LightReader

Chapter 63 - Chapter 63 – Echoes of Arashi

Chapter 63 – Echoes of Arashi (Gema dari Arashi)

Angin kini berputar lebih tenang di sekelilingnya. Petir tak lagi menyambar liar, melainkan mengalir pelan seperti aliran sungai di udara. Getaran yang semula mengganggu napasnya, kini perlahan menyatu dalam irama napas yang stabil.

Lalu, sebuah suara seolah muncul dari dalam pikirannya sendiri. Bukan suara manusia, melainkan gema dari pemahaman yang mendalam, suara dari Dao yang tersembunyi di balik badai.

“Kekuatan angin bukan pada kecepatannya, tapi pada kebebasannya. Ia mengalir tanpa bentuk, namun menyentuh segalanya.

Petir bukan hanya kehancuran, ia adalah awal dari kehidupan, kejutan yang menumbuhkan kekuatan baru.”

Zienxi menarik napas dalam. Keringat menetes dari dagunya, namun matanya tetap terpejam, tenang. Ia mulai membentuk sirkulasi kecil dalam tubuhnya, membiarkan energi dari luar masuk perlahan. Tidak memaksa, tidak melawan. Hanya mengikuti arus.

Beberapa helai rambutnya terangkat oleh arus angin. Jubahnya berkibar, namun tubuhnya tetap seperti batu, tak bergeming. Di sekelilingnya, kabut mulai berputar membentuk spiral yang memusat pada dirinya. Di dalam pusaran itu, dua elemen yang berbeda angin dan petir berkumpul dalam harmoni yang langka.

Di luar tempat itu, para kultivator biasa mungkin akan terlempar atau kehilangan kesadaran. Tapi Zienxi tetap tenang. Ia mulai memahami bahwa untuk mendalami elemen, bukan berarti menguasainya, melainkan menerima sifat sejatinya.

“Aku bukan penguasa angin atau petir… aku hanya ingin berjalan bersama mereka.”

Saat ia membuka mata, seberkas cahaya biru muda dan ungu menyala di iris matanya, lalu menghilang dalam sekejap. Wajahnya terlihat lebih tenang dari sebelumnya, seolah telah melewati gerbang baru dalam pemahaman spiritual.

“Pemahaman ini… belum selesai, tapi ini awal yang baik,” gumamnya.

Ia bangkit perlahan, tubuhnya masih dikelilingi oleh sisa-sisa pusaran energi yang lembut. Tempat itu tak lagi menolak kehadirannya. Ia telah diterima.

Dengan satu pandangan terakhir ke langit yang berwarna kelabu biru, ia pun melangkah keluar dari tempat itu, membiarkan angin membelai punggungnya dan petir menyelinap di balik awan sebagai saksi diam akan pemahamannya.

Langkah kaki Zienxi kembali menginjakkan tanah yang telah dikenalnya perlahan-lahan, namun belum sepenuhnya dipahami: Lembah Arashi. Setelah satu bulan lamanya menyelami badai dan kilat yang menari liar di tempat itu, memaksimalkan pemahamannya atas elemen angin dan petir, kini ia merasa waktunya belum selesai. Ada sesuatu yang harus ditemukan. Bukan hanya pemahaman akan elemen, tetapi sesuatu yang lebih nyata, tanaman, bahan alami, sesuatu yang bisa ia bawa pulang atau pelajari lebih dalam.

"Aku belum cukup dalam... Masih ada yang tersembunyi di balik riuhnya angin ini," gumamnya pelan sambil melangkah mantap.

Udara masih sarat dengan desiran halus yang bisa berubah menjadi raungan dalam sekejap. Kabut tipis menyelubungi jalurnya, namun Zienxi tak goyah. Kini langkahnya mantap, seolah tanah itu mulai mengakui kehadirannya.

Setelah beberapa saat berjalan, pandangannya menangkap kilauan samar dari semak-semak berbunga yang tampak tak biasa. Ia melangkah lebih dekat. Di depannya tumbuh sekumpulan bunga aneh yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Bunga itu memiliki tujuh kelopak transparan, berkilauan seperti kaca, dan memancarkan cahaya biru yang lembut. Di tengahnya, terpatri sebuah inti kristal kecil yang tampak menyimpan energi.

"Lumipetal Arashi..." Zienxi menyebut nama itu perlahan, nyaris seperti berbisik pada dirinya sendiri. "Bunga yang hanya tumbuh di tempat dengan tekanan petir murni dan aliran angin konstan."

Tangannya bergerak hati-hati, tak ingin menyakiti tanaman itu. Ia mengambil beberapa bunga dengan akurat, memastikan Lumi Core kristal mungil di tengah bunga tetap utuh. Beberapa tanaman lain dengan corak biru dan ungu gelap juga ia pungut, menandakan nilai tinggi mereka dalam pembuatan pil atau ramuan pelindung tubuh dari aliran energi liar.

Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Tiba-tiba, dari balik kabut lembah, udara mulai berguncang halus, lalu beriak. Angin berputar seolah menari, namun bukan tarian yang ramah. Tanpa suara, seekor makhluk perlahan muncul. Ia melata namun melayang, tubuhnya panjang dan ramping, seperti ular raksasa yang terdiri dari asap dan kilatan logam. Sisiknya berwarna perak pucat dan matanya tampak mengandung kilatan petir tersembunyi.

"Arashi Wyrm..." bisik Zienxi. "Ular Roh Angin, penjaga lembah ini."

Makhluk itu melayang di depannya, menyusun bentuknya dengan keanggunan mengerikan. Bukan makhluk buas biasa, ia adalah semi-roh, entitas yang terikat oleh hukum alam dan energi spiritual lembah ini. Legenda menyebutkan, siapa pun yang menyerang Arashi Wyrm akan binasa. Namun jika seseorang menenangkan dirinya dan menunjukkan penghormatan, makhluk itu mungkin hanya memberikan restunya.

Zienxi menatap makhluk itu dalam diam. Ia tidak menggenggam senjatanya. Ia hanya duduk perlahan di tanah, bersila, tangan bertumpu di atas lutut. Ia menarik napas dalam, menenangkan pikirannya yang masih digoyahkan oleh aura tajam makhluk di depannya. Ular itu melayang mendekat, hanya beberapa langkah lagi, dan berhenti.

Beberapa saat, waktu seakan membeku. Angin diam. Petir pun menahan napasnya.

Zienxi menutup matanya, tidak memohon, tidak memaksa. Ia hanya hadir. Dalam keheningan yang sakral itu, suara gemerisik terdengar ringan. Saat ia membuka mata, makhluk itu sudah menjauh. Di tempatnya berdiri tadi, kini tergeletak sehelai sisik keperakan kecil, tampak seperti lembaran tipis dari perak cair yang membeku dalam bentuk.

"Terima kasih..." Zienxi bergumam tulus, lalu memasukkan sisik itu ke dalam kantong spiritualnya.

Hari ke-64. Zienxi berdiri di sebuah tempat yang disebut oleh para penjelajah lama sebagai Lingkaran Angin Mati. Sebuah lingkaran alami di jantung lembah, di mana angin tak bergerak dan suara tak bisa menembus batasnya. Tempat itu seperti ruang hampa dalam dimensi lain tak ada gema, tak ada desir, hanya keheningan mutlak.

Di tengah lingkaran itu, Zienxi duduk. Bunga Lumipetal Arashi yang ia ambil dari sisi lembah kini mekar di hadapannya. Kelopaknya memancarkan cahaya biru halus, seolah bernafas bersamanya. Tak ada kata, tak ada gerakan. Ia memejamkan mata, meluruhkan seluruh lapisan pikirannya ke dalam meditasi terdalam.

Satu hari... dua hari... waktu kehilangan maknanya.

Seluruh tubuh dan jiwanya larut dalam pusaran tenang energi. Ia merasakan suara petir yang tak terdengar, hembusan angin yang tak bergerak. Ia menyentuh batas antara elemen dan kesadarannya. Seolah alam pun mengenalinya, meski belum sepenuhnya membuka diri. Ia tidak menaklukkan alam ia berdialog dengannya.

Satu bulan kembali berlalu.

Ketika Zienxi akhirnya membuka matanya, dunia tak lagi terasa asing. Ia tidak merasa sebagai bagian dari lembah ini, tapi lembah ini mengenalnya, menerimanya. Elemen-elemen di sekelilingnya tidak lagi mengamuk seperti sebelumnya, tapi belum juga menyatu. Mereka menunggu... hanya menunggu waktu yang tepat.

Di tempat lain, malam telah larut.

Langit dipenuhi bintang-bintang kecil yang berkilau lembut, dan bulan menggantung seperti lentera abadi di langit Desa. Di depan rumah, duduk seorang gadis muda dengan rambut hitam panjang yang dibiarkan terurai, menatap ke arah bulan dengan tatapan nanar. Vuyei duduk memeluk lututnya, ditemani hembusan angin malam yang lembut.

Tiba-tiba ia bergumam, suaranya nyaris seperti bisikan yang dibawa angin.

“Kak... di mana kau? Sudah tiga bulan sejak kau pergi…” Matanya berkaca. “Apakah kau baik-baik saja? Apa kau sendirian di luar sana… atau sudah menemukan sesuatu yang lebih besar?”

Ia menunduk sejenak, lalu menatap langit lagi. “Aku merindukanmu...”

Perlahan, suara hatinya pecah dalam bisikan lirih.

"Aku rindu jalan-jalan denganmu, Kak..." gumamnya, hampir tak terdengar, seolah hanya bulan yang menjadi saksinya.

Tangannya menggenggam erat ujung jubahnya. Nafasnya berat, bukan karena kelelahan, melainkan oleh beban yang tak bisa ia bagi kepada siapa pun.

"Aku juga merindukan saat kita berlatih di dekat bukit..." lanjutnya pelan. Suaranya bergetar. "Kau selalu bilang aku terlalu banyak mengeluh... tapi nyatanya aku menyukai setiap detik bersama Kakak."

Senyum kecil sempat terbit di wajahnya, namun segera luruh bersama air mata yang mengalir perlahan di pipinya.

"Aku ingin mengajakmu makan ke kedai seperti biasa," katanya lagi. "Meskipun... kita tidak perlu makan lagi..."

Ia memeluk dirinya lebih erat. Malam itu begitu sunyi, hanya suara angin dan detak jantungnya yang menemaninya dalam kesendirian. Namun di balik kesunyian itu, langit seolah mengirimkan harapan, bahwa suatu saat nanti, mereka akan bertemu lagi.

More Chapters