke babak baru. Ia berdiri perlahan, menatap langit abu-abu.

"Aku akan pulang... tapi tidak hari ini," gumamnya. "Masih ada yang harus kutemui dalam diriku."

Ia menatap aliran air yang tak pernah berhenti.

"Vuyei... tunggulah. Aku akan kembali."

Langkah kaki Zienxi terdengar lembut di antara semak dan bebatuan kecil yang tersebar di jalur tersembunyi Lembah Arashi. Kabut tipis menyelimuti pagi hari itu, menutupi sebagian besar pandangan dan menghadirkan aura misterius yang menggoda untuk dijelajahi. Embusan angin berputar lambat di sekeliling tubuhnya, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti mendekatkannya pada sesuatu yang belum ia pahami, namun hatinya dipenuhi tekad.

“Aku harus masuk lebih dalam,” gumamnya, menatap celah sempit di antara dua tebing yang tinggi. “Mungkin di sana aku akan menemukan tanaman langka… atau sesuatu yang lebih penting dari sekadar ramuan.”

Tujuannya sederhana, namun juga dalam: mencari bahan-bahan langka untuk meramu pil, memahami lebih jauh energi spiritual yang mengalir melalui bumi dan langit, dan jika mungkin menumbuhkan ikatan dengan elemen alam.

Saat ia berjalan semakin jauh ke dalam lembah, suara gemuruh samar mulai terdengar, menggantikan kicauan burung pagi. Daun-daun menari liar di udara, terangkat oleh pusaran angin yang tidak wajar. Kilatan cahaya samar-samar menyelinap di balik kabut, seperti seberkas petir yang menari di ujung cakrawala.

Zienxi berhenti sejenak.

“Tempat ini… terasa berbeda.”

Energi spiritual di sekitarnya bergolak, bergerak liar dan tanpa arah. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah udara pun dipenuhi oleh medan yang menekan. Keringat mulai membasahi pelipisnya, bukan karena kelelahan, melainkan oleh tekanan dari lingkungan sekitar yang menolak kehadiran siapa pun yang tidak cukup kuat.

Ia melangkah maju, perlahan. Sebuah dataran kecil terbentang di hadapannya, dipagari oleh formasi batu berlapis lumut. Di tengah dataran itu, tiang-tiang batu menjulang ke langit, mengitari sebuah ruang kosong yang dipenuhi dengan cahaya biru keunguan. Petir mengalir di udara seperti benang tipis yang berkelindan, dan suara angin menderu seperti raungan naga kuno yang tertidur.

“Inikah… tempatnya?” bisik Zienxi, mata menatap penuh kehati-hatian. “Tempat yang akan menguji kesabaranku.”

Ia duduk perlahan di tengah pusaran energi itu, menekuk lutut dan membentuk posisi lotus. Napasnya mulai ia atur, pelan dan panjang. Tapi tidak mudah. Setiap tarikan napas seolah berusaha menarik kekacauan masuk ke dalam tubuhnya. Fokusnya diuji pada setiap detik.

“Angin yang meliuk, petir yang menyambar… kalian bergerak bebas, tapi kalian juga memiliki hukum kalian sendiri.”

Kata-katanya pelan, nyaris tak terdengar di tengah raungan badai, tapi ia tetap berbicara bukan untuk dunia luar, melainkan untuk dirinya sendiri.

“Jika aku ingin memahami kalian… aku tidak bisa melawan. Aku harus mendengarkan.”

Sejenak, ia menutup mata. Cahaya di balik kelopaknya terus berpendar, memperlihatkan kilasan ingatan, kenangan, dan keheningan yang pernah ia alami. Ia memusatkan pikirannya pada satu titik pusat pusaran energi yang kini menyatu dengan tubuhnya.

Detik demi detik berlalu, lalu menjadi menit. Satu jam. Dua jam. Dan 1 bulan berlalu, ia tidak bergerak.

More Chapters